Ada sesuatu yang dibicarakan tanpa habis, selalu ada cerita baru, dan tentunya menjadi bagian dari sejarah. Semua dimulai dari kata, lalu beranjak menjadi drama, film, bahkan alunan musik yang syahdu. Bisakah ia hilang, atau tak digemari lagi?
Bukankah ini sesuatu yang akan membawa generasi muda mengenal dunia? Ia bukan sebuah kaca yang yang mudah pecah, bukan juga batu yang harus dipukul berkali-kali agar retak, tapi ini tentang seni sastra. Pembawa kebudayaan abadi dengan goresan tangan, entah itu tulisan atau sebuah gambar.
Seni sastra kembali bergema di kota Singaraja dalam acara Singaraja Literary Festival yang dilaksanakan oleh Yayasan Mahima Indonesia pada 29 September 2023 sampai 1 Oktober 2023. Acara ini merupakan festival kesusastraan pertama di Singaraja yang berbasis dari lontar-lontar lama di Gedong Kirtya.
Semua berkumpul dari bagian Bali selatan hingga utara. Menariknya tidak hanya sastrawan yang datang, tapi ada guru, mahasiswa, siswa, bahkan warga lokal dengan antusias menghadiri semua rangkaian acara. Bisa dibayangkan, saat itu keadaan riuh tapi berilmu. Bisa dikatakan juga, pertemuan antar pemilik seni sastra.
Mereka saling bertegur sapa, tertawa, bahkan ada yang berdiri dalam waktu lama untuk membahas pengalaman di bidang sastra. Seakan-akan ada yang baru bertemu setelah kehilangan beberapa lama, kembali merangkul dengan sebuah cerita.
Para tokoh sastrawan hebat datang sebagai pembicara, salah satunya Henry Manampiring. Beliau sangat digandrungi oleh anak-anak muda di Singaraja. Mereka berbondong-bondong untuk bisa bertemu dan berbagi ilmu. Tidak lupa, mereka juga mengabadikan moment dan mengunggah di sosial media. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka, kataku. Pertemuan antara kawan, keluarga, media, dan juga pertemuan antara penggemar sastra.
Kalian harus tahu, acara ini terdiri dari lomba membaca puisi tingkat SD, SMP, SMA/SMK dan Umum se-Bali, workshop seni sastra, serta acara hiburan. Ada penampilan seni, dramatic reading, wayang, dan lain sebagainya. Pada hari pembukaan, ada penampilan anak-anak sekolah dasar dalam cerita “Siap Selem” hingga menarik perhatian pengunjung. Ada juga penampilan mahasiswa dari STAH Mpu Kuturan dan Universitas Pendidikan Ganesha dalam dramatic reading “Mlancaran Ka Sasak karya Gde Srawana”, penampilan alat musik tradisional, dan masih banyak lagi.
Aku sebagai pengamat, tapi jangan salah. Aku juga bagian dari acara ini. Dramatic Reading adalah salah satu pementasan yang membuatku belajar tentang berproses bersama. Tidak semua kata nekad itu bahaya, tapi akan ada kejutan yang lebih luar biasa dari bayangan.
Aku memberanikan diri untuk ikut pementasan “Mlancaran Ka Sasak” meskipun tak pandai berbahasa daerah. Semua dilalui dengan rasa ragu, tapi akhirnya bertemu dengan mereka yang saling mengajari dan merangkul dengan sangat baik. Selain itu, aku juga mendapatkan kesempatan untuk ditonton oleh idolaku. Rasanya aneh karena biasanya aku yang berada di bawah panggung. Sekarang berbanding terbalik, beliau yang menikmati pementasan ku dengan teman-teman.
Katanya “Kamu yang kemarin pentas ya? Wah keren-keren”
Tidak pernah terbayangkan mendapat pujian, apalagi dari seorang idola. Bukan perihal siapa aku dan siapa beliau, tapi rasa kepemilikan terhadap diri. Pengalaman ini membuat aku percaya bahwa apa yang telah dimulai dengan baik maka berakhir baik.
Singaraja Literary Festival membawa petualangan seni sastra yang luar biasa. Semoga tahun 2024, aku masih bisa merasakan kebanggaan ini.
situs mahjong