“Fuck the goverment!” “Fuck the police!”
Ungkapan-ungkapan semacam itu menjadi kalimat sakti yang biasa muncul di arena konser pada akhir 1990-an, ketika saya beranjak dari bangku SMP ke bangku SMU. Pada masa itu band-band Undergorund mulai menggeliat.
Kekuasan Soeharto yang represif pada saat itu mulai memudar. Pintu sensor tidak lagi ketat. Tentu saja makian-makian yang ditujukan kepada aparat mudah diluapkan, termasuk “fuck the goverment” atau “fuck the police”.
Saya adalah salah satu dari sekian banyak remaja di Denpasar yang khusyuk menenggelamkan diri dalam arena musik cadas tersebut. Even-even musik seperti masa kini yang disponsori produk korporasi belumlah massif. Kala itu konser di banjar-banjar lebih nampak dominan. Istilah distro terdengar asing terdengar di telinga.
Di masa ketika kaset masih laris manis itu, banjar-banjar di seputaran Denpasar, dan berbagai tempat lainnya di Bali sangat ramah terhadap acara hingar bingar musik Undergorund. Terasa berbeda dengan kecenderungan banjar hari ini yang melulu telinga kita dipaksa melahap suara gamelan atau kidung lewat corong.
Saat ini bale banjar hanya menjadi ruang perhelatan ritus warga, atau hal-hal terkait dengan kegiatan adat.
Pada masa itu band penggusung aliran Death Metal, Hardcore dan Punk bisa berbagi panggung secara berselang-seling dengan penari legong atau penari baris di bale banjar. Tetabuhan gamelan bertalu-talu, serta riuh sorak ibu-ibu mengenakan pakian adat menyaksikan putra-putrinya menari hadir silih berganti dengan raungan distorsi gitar, khalayak muda berpakaian hitam menggoyangkan gondrong rambutnya, dan sekerumunan remaja berambut mohawk saling dorong di bibir panggung.
Pemandangan toleran itu bisa hadir dengan gamblang di banjar-banjar seputaran Denpasar kala itu.
Buyut
Suasana keberagaman di banjar juga nampak pada masa sebelumnya, di tahun 1980-an. Saya ingat beberapa foto paman saya bersama kawan-kawannya semasa remaja dulu beradu kesaktian menari kejang di bale banjar. Tari kejang adalah istilah untuk Break Dance, tarian jalanan yang mulanya berkembang di New York, Amerika, sekitar 1970-an.
Ada hal yang sama dari kedua era itu, banjar secara umum masih bisa menampung kreativitas seni non tradisi yang dianggap sebagai bukan bagian dari kebudayaan “tuan rumah”. Wujud-wujud itu tidak diterjemahkan saling bertentangan dan berbenturan semisal “modern” vs “tradisional” , “global vs lokal” atau “Barat vs Timur”. Kedua kutub kebudayaan dengan jenis khalayak yang berbeda itu bisa saling berpapasan, bertemu, berdialog, saling mengagumi bahkan saling acuh, namun tidak berujung pada larang melarang.
Saya ingat, tidak sedikit para buyut ikut menonton aksi anak cucu mereka menggebug drum setelah menyimak tarian legong, meskipun musik para junior memekakan telinga mereka.
Sudah pasti di antara mereka ada yang berpaling sebab susah berkoneksi karena beda zaman. Bagi yang tak tertarik dengan pertunjukan biasanya memojok di pinggiran bale banjar. Di pojokan itu adalah tempat “odah-odah” atau nenek tua penjual arak atau tuak menggelar lapak dagangannya.
Mudah ditemui bapak-bapak berpakaian adat dan anak muda mengenakan atribut punk duduk nongkrong bersama membuat lingkaran masing-masing. Di pojokan itu “holly water” berputar-putar melintasi segala umur dan generasi. Lapak arak odah ibaratnya “bar” versi Bali, karena selain tempat minum, juga ruang mencari teman.
Bisa dikatakan konsep banjar sebagai ruang publik yang menampung berbagai ekspresi berkesenian pilihan warganya sangat terasa pada waktu itu. Masih terngiang di memori ketika saya dan kawan-kawan bermain gitar hingga larut dan mengganggu tidur para senior. Mereka selalu menegur kami, “Kalian main di banjar saja, jangan bikin rumah tambah bising”.
