MEN COBLONG terdiam dan syok.
Dia mendengar pembicaraan lima orang anak lelaki kelas dua belas yang sedang mengerjakan tugas kelompok di rumahnya. Anak-anak tujuh belas tahun itu sesekali terdengar bercanda dan saling menggoda. Sayup-sayup suara-suara itu menghajar pikiran Men Coblong.
“Aku besok kalu sudah besar ingin jadi koruptor saja. Tidak perlu kuliah dengan IP tinggi, kayaknya menjadi kaya dan populis itu gampang,” suara seorang anak lelaki meluncur ringan dan riang dari kamar anak Men Coblong.
Tidak ada rasa takut, tidak ada keraguan. Tidak ada juga “wagu” dari kalimat yang meluncur dari salah seorang anak itu. Teman-temannya yang lain ikut menimpali dengan gurauan-gurauan yang bagi men Coblong sesungguhnya “miris”, bahkan ada yang menimpali.
“Aku ingin jadi polisi,” sahut suara yang lain. Men Coblong hafal dengan suara anak yang bicara ingin jadi polisi, karena sudah sejak kelas sebelas anak lelaki bertubuh atletis itu mempersiapkan fisiknya untuk bisa lolos menjadi polisi.
“Akademiknya sih tidak bagus, tapi dia baik, Mi. Seluruh anak-anak di sekolah takut padanya. Tapi dengan teman-teman selelasnya dia baik sekali. Jadi kita semua merasa aman. Anak-anak perempuan juga dilindungi. Tidak ada yang berani menganggu anak-anak perempuan di kelas. Pokoknya kelas kita kan terkenal “tukang belajar” adanya si Z ini, kelas jadi terlindungi. Mau ke kantin kalau bersama si Z, kita dilayani terlebih dulu, anak-anak lain menghindar. Jadi kita tidak pernah kehabisan makanan. Dulu sebelum si Z, masuk kelas kita, kelas kita suka dibully. Makanya anak-anak di kelasku jarang keluar, bawa bekal dari rumah,” suatu hari anak Men Coblong bercerita tentang seorang anak lelaki bernama Z (sebut saja demikian), pindahan dari sebuah sekolah menengah swasta di Denpasar.
Aslinya Men Coblong kaget juga dengan informasi dari anak semata wayangnya tentang murid baru di kelasnya, pindahan dari sekolah swasta. Bagaimana caranya? Kok dari sekolah swasta bisa pindah ke sekolah negeri?
Men Coblong tahu persis sekolah anaknya biasanya tidak jadi pilihan siswa menengah pertama. Karena sekolah yang dipilih anak Men Coblong isinya dari pagi-menjelang sore belajar. Dan masuk sekolah menengah atas itu minimal rata-rata nilai hasil ujian sembilan.
Dalam waktu sekejap di kelas sebelas, isi cerita anak Men Coblong. Terus si Z, menurut anak Men Coblong, teman-teman sekelas juga hormat padanya walaupun gaya dan lagak si Z masih bergaya semaunya. Dia masih sering bolos. Bisa dibayangkan nilai akademiknya? Solidaritas yang tinggi di kelas, membuat si Z, minimal bisa mengikuti pelajaran.
“Si Z itu baik, kadang mau juga kok belajar. Tapi fokusnya ingin jadi polisi,” papar anak Men Coblong berkali-kali.
Di tengah suasana serius mengerjakan tugas Fisika pembicaraan anak-anak itu terus berlanjut. Ringan, santai tanpa beban. Seolah negara tidak ada. Seolah “drama” Pilpres yang seperti sinetron dan telenovela itu tidak jadi pembicaraan, juga tidak jadi minat mereka.
Padahal, bagi Men Coblong “drama” menjelang Pilpres justru menarik karena tarik-ulur Cawapres yang kadang buat geli juga. Sebetulnya sadar mereka para pemain “drama” itu sadar tidak ya? Hal penting yang harus mereka sudahi adalah solusi untuk menggerus korupsi.
Men Coblong sesungguhnya salut dengan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendiskualifikasi bakal calon legislator mantan narapidana korupsi. Kebijakan ini semakin terbuka setelah Mahkamah Agung menghentikan sementara sidang perkara gugatan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. PKPU tersebut melarang mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon legislator.
Kekerasan hati KPU sungguh membuat Men Coblong takjub, minimal ada harapan di tengah “drama-drama” yang dipentaskan partai dan petinggi negeri.
“Komunitas nasionalis dan religius. Kau jangan terpeleset lidah, nanti kau diperkarakan,” kata sahabat Men Coblong dingin dan prihatin.
Men Coblong terdiam. Tercenung lama dan sesungguhnya tidak tahu lagi harus berkata apa. Kontestasi Pilpres sebentar lagi akan berjalan. Pasti membuat panas-dingin. Cuaca pasti tidak enak, belum lagi jika ada yang “menjual dagangan” agama.
“Huss, jangan berisik. Nanti kau bisa dibui.” Berkali-kali sahabat Men Coblong berbisik sangat pelan dan lirih. Seringkali telinga Men Coblong tidak bisa menangkap suara sahabatnya itu. Maklum usia sesungguhnya tidak bisa menipu. Dan Men Coblong sering marah dengan suara sahabatnya itu yang terlalu lirih.
Men Coblong tidak mengerti, kenapa dia yang tadinya begitu berisik jadi berubah karakter, lebih santun jika bicara tentang beragam kebobrokan negeri. Juga tokoh-tokoh politik yang berseliweran dan sering membuat Men Coblong pegal dan lelah melihat beragam gaya dan peran yang mereka mainkan.
“Diamlah kau. Rakyat sesungguhnya tidak bodoh. Kau ingat, bukankah kotak kosong bisa menang dalam Pilkada, itu artinya sekarang ini rakyat juga bisa main-main. Sabarlah sedikit, jangan grasa-grusu. Makanya sering-seringlah kau nonton sinetron Indonesia. Biar kau belajar sabar dengan alur cerita yang melilit dan membelit. Jika rating naik, makin panjanglah adegan-adegan yang tidak masuk akal. Begitulah kondisi negeri kita saat ini. Sabar. Mbok sabar,” kata sahabat Men Coblong dengan dialek yang dibuat-buat.
Sebagai penonton setia, Men Coblong harus sabar. Biarkan KPU memasuki lembar kerja baru. Mulai akhir pekan lalu sampai Jumat, 10 Agustus 2018, KPU akan menerima pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Mari menjadi penonton yang “sopan” dan memiliki mimpi. Semoga siapa pun yang terpilih “ingat” tugas penting dan di depan mata adalah perangi korupsi. [b]