Oleh Gusti Ngurah Mahardika*
Sebelum terlampat, Bali seharusnya segera melakukan PSBB.
Pemahaman virus yang baik diperlukan untuk keluar dari cekaman pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Jika obat dan fasilitas rumah sakit untuk kasus infeksi yang berat dapat diadakan, kita bisa keluar dari cekaman pandemi ini. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebaiknya disiagakan untuk Jawa dan Bali serta kota-kota besar yang padat penduduk.
Pandemi Covid-19 masih dalam fase logaritmik. Namun, guncangannya sudah terasa luar biasa. Tingkat kematian (fatalitas) kasus sebenarnya tidak tinggi sekali. Hingga 11 April 2020 lalu, porsi fatalitas di seluruh dunia adalah 6 persen.
Akan tetapi, pandemi lebih mematikan sosial-ekonomi negara dan masyarakat. Pekerja dirumahkan. Banyak pabrik tutup karena ketiadaan bahan baku atau pasar. Bursa saham anjlok. Ekspor-impor berhenti. Pariwisata menyepi.
Pandemi Covid-19 kini memasuki gelombang kedua di seluruh dunia, apabila kasus awal di Tiongkok dianggap sebagai gelombang pertama. Episentrum sekarang ada di Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia terdampak saat gelombang kedua ini.
Pandemi ini menunjukkan satu hal bahwa tidak ada negara yang siap menghadapi Covid-19. Pola wabah dalam tiga gelombang sudah terjadi saat pandemi Flu Spanyol 1918. Gelombang kedua saat itu tercatat lebih dahsyat. Itulah yang terjadi sekarang di seluruh dunia.
Wabah Ketiga
Wabah oleh Covid-19 adalah wabah ketiga oleh virus dari keluarga Coronaviridae. Wabah pertama adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2003. Yang kedua adalah Middle East Respiratory Syndrome (MERS) tahun 2012. Gejala yang ditimbulkan oleh ketiga virus ini mirip, yaitu gangguan pernafasan akut dan berat.
Yang membedakan ketiganya adalah daya sebar, lingkungan penularan, dan fatalitas kasus. Daya sebar Covid-19 luar biasa cepat dibandingkan dua pendahulunya. Diketahui sejak akhir 2019, virus ini sudah dikonfirmasi pada 750.890 orang di berbagai penjuru dunia sampai 31 Maret 2020. SARS dalam waktu 8 bulan hanya terkonfirmasi pada 8.000 orang. MERS lebih lambat. Dalam kurun waktu 2012-2017, jumlah kasus hanya sekitar 2.000.
Lingkungan penularan tiga serangkai korona virus itu juga berbeda. Covid-19 membentuk pola transmisi antar-orang lebih banyak di komunitas (community transmission), sementara SARS dan MERS lebih dominan penularan antar orang di rumah sakit (hospital setting).
Kefatalan kasus Covid-19 masih harus ditunggu. Wu, Z. and J. M. McGoogan (2020) di Journal of American Medical Association menyebut SARS dan MERS mempunyai tingkat kefatalan sekitar 9 persen dan 35 persen.
Kenapa virus Covid-19 ini menyebar demikian cepat dan bagaimana kemungkinan keganasannya? Dari pengamatan saya dalam makalah yang sedang direview di jurnal internasional, Covid-19 mempunyai ciri molekuler unik. Sebagian ciri molekuler mirip SARS, sebagian mirip MERS. Dalam keganasan, saya memprediksikan Covid-19 bisa mendekati keganasan SARS atau MERS. Namun, angka itu baru kita akan tahu setelah pandemi berakhir.
Kecepatan penyebaran yang luar biasa dari Covid-19 pasti dipengaruhi oleh sifat genetik virusnya. Transportasi udara, yang meningkat 130% tahun 2019 dibandingkan 2003-2004 (www.statista.com), seharusnya tidak menyebabkan peningkatan yang meroket dari penyebaran Covid-19 dibandingkan SARS. Jumlah penduduk kemungkinan mempunyai peran yang kecil juga. Data Bank Dunia 2018 menunjukkan penduduk dunia meningkat antara 2003-2018 sebesar 37 persen.
Sabuk Covid-19
Artinya kita menghadapi virus yang punya daya penularan antar manusia yang demikian efisien. Walau demikian, Covid-19 tampaknya ringkih suhu dan kelembaban yang tinggi. Jika dilihat peta pusat-pusat kasus terkonfirmasi dari Johns Hopkins University, virus Covid-19 ini terutama terjadi di daerah suhu sedang sampai dingin. Pusat wabah seperti membentuk “Sabuk Covid-19” sebagaimana terlihat di ilustrasi.
Sabuk itu dimulai dari Tiongkok ke barat melintasi Iran, Turki, sedikit bergeser ke utara di Eropa, dan kemudian menyeberangi Atlantik sampai Amerika Serikat. Daya tahan yang rendah pada suhu panas dan kelembaban tinggi sudah diungkap pada SARS dan MERS.
Kasus di selatan sabuk seperti limpahan (spill-over). Di wilayah yang selalu panas dan lembab itu, atau sedang musim panas, virus tidak tahan lama. Di utara sabuk, kasus masih relatif sedikit, karena suhu yang amat dingin yang memaksa penduduk tinggal di rumah. Kasus di sana dapat meningkat sejalan dengan peningkatan suhu jika apabila tidak ada intervensi yang memadai.
Walau limpahan, risiko negara-negara di sebelah selatan sabuk Covid-19 imajiner itu juga tak rendah. Beberapa negara, seperti Indonesia, Filipina, dan India mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi sehingga virus dapat mempunyai peluang besar untuk menyebar. Pembatasan sosial yang diberlakukan di negara-negara tropis, termasuk Indonesia, akan sangat efektif asalkan penduduknya disiplin mematuhi.
Untuk mendesain rencana jangka panjang keluar dari cekaman pandemi, kita mesti memahami bagaimana virus ini membuat sakit dan bahkan fatal. Para ahli membagi fase infeksi Covid-19 dalam tiga stadium. Stadium I adalah masa inkubasi asimtomatik. Stadium II adalah periode simtomatik ringan. Stadium III adalah fase gejala pernapasan berat.
Strategi untuk memicu respon imun pada Stadium I dan Stadium II akan sangat membantu. Termasuk di dalamnya pemberian serum hiperimun. Virus Covid-19 juga mengandalkan protease pasien untuk memperbanyak diri. Karena itu, obat antiprotease bisa membantu kesembuhan penderita.