Umpatan senior itu menandakan bahwa banjar menjadi ruang yang lumrah untuk keramaian, dan keramaian dimaknai bukan semata kegaduhan tetapi sebagai dinamika ekspresi.
Banjar-banjar kala itu menjadi ruang bagi anak muda Bali dalam melampiaskan kegemarannya bermain musik Undergorund dengan gaya komunitas. Pada masa itu sound system, gitar, drum atau bass didapat dari pinjam meminjam, entah itu meminjam kepada sesama pemuda dalam satu banjar, atau teman-teman di luar Banjar.
Kunci untuk bisa manggung di banjar adalah bergaul. Asal kenal dengan anak-anak karang taruna (STT) pembuat hajat, kemungkinan mengakses panggung itu bisa.
Bisa juga membuat panggung sendiri, dengan memobilisasi teman-teman sebanjar yang suka dengan musik sejenis, atau mengajak sesama pemuda karang taruna yang hobi ngeband dan masih sulit mendapat panggung. Karena panggung pentas itu dibuat sendiri, maka tidak ada pemisahan dan hierarki ketat antara pemain, yang mendekorasi dan penonton.
Sering kali orang-orang yang memasang alat dan mendekorasi panggung sekaligus merangkap pemain band itu sendiri. Pemandangan ini tentu berbeda dengan konser di luar banjar, musisi bak mahluk istimewa yang tak terlibat dalam pekerjaan berdebu semisal mengurus panggung dan mendekorasinya.
Evolusi
Di zaman saya baru tumbuh bulu itu (bulu ketiak), banjar adalah panggung bagi band-band underground pemula yang belum bisa menembus GOR Lila Bhuana, GOR Ngurah Rai atau Art Center. Ketiga tempat tersebut identik menjadi panggungnya band-band Underground yang punya “nama”.
Jadi semacam teori evolusi, sebelum menginjak GOR awalnya pasti menginjak banjar. Bagi para musisi pemula, panggung konser di banjar adalah ruang awal mengasah skill pentas, tempat membangun kepercayaan diri di atas panggung, dan media untuk mencari jaringan yang bisa mendukung eksistensi band.
Para penggemar harus memiliki tiket untuk bisa menikmati aksi band Undergorund yang punya nama di gedung-gedung besar. Sedangkan di banjar, penonton jarang dikenakan tiket. Terkesan aneh menjual tiket, sebab di antara kerumunan penonton adalah warga banjar pembuat even itu sendiri. Justru semakin ramai yang menonton maka semakin sukses hajatannya.
Bukan distro, stand minuman berDepkes atau produk fashion brand import yang mengelilingi arena event di bale banjar, melainkan lapak-lapak pedagang kaki lima. Selain lapak “holly water” lokal, juga terkadang ikut nangkring lapak dagang lawar (makanan loKal), hingga rombong bakso, kupat tahu dan es juice. Bisa dikatakan konser-konser di banjar kala itu ramah dengan pedagang kecil.
Suasana konser tanpa tiket dan hadirnya pedagang kaki lima di banjar sesuai dengan isi dompet kami yang belum bisa mencari nafkah. Kami tak perlu merengek-rengek minta tambahan uang jajan kepada bapak-ibu kami.
Suasana kemudian berubah setelah terjadi Bom Bali pada 12 Oktober 2012 dan 1 Oktober 2005. Setahap demi setahap Banjar menjurus menjadi panggung keseragaman. Keberhasilan teroris melakukan aksinya di Bali diterjemahkan oleh beberapa elite politik, kalangan media, tokoh adat, kaum cendikiawan, seniman, dan pengusaha di Bali, adalah akibat dari memudarnya semangat jaga Bali.
Karena pelaku pemboman adalah orang luar Bali maka mewaspadai kehadiran “orang luar” menjadi keharusan yang tak terbantahkan dari logika menjaga Bali ini. Semenjak itu razia KTP di teritori banjar masing-masing mulai digalakkan.
