Jargon nindihin Bali amatlah abstrak dan jauh di awang-awang.
Kita membanggakan pencitraan, seperti berbudaya luhur, ramah tamah, religius, berperadabab tinggi. Bila ada pertanyaan, siapa pada mulanya memberi kita citra sehebat itu, dan mengapa begitu, kita sepakat berargumentasi, tidak ada gunanya mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas (IBM Dharma Palguna, 2006: 162)
Sumir-sumir kembali saya mendengar jargon menjaga kebudayaan Bali dari (yang dianggap dalam) ancaman. Entah apa yang dipersepsikan ancaman tersebut. Namun, yang jelas segala sesuatu dari luar, bukan dari dalam masyarakat Bali sendiri.
Eksploitasi ancaman (dari luar) itulah yang membuat orang Bali awas, mengonsolidasikan diri untuk nindihin Bali hingga puputan.
Saje ne? Sungguhkah?
Menjelang Pemilu serentak, 17 April 2019 lalu, para Calon Anggota Legislatif (Caleg) berlomba-lomba menampilkan dirinya sebagai penjaga Bali, sang pembela Bali. Beragam jargon muncul ke permukaan: nindihin Bali, menjaga taksu Bali, dan penjaga Bali.
Entah dari mana datangnya, menjelang Pemilu, semua yang berkeinginan mendulang suara, bersepakat dalam jargon untuk menjaga dan membela Bali (untuk apa?).
Namun, tunggu dulu. Kepentingan dan praktik di lapangan pasti akan berbeda. Saya bisa pastikan, setelah pesta demokrasi ini, gemuruh suara pembela Bali akan berangsur surut. Kembali senyap.
Jargon Nindihin Bali, membela Bali, atau menjaga Bali bukanlah hal baru. Meski terkesan sudah usang, jargon ini terbukti manjur untuk menjaring emosi masyarakat Bali yang semakin terhimpit ini. Jika terhimpit, tentunya kita perlu bantuan untuk member rasa aman.
Jika kita menelisik lebih dalam, jargon ini tidaklah steril dari labirin kekuasaan. Kolonisasi Belanda memproduksi pengetahuan tentang eksotisme (baca: keindahan) sekaligus bayangan keterancaman Bali. Oleh sebab itulah, munculnya keinginan untuk menjaga Bali dari “pengaruh negatif” luar yang akan melunturkan eksotisme Bali tersebut.
Segala upaya dilakukan. Salah satunya dengan mengakumulasi pengetahuan dan praktik untuk kuasa menjaga Bali.
Eksotisme
Pencitraan menjaga/membela Bali yang (seolah-olah) terancam dan tidak lagi indah sesuai bayangan, memiliki sejarah panjang dan penuh dengan jejaring kuasa. Patut diduga, para caleg yang menggunakan tagline membela Bali, Nindihin Bali, atau menjaga taksu Bali, menerima warisan pengetahuan tentang citra Bali dengan mentah-mentah dan apa adanya.
Atau justru ada yang sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak mengerti. Hanya untuk mendulang suara beberapa segmen masyarakat yang sentimen nindihin Bali-nya tinggi.
Rezim kolonial Belanda sejatinya menyumbang peran sangat besar dalam konstruksi citra Bali dan usaha menjaga citra eksotisnya. Publikasi wacana yang sangat produktif tentang citra Bali sebagai “sorga terakhir” terjadi pada dekade 1920-an dan 1930-an. Para antropolog, seniman, arkeolog, ahli hukum, dan para sarjana-sarjana lainnya yang melakukannya.
Rezim “kedamaian dan ketertiban” bukan hanya menjadi semboyan dari Orde Baru, tapi jauh sebelumnya menjadi politik kebudayaan rezim kolonial Belanda untuk mencari akar kemurnian tradisi dan budaya Bali.
Rezim kolonial Belanda dengan kuasanya memproduksi dan mentransmisikan pengetahuan ini melalui intervensi kepada organisasi tradisional di Bali. Dan yang terpenting adalah kekuasaan kolonial pada kerajaan yang menjadi pusat kekuasaan.
Oleh karena itulah, apa yang dicitrakan terhadap Bali hingga kini bukanlah “alami”. Citra yang (di)lekat(kan) terhadap Bali adalah sebagai negeri yang “kultural”, di mana semua peristiwa ketegangan politik dan kekerasan berlangsung secara alami dan memiliki ciri budaya yang khas.
Pengetahuan kultural tentang keseimbangan alam dilekatkan pada harmoni Bali. Oleh karena itulah, wacana politik kebudayaan dan konflik politik dalam arti apapun bukanlah “alami” atau hasil yang sudah semestinya dari keniscayaan kultural atau sosiologis yang spesifik di Bali. Mereka dibentuk, kadang tanpa disadari tetapi sering kali disengaja, oleh kebijakan dan praktik negara kolonial Belanda.
Karena itulah klaim “tradisi” Bali yang begitu dikagumi para pengamat asing sampai hari ini pada hakikatnya adalah artefak kebijakan kolonial Belanda (Robinson, 2006: 32).
Politik kebudayaan dan kependidikan Baliseering (Balinisasi) dari rezim kolonial Belanda yang dimulai tahun 1920-an berkeinginan untuk mempertahankan Bali sebagai “museum hidup”. Totalitas kebudayaan Bali dirombak sesuai citra romantik yang memesona bagi pihak luar, tapi bukan bagi orang Bali yang berminat menentukan nasibnya sendiri.
