
Ni Wayan Walastri, warga Dusun Pekarangan, tampak gesit menganyam tikar sembari menceritakan kesehariannya. Tikar yang dianyam adalah tikar pandan. Bukan dari daun pandan biasa, tetapi daun pandan yang durinya kokoh. Meski begitu, Walastri tampak santai menganyam karena telah menggeluti kerajinan tikar pandan selama puluhan tahun.
Sebagian besar masyarakat Dusun Pekarangan, Desa Ngis, Kabupaten Karangasem bekerja sebagai penganyam tikar pandan. Masyarakat asli di sana telah bertahun-tahun memanen pandan dan menyulapnya menjadi tikar pandan. Tikar ini biasanya laris manis ketika musim upacara keagamaan di Bali, terutama ketika musim ngaben.
Di tengah makin maraknya tikar-tikar plastik impor, dusun ini masih melestarikan anyaman tikar dari daun pandan. Menariknya, tikar pandan juga bisa menjadi barang barter untuk ditukar sembako, sehingga sangat berdampak bagi kehidupan sehari-hari.
“Tikar yang diutamakan karena itu yang lebih cepat dijadikan uang,” ungkap Wawan dari Desa Ngis. Beragam potensi alam dimiliki oleh Desa Ngis, seperti kelapa dan pohon aren. Namun, tikar pandan menjadi sumber penghasilan yang utama karena perputaran uangnya lebih cepat dibandingkan hasil bumi.
Penganyam tikar pandan sempat mengalami penurunan penjualan ketika virus Covid-19 melanda. Penjualan sempat menurun hingga Rp10.000 pada saat itu. “Biar turun, biar naik harganya, saya tidak pernah mengeluh karena ini pekerjaan saya sehari-harinya, nggak ada pekerjaan lain,” ujar Walastri.
Tidak hanya harga jual, harga bahan baku malah melambung tinggi saat Covid-19. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan oleh penganyam tikar pandan karena itu merupakan sumber penghasilan utama mereka.
“Bahan baku selalu kurang karena tiang (saya) lihat banyak yang sampai beli bahan baku ke luar desa. Memang kekurangan bahan baku ketika musim rame,” ujar Wawan. Meski memiliki perkebunan untuk bahan baku pandan, ternyata ada beberapa penganyam di Desa Ngis yang membeli bahan baku pandan dari luar desa.
Bukan hanya faktor musim ramai konsumen, tetapi juga karena beberapa pohon gagal panen. Wawan mengungkapkan bahwa sampah adalah penyebab utama gagalnya panen pohon pandan. “Terkait dengan sampah juga di sini nggak ada TPS, sehingga masyarakat buang sampah ke sungai,” imbuhnya.
Pohon pandan biasanya ditanam di pinggir sungai. Ketika sungai tersebut dipenuhi sampah, bukan hanya airnya yang tercemar, tetapi juga lingkungan di sekitar sungai. Hal tersebut menyebabkan banyak pohon pandan yang mati, sehingga mau tidak mau masyarakat membeli bahan baku di luar desa.
Selain masalah bahan baku, variasi produk juga menjadi tantangan penganyam tikar pandan di Desa Ngis. Selama ini, masyarakat hanya berkutat dengan produk tikar pandan, belum ada variasi lain yang dicoba. “Selama ini yang banyak diminta kan kerajinan selain tikar,” ungkap Wawan.
Wawan bersama pihak desa sebenarnya telah mendorong penganyam untuk berinovasi mengembangkan kerajinan lain. Namun, ada kekhawatiran terkait pemasaran produk. Tikar pandan sudah jelas akan dipasarkan ke mana. Namun ketika produk baru dihasilkan, mereka tidak tahu akan dipasarkan di mana. Padahal, banyak masyarakat, bahkan anak muda yang menjadi penganyam tikar pandan.
“Tikar kan udah pasti bawa ke warung, tapi kalau buat yang lain itu waktu mereka buat akan ke mana nih. Ada nggak yang membeli?” pungkas Wawan.