Tak cukup hanya mewaspadai kehadiran “orang luar”, semangat cinta Bali harus dipompa dengan mengalakan lomba-lomba bernuansa tradisi bagi generasi muda. Produk budaya “luar” yang diandaikan bisa melunturkan keaslian budaya Bali diwaspadai kehadirannya. Musik rock diasosiasikan sebagai “kebudayaan luar” yang tak sesuai dengan semangat Ajeg Bali. Konser Undergorund di banjar-banjar kemudian lambat laun tergusur. Bale banjar kemudian didominasi oleh kreativitas seni tradisional saja.
Pengertian budaya sebagai entitas cair dan bercampur tak masuk dalam konsep jaga budaya versi Ajeg Bali ini. Masyarakat diajak untuk melupakan sejarah budaya Bali yang pada dasarnya terbentuk dari interaksi percampuran segala macam unsur entah pengaruh budaya dari India, Cina, Jawa, kolonial, budaya setempat maupun dinamika politik ekonomi serta pariwisata masa lalu dan kekinian.
Musisi-musisi muda dan khalayak penikmat musik Underground yang sulit medapatkan ruang di banjar ini kemudian “terjaring” oleh pihak swasta. Korporasi kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, rokok, fashion dan lain sebagainya mensponsori even-even konser musik cadas di pulau Dewata. Karena modal korporasi ini besar maka even-even yang disponsori korporasi ini jauh lebih spektakuler dari even-even di banjar.
Tentu saja ada hierarki, band-band yang punya nama bisa dapat pentas dengan gratis karena mereka diundang bahkan dibayar, dan pastinya dapat jam tayang pas. Bagi band-band pemula harus menembus berbagai penghalang untuk mengakses panggung. Mereka membayar pendaftaran untuk ikut seleksi. Itu pun kalau tembus seleksi jam tayangnya di awal-awal pas penonton lagi sepi.
Hal-hal yang hadir dalam konser di Banjar tak muncul pada even-even bersponsor. Dulu, remaja yang baru punya band bisa mengorganisir kawan-kawannya untuk membuat panggung sendiri di banjar masing-masing. Sekarang mereka harus merogoh kocek sendiri untuk menembus tembok seleksi agar bisa mengakses panggung.
Panggung yang dulunya bisa dimunculkan di banjar dengan gaya komunitas, sekarang terasa aneh sebab panggung musik ada di luar banjar yang cenderung menggantungkan diri pada sponsor.
Fanatisme
Sudah pasti lapak arak odah, dan pedagang kaki lima tak dapat tempat di arena sekitaran even konser bersponsor. Arena itu hanya diperuntukan bagi para sponsor, dan seandainya jika ada stand, itu pun disediakan bagi yang bisa menyewa stand. Tidak pelak stand-stand itu hanya bisa diakses oleh pebisnis berkocek tebal.
Pertemuan lintas generasi dan lintas kebudayaan tak lagi dimungkinkan di even-even bersponsor ini. Sulit ditemui band Undergorund bisa satu panggung dengan tarian tradisional. Audiensnnya segmented, tidak ada saling papas, atau saling mengagumi antara generasi muda dan para sepuh. Generasi muda dan generasi tua semakin berjarak dan tak saling kenal.
Suasana banjar juga berubah, bangunannya bukan lagi terbuka terhadap angin perubahan. Hal ini dicirikan dengan temboknya yang semakin kokoh meninggi bak penjara, terkesan membuat jarak terhadap hal-hal dari luar. Suara tetabuhan dan kidung doa dari tape dengan corong toa menyayat telinga menjadi kebisingan yang monoton.
Pemandangan akan sangat berbeda jika kita melihat foto-foto Bali tempo dulu. Pakaian manusia Bali pada saat itu beragam warna dan corak. Semenjak wacana Ajeg Bali mengudara semuanya menjadi seragam dari seragam ke pura, seragam waktu sangkep hingga pecalang berseragam.
Semuanya berlomba-lomba ingin menjadi siapa yang paling Bali atau yang paling Hindu. Lomba “yang paling” ini selain membuat kita menyangkal identitas kita yang pada dasarnya bercampur, sekaligus menciptakan fanatisme, seolah-olah kita lah yang paling hebat, sehingga membuat kita canggung mencicipi hal-hal baru. Mencicipi hal baru dianggap mencemari diri bahkan dicap penghianat budaya.
Anak muda yang dianggap “penghianat budaya” atau “lupa akar” ini kemudian masuk ke dalam ruang ganas yang bernama pasar.
Tentu saja yang namanya pasar, panggung hanya tersedia bagi mereka yang bisa mengundang banyak massa sebab massa adalah konsumen. Pasar memang seperti itu sifatnya. Yang menjadi persoalan, ketika banjar berseragam berakibat terhadap redamnya keberanian untuk menjadi beragam. Padahal keberagaman ini adalah ruang bagi mereka yang masih terseok-seok mencari panggung, dan ruang bagi lintas generasi untuk saling cicip-mencicip kebudayaan dengan “gratis”.
Penggerak
Jika hari ini kita melihat gerakan rakyat tolak reklamasi Teluk Benoa, maka kita akan melihat orang-orang yang dianggap identitasnya “tercemar” itu adalah salah satu penggerak utama dari gerakan ini. Para musisi bersama fans mereka ikut berada dalam aksi protes jalanan bersama warga lainnya.
Meski investor menghalalkan segala macam cara dengan menyatakan proyek urug laut ini sebagai revitalisasi atau perbaikan, para musisi yang konon mahluk hedon suka pesta ini tak pernah kendor berteriak tolak. Bahkan seringkali musisi-musisi dengan para fans bergabung dengan muda-mudi penepak tabuh, penari barong, dan pemuda pengusung ogoh-ogoh dalam parade budaya Tolak Reklamasi.
Kutub-kutub kebudayaan yang diterjemahkan saling terpisah ini bisa bercampur di dalam gerakan ini.
Dari perlawanan muda-mudi Bali yang mengunakan berbagai ekspresi kebudayaan sebagai senjata melawan, kita bisa belajar, bahwa orang yang dianggap “penghianat budaya” atau “lupa akar” ini tidak boleh diukur dari musik apa, atau praktik kebudayaan apa yang mereka batinkan, melainkan dari perbuatan mereka.
Banyak contoh di masyarakat manusia-manusia yang didaulat sebagai pengayom umat, gemar medana punia ke pura, dan rajin berpakaian adat ternyata ikut bersekutu dengan investor rakus yang ingin melahap tanah air warisan leluhur.
Agar kita semakin arif dan tak sakit hati, akuilah budaya itu bersifat dinamis dan cair. Penyangkalan atau menutup mata membuat kepala tambah pening. Baik buruk tak bisa dinilai lewat atribut-atribut budaya, namun dari laku dan sikap. [b]
di banjar bajangku pidan sajan taen ade seni campur-campur. tapi be engsap, be mekeloooooo gatiiiiii. bahkan ingatan sudah tercerabut karena jejak ini tak berbekas tiada yg mendokumentasikan
Pas, mantap, sesuai.. Saye pernah merasakan ngeband di banjar, dengan didampingi ayam dalam kurungan di kanan kiri panggung.. Hehe..
kalimat ” melahap tanah air warisan leluhur.”. mengingatkan saya kepada leluhur bahwa sebenarnya tanah leluhur warisan dari nenek moyang itu tidak boleh di jual. itu adat dari bali itu sendiri. jadi kalo ada orang bali yang jual tanah leluhurnya. berarti bukan orang bali yang mematuhi adat istiadatnya. Dan peranan yang sangat mempengaruhi jual beli tanah di bali adalah pendatang dari luar bali maupun luar indonesia. So.. bisa di banyangkan untuk 10 Tahun kedepan Bali akan menjadi bagaimana.
Meh..
Jangan menggeneralisir orang orang yang ingin berkecimpung dalam kebudayaan bali sebagai orang yang hanya ingin berlomba menjadi paling bali. Apakah anda anti sekali dengan musik bali?
Jujur, bali sekarang cenderung ke arah kapitalis, tapi jangan menyalahkan semua orang bali yang ingin jual tanahnya, kita tidak tahu tekanan apa yang sedang dialami orang tersebut.
Mengenai revitalisasi, saya berada ditengah2, karena melihat keadaan teluk yang sudah terlanjur ‘kutek’