Oleh Anton Muhajir
Pukul 5 sore di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Kesiman, Denpasar Timur. Ni Ketut Suntreg, berumur sekitar 85 tahun, sudah minta mandi. Perempuan renta ini meminta dengan suara yang sangat pelan pada Tri Sukriswati, relawan di panti lansia tersebut.
Sore itu Suntreg duduk di kursi roda di beranda Wisma Isolasi di panti jompo tersebut bersama satu temannya. Dua perempuan lain tidur di kasur dengan sprei putih kusam di dalam wisma ini. Enam lainnya duduk di depan beranda wisma Anggrek di sebelah utara wisma Isolasi. Semua perempuan itu sudah renta, paling muda 60 tahun dan paling tua 94 tahun.
Tri segera membantu Suntreg. Dia membawa Suntreg masuk kamar mandi setelah melepaskan satu per satu pakaian Suntreg, termasuk popok besar yang dipakainya. Memakai sarung tangan, Tri memandikan Suntreg yang kini duduk di kursi roda khusus untuk mandi yang berlapis plastik. Tak hanya menyiramkan air Tri juga membersihkan tubuh Sentrug yang sudah keriput itu dengan sabun.
Sekitar 10 menit kemudian setelah mandi, Tri kembali membawa Suntreg ke kasur, tempat tidur sekaligus tempat Suntreg sering duduk selain di kursi roda. Tri memakaikan pakaian Suntreg setelah mengusapkan minyak telon dan bedak di tubuh Suntreg.
Selesai memandikan Suntreg, Tri beranjak melakukan pekerjaan lain. Membersihkan ruangan.
Di ruang yang sama, relawan lain Maria sedang melipat baju semua penghuni panti tersebut. Tak hanya bertugas melipat baju, Maria juga mencuci pakaian, membersihkan ruangan, menyiapkan makanan, bahkan membersihkan kotoran para lansia tersebut.
Rabu (18/3) kemarin, ketika umat Hindu di Bali merayakan Galungan, menjadi hari yang melelahkan bagi Tri dan Maria. Hanya berdua mereka harus mengurusi 49 lansia yang tinggal di panti. “Staf lain sedang merayakan Galungan. Jadi mereka hanya ke sini untuk membantu menyiapkan sarapan, setelah itu langsung sembahyang semua,” kata Tri.
Tri dan Maria bukanlah pegawai tetap di panti lansia tersebut. Tri yang bekerja sejak 2003 di panti tersebut adalah relawan yang digaji oleh Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP). Adapun Maria pegawai honorer. “Saya tidak mungkin bisa jadi pegawai tetap. Lha wong saya buta huruf,” kata Maria, perempuan kelahiran Banyuwangi tersebut.
Menurut Koordinator Pelayanan Teknis Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Kesiman Stefanus Bessi, saat ini ada 11 PNS, dua tenaga honorer, dan satu relawan di panti lansia tersebut. Tiap hari mereka harus mengurus orang-orang tua yang dititipkan oleh keluarganya tersebut.
Panti itu sendiri terbagi di dua kompleks yang terpisah oleh jalan Gemitir, Biaung, Denpasar Timur. Wisma 1-6, di sisi barat jalan adalah tempat lansia yang masih sehat secara fisik maupun mental. Rabu sore kemarin sebagian lansia yang masih lancar diajak berbicara itu sedang menyapu halaman. Sebagian lagi ngobrol satu sama lain di halaman belakang.
Adapun wisma 7-9, tempat di mana Suntreg dan 13 lansia lain tinggal, berada di timur jalan. Lansia yang tinggal di sini sebagian besar sudah dalam kondisi sakit atau setidaknya sering sakit. Karena itu, klinik lansia juga berada di wisma ini.
Lansia yang paling tua pun berada di sini. Dua di antaranya adalah Ni Ketut Rintin, 90 tahun, dan Ni Ketut Rempyug, 94 tahun. Keduanya tak bisa melakukan kegiatan apa pun selain duduk dan tidur di kasur. Untuk duduk harus dibantu. Ketika diajak bicara mereka juga tidak bisa merespon. Seperti halnya Suntreg, mereka pun memakai popok. “Takutnya mereka tidak sadar tiba-tiba kencing di kasur,” kata Tri.
Menurut perempuan kelahiran Jogjakarta ini, lansia yang sudah tidak bisa inilah yang memerlukan perhatian khusus karena mereka sudah tidak bisa melakukan kegiatan sendiri. Semua kegiatannya mulai dari mandi, makan, minum obat, kencing, sampai buang air besar pun harus dibantu oleh para pengasuh. Para lansia ini memerlukan orang yang selalu siap membantu mereka 24 jam.
Namun, menurut Tri, tidak ada pegawai yang menjaga di panti selama 24 jam. “Para pegawai hanya masuk pada jam kantor. Di luar itu ya tidak ada yang mengurus,” tambah ibu dua anak tersebut.
Stefanus Bessie memberikan keterangan berbeda. Menurutnya di panti tersebut ada empat pegawai yang tinggal sehingga bisa dengan mudah kapan pun memberikan bantuan untuk para lansia. Tapi karena pas libur Galungan jadi para pegawai tersebut tidak ada.
Ironisnya, selain kurangnya pegawai yang mengurusinya, para lansia itu juga tidak terlalu mendapatkan perhatian dari keluarga. Galungan kemarin tak satu pun anggota keluarga para lansia yang mengunjungi mereka. Menurut para lansia itu tiap Galungan mereka selalu merayakannya di sana tanpa keluarga.
Menurut Tri, para lansia itu memang jarang dikunjungi keluarga termasuk saat hari raya. “Mereka seperti sudah dibuang oleh keluarganya,” tambahnya.
Tri menambahkan ada lansia yang tidak diurus keluarganya sama sekali bahkan meski sudah meninggal. “Katanya sih karena ibu itu sudah turun kasta dan keluarganya takut kena karma. Saya tidak percaya. Masak sih budaya Bali sampai segitunya,” keluh Tri. [b]
Saya ingin jadi pengasuh di panti jompo. Apakah ada persyaratan tertentu?
Saya sekarang tinggal d jakarta.