Orang Bali hanya menjadi objek dan menerima dengan lapang dada citra (eksotis) yang disematkan padanya.
Pewarisan
Panglima penerus perspektif eksotisme itu adalah “pariwisata budaya”.
IBM Dharma Palguna (2006) dengan alegoris menuturkan bahwa pariwisata adalah sebagai panglima bagi masyarakat Bali. Bali berhutang pencitraan pada pariwisata. Selain sebagai panglima, pariwisata juga sebagai guru yang mengajarkan masyarakat Bali belajar bahasa asing, kebudayaan baru, etika dan sopan santun, citarasa lidah baru, hingga menawarkan pandangan baru.
Hutang kepada guru (pariwisata) haruslah dibayar dengan persembahan sebagai bentuk rasa bakti. Balasannya adalah limpahan kemakmuran materi. Masyarakat Bali hanyalah serdadu dari panglima sekaligus guru bernama pariwisata ini. Tugas seorang serdadu adalah bertempur melawan musuh yang menyerang wilayah kekuasaan pariwisata yan agung.
Sang panglima telah menunjukkan musuh-musuh yang harus diwaspadai. Gejolak sosial sekecil apa pun adalah musuh yang berpotensi melesukan darah pariwisata. Karenanya, selain diwaspadai, gejolak sosial harus ditekan dan disembunyikan (Palguna, 2006: 8).
Kecanggihan panglima pariwisata dipagari dengan berbagai jargon-jargonnya di Bali. Salah satunya yang sangat melegenda dan terwarisi hingga hari ini adalah kata sakti “pariwisata budaya”.
Terminologi ini adalah kata mujarab untuk membius masyarakat Bali untuk masuk dalam bayang-bayang abstraknya. Terminologi ini menyatakan bahwa (sepatutnya) pariwisata harus bersifat “budaya” untuk diterima oleh orang Bali. Dengan demikian, harusnya juga kebudayaan Bali diupayakan dapat ditawarkan di pasaran sebagai produk pariwisata.
Akibatnya, kebudayaan Bali harus berciri pariwisata. Dalam wacana pariwisata budaya, “kebudayaan Bali” selalu dikaitkan dengan tiga unsur, yang merupakan tiga lapis yang betumpang tindih satu sama lain yaitu: bersumber pada agama Hindu, mengilhami adat-istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adat, dan menjelma dalam bentuk seni yang bernilai tinggi (Picard, 2006: 268 – 269).
Dasar dari doktrin pariwisata budaya tersebut jelaslah tidak bisa dilepaskan dari kuasa kolonial dalam pembentukan citra Bali, dan juga paradigma menjadikan budaya sebagai “modal dan hak milik” yang dijual dalam paket pariwisata. Dengan kembali melihat konstruksi kolonial terhadap Bali yang “tradisi”, unik dan harmonis itu, kita akan dibawa melihat bagaimana transmisi sekaligus alih ubah kekuasaan kolonial dalam melihat Bali dan pariwisatanya, diterjemahkan dengan sangat apik oleh tangan-tangan rezim “pariwisata budaya”.
Rezim pariwisatalah yang menyandera manusia dan kebudayaan Bali dengan kecanggihan konsep dan diversifikasi pariwisatanya yang seolah-olah berpihak kepada rakyat (baca: desa wisata, ekowisata, wisata religi, dan wisata-wisata lainnya).
Jargon lainnya adalah merasuknya ideologi Sapta Pesona sebagai proyek pembangunan citra manusia Bali yang selalu menjungjung tinggi: keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kesejukan, keramahtamahan, dan kenangan demi datangnya turis dan amannya industri pariwisata. Dengan demikian, manusia Bali bisa tersenyum manis menunggu gemerincing dolar memenuhi kantong mereka.
Satu jargon lagi produksi rezim ideologi pariwisata budaya adalah menciptakan pulau “Bali yang BALI”, Bersih, Aman, Lestari, Indah. Keseluruhan jargon-jargon tersebut merasuk dalam “stabilitas keamanan dan ketertiban” khas konstruksi rezim otoritarian Orde Baru.
Jargon nindihin Bali terdengar nyaring dalam pentas perebutan kekuasaan ekonomi politik. Sebelumnya, kita terbius bujuk rayu gerakan Ajeg Bali yang juga sama-sama nindihin Bali. Tidak ada bedanya.
Saya menduga semuanya adalah tipu muslihat kelompok kelas menengah dengan mimpinya terhadap Bali kontemporer. Bagi masyarakat Bali di akar rumput, saya menduga, pariwisata hanya sekadar untuk mencari hidup sehari-hari. Bukan soal ideologi. Bukan pula tradisi, kebudayaan, peradaban, kelestarian, keajegan atau yang lainnya.
Jargon nindihin Bali adalah sesuatu yang abstrak dan jauh di awang-awang. Masyarakat Bali lihai jika berbicara sesuatu di awang-awang, tetapi kehilangan akal menyikapi kondisi Bali kini yang penuh dengan beragam persoalan.
Demikian juga, banyak Caleg tetiba bicara nindihin taksu Bali atau penjaga Bali. Padahal sebenarnya ia adalah bagian orang yang menjual Bali hingga ke ampas-ampasnya. [b]