Tahun 2015 menjadi catatan penting dalam sejarah vulkanologi Indonesia.
Dua abad lalu, pada 10-15 April 1815, Gunung Tambora meletus dan menimbulkan dampak mahadahsyat. Bentara Budaya Bali memperingati 200 tahun letusan itu.
Sekaligus Perayaan 50 Tahun KOMPAS, Bentara Budaya Bali akan menyelenggarakan Pameran, Pertunjukan dan Seminar “Kuldesak Tambora”.
Pameran bermula di Bentara Budaya Jakarta, 17 – 26 April 2015. Kemudian berlanjut di Bentara Budaya Bali, 9 – 12 September 2015.
Eksibisi akan dibuka secara resmi pada 9 September 2015 di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel, secara khusus menghadirkan tajuk “Bencana dan Peradaban Tambora 1815”.
Pameran kali ini sejalan dengan tema utama Bentara Budaya tahun 2015, Giri-Bahari. Pasang-surut interaksi manusia dengan alam raya—gunung api (giri) dan samudera (bahari), adalah pasang-surut peradaban kebudayaan lokal dengan fenomena alam. Saat alam raya menggelar potensi alam dan kesuburan tanahnya, maka pertumbuhan pemukiman dan jejaring sosial politik mekar dan mencapai keteraturan tertentu.
Inilah tempora “Jaya Giri Jaya Bahari”.
Kegiatan ini bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Denpasar. Akan hadir teks-teks lama dan literatur tentang Gunung Tambora, Babad Bima, Syair Kerajaan Bima, dan berbagai publikasi kuna dalam bahasa daerah Bima. Seluruhnya koleksi ilmuwan Dr Maryam, pewaris kerajaan Bima.
Materi pameran lain berupa proses letusan yang ditampilkan dalam bentuk infografis dan foto, dampak letusan terhadap tiga kerajaan di Tambora, dan dampak letusan berdasarkan kajian vulkanologi dari Pusat Geologi (PVMBG) yang ditampilkan dalam bentuk foto dan infografik.
Ada pula ulasan tentang pengaruh letusan ke daerah lain terutama Eropa.
Diangkat pula unsur sejarah seperti Kerajaan Sanggar dengan bukti sejarah serta artefak-artefaknya. Aspek lainnya adalah keindahan alam dan mitigasi. Terakhir ditampilkan pula potret enam gunung dalam bentuk infografis dan artefak.
Menurut Naniek Harkantiningsih dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, peristiwa kali ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan hasil penelitian tentang erupsi Tambora melalui jejak-jejak vulkanisnya. Sekaligus juga aneka perspektif dari masa lalu maupun masa kini sebagai bagian dari pengembangan Tambora sebagai warisan budaya.
Eksibisi artefak-artefak bersejarah Tambora yang diresmikan langsung oleh Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Drs. I Made Geria, M.Si., ini diwarnai pula pertunjukan seni oleh Sanggar Kebo Iwa dan pemutaran video tentang Tambora.
Ada pula seminar tentang Penelitian Arkeologi dan Pengembangan Kawasan Warisan Budaya Berkelanjutan pada 10 September 2015.
Seminar ini akan menghadirkan narasumber, antara lain: Henri Chamber Loir (EFEO), Drs. Sonny Wibisono, MA; DEA (Pusat Arkeologi Nasioal), Drs. I Gusti Made Swarbhawa (Balai Arkeologi Denpasar), Ir. Agus Budianto (Badan Geologi, Kementerian ESDM, Bandung), Nahar Cahyandaru, S.Si (Bali Konservasi Borobudur), Ir.Kriswandhono, M. Hum ( ERMIT-Conservation Institute), DR. Salman Faris (Dinas Pendidikan Kebudayaan (Bima-Lombok) dan Hariadi Saptono.
Sebagai moderator dan penanggap antara lain; Harry Truman Simanjuntak (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Wiwin Djuwita Ramelan (Dep. Arkeologi, Universitas Indonesia), Indio Pratomo (Museum Geologi Bandung), Bambang Eryudhawan (Anggota Tim Ahli Cagar Budaya, Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA)), Harry Widianto (Direktur Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman), dan Daud Aris Tanudirjo (Dep. Arkeologi, Universitas Gajah Mada).
Sejarah mencatat, erupsi Tambora tidak semata-mata sebuah fenomena alam, peristiwa ini juga diingat sebagai sebuah bencana bagi kemanusiaan dan lingkungan. Dalam BO (buku) Kerajaan Bima peristiwa ini sempat dicatat, dua kerajaan yaitu Kerajaan Tambora dan Pekat musnah akibat bencana itu.
Sesudah letusan sebuah ekspedisi pertama masuk ke Tambora dilakukan H. Zolinger, memperkirakan letusan itu telah menewaskan sekitar 60.000 orang. Namun, lebih dari itu durasi dampak letusannya masih berlangsung setahun kemudian, tahun 1816 di belahan benua eropa mengalami perubahan iklim dunia.
Selain pameran ini, sebelumnya Kompas juga mengadakan acara dalam rangka memperingati dua abad letusan Gunung Tambora, bertajuk Tambora Challenge yang terbagi menjadi tiga kegiatan yaitu Trans-Sumbawa 200, Tambora Bike, dan Tambora Trail Run. [b]