Tak ada limbah yang tersisa. Semua harus dikembalikan pada alam.
Tak hanya memegang, petani dua subak Desa Balhabtuh, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar juga menerapkan prinsip tersebut. Petani Subak Tegal dan Subak Lawan mengolah semua limbah pertanian dan mengembalikannya lagi untuk memperpanjang alur kehidupan.
Prinsip dan praktik itu terjadi di Simantri 31, berjarak sekitar 500 meter di utara pura desa ini. Simantri singkatan dari Sistem Pertanian Terintegrasi, upaya membangun pertanian yang terintegrasi sekaligus zero waste alias tanpa limbah sama sekali.
I Wayan Kerta salah satu petani tersebut. Akhir September lalu, dia membersihkan kotoran sapi di kandang Simantri 31. Kerta menyalurkan kotoran itu ke tempat pengolahan limbah sapi di samping kandang. Limbah kemudian diolah menjadi dua produk pupuk, biourine dan biokurine.
Model terintegrasi yang dimaksud dalam sistem ini adalah karena terbentuknya kesatuan satu bagian dengan bagian lain. Saling melengkapi.
Misalnya, kotoran sapi. Dari kandang sapi, kotoran ini disalurkan ke mesin pengolah untuk menjadi gas (digester). Gas lalu menjadi sumber energi, seperti memasak di dapur di samping kandang. Adapun limbah diubah jadi pupuk dan biopestisida.
Dengan 28 ekor sapi yang dimiliki saat ini, petani bisa memperoleh sekitar 150 liter limbah cair tersebut per hari. Sapi-sapi ini merupakan bantuan dari pemerintah. Semula 20 ekor tapi kini sudah jadi 28 ekor.
Kandang sapi (balai dauh) hanya satu dari beberapa bangunan di Simantri ini. Ada tempat pengolahan kompos (balai dangin), pengolahan biourine (balai delod), dan pengolahan pakan (balai daja). Penamaan semua bangunan di sini memang menggunakan istilah seperti dalam arsitektur Bali.
Bangunan itu saling melengkapi untuk membangun siklus pertanian berkelanjutan. Tak cuma untuk sumber gas, kotoran sapi juga diolah jadi pupuk organik bagi anggotanya.
Sehat
Salah satunya adalah Wayan Sadia, Ketua Simantri 31, yang saat ini memiliki lahan seluas 30 are. Tanamannya padi dan palawija, seperti kacang dan kedelai. Dia menggunakan pupuk organik di sawahnya. Dari 30 are itu dia mendapatkan 2,4 ton padi untuk keperluan sendiri, subsisten.
Meski belum semuanya, sekitar 120 anggota dua subak tersebut juga sedang berusaha beralih ke pertanian organik dari yang semula amat tergantung pada asupan bahan kimia. Tak hanya pupuk tapi juga pembasmi hama seperti tikus dan tungro pun menggunakan bahan organik.
Simantri sendiri menjadi semacam laboratorium hidup bagi petani anggota dua subak itu. Di sini mereka membangun sistem pertanian terpadu dan saling melengkapi. Ini tentu tak lepas dari upaya pemerintah memandirikan petani.
Menurut Sadia, modal awal kelompok dari bantuan pemerintah sebesar Rp 192 juta. Dana itu dipakai untuk mendirikan bangunan dan membeli sapi, tanaman, serta bibit.
Meski belum semua anggota subak menerapkan prinsip terintegrasi seperti Simantri, namun petani kini tahu tentang sistem pertanian berbeda dibanding yang selama ini biasa mereka terapkan.
Kerta mengaku kini dia mengerti bagaimana sistem pertanian organik dari semula tidak tahu sama sekali. Dia juga pelan-pelan mulai mandiri setelah tak lagi harus bergantung pada bahan kimia. Dulunya, dia bisa membeli asupan kimia hingga Rp 350.000 per musim tanam. Sekarang tidak sama sekali.
“Saya juga merasa hidup lebih sehat karena makan produk organik,” katanya.
Gerilya
Saat ini, Simantri mungkin masih dalam skala amat kecil, hanya untuk 120 petani dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,2 hektar. Namun, tak ada yang besar dengan tiba-tiba. Begitu pula dengan harapan kemandirian petani.
Nyoman Baskara, pengurus Yayasan Tamiang Bali, lembaga pendamping petani di desa ini, menyatakan Simantri merupakan upaya mewujudkan kemandirian petani.
Menurut Baskara, selama ini Revolusi Hijau telah menyingkirkan petani. Petani kehilangan sarana produksi karena tergantung pada perusahaan pertanian. Di sisi lain, cuaca juga tidak menentu sehingga merugikan petani. “Petani juga terjerat pemasaran dengan sistem ijon yang diterapkan tengkulak,” katanya.
Kenyataan pahit ini, bagi Baskara, merupakan ironi di Bali. Petani Bali tak bisa menikmati kemajuan pariwisata di tanahnya sendiri. Bahkan, sebaliknya, pariwisata justru mengancam sawah. Pelaku wisata bergerilya untuk membeli sawah. Padahal petani memberi modal pada pariwisata saat ini.
Pelaku dan penikmat pariwisata di Bali seharusnya mendukung petani dengan membeli hasil keringan petani. Perlu kerja sama antara petani dengan pelaku pariwisata. “Jangan jadikan petani hanya sebagai penonton,” ujarnya. [b]
ayo kembangkan pertanian organik, agar kita semua tak lagi bergantung pada zat-zat kimia.