Selama bertahun-tahun, Ni Luh Warna tinggal sendiri di gubuk reyot.
Nenek sebatang kara ini tinggal di Dusun Kedampal, Desa Datah, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Di umurnya yang sudah 90 tahun, Warna tinggal di tempat terpencil tanpa satu pun anggota keluarga.
Warna tinggal di perbatasan langsung antara Dusun Kedampal, Kecamatan Abang dengan Dusun Muntig, Desa Tulamben, Kecamatan Kubu Karangasem.
Tanah yang dia tempati merupakan tanah pelaba Pura. Suaminya meninggal dunia sejak Gunung Agung meletus (1963) saat mengungsi ke Desa Merita.
Nenek Warna memiliki sepuluh anak, tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Namun, tiga anaknya meninggal dunia.
Setelah ketujuh anaknya kawin, kini nenek Warna memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri hanya dengan memungut buah mete yang ditukar dengan beras. Sedangkan untuk kebutuhan minum pemberian dari warga setempat.
Kondisi rumah nenek Warna sungguh memprihatinkan. Gubuknya di bangunan dari anyaman bambu. Di dalam gubuk itu ada sebuah tungku dan setumpuk kayu bakar, tempat penyimpanan air dan sebuah ranjang dari bambu beralaskan tikar dipakai tempat tidur.
Jaring laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan dan langit kamar. Tempat tidurnya sering bocor. Lantainya masih tanah dan belum pernah mendapatkan bantuan bedah rumah dari pemerintah.
Selain itu, Warna juga tidak pernah mendapatkan jatah beras miskin (Raskin) dari pemerintah.
Selama ini, pekerjaan nenek Warna hanya mencari kayu bakar dan memetik biji mete yang sudah jatuh. Kadang untuk makan sumbangan warga.
Itulah kehidupan yang sehari-hari dijalani oleh seorang nenek lanjut usia bernama Ni Luh Warna. Kami berharap, pemerintah memperhatikan masyarakat kurang mampu seperti dia agar lebih sejahtera. [b]
Comments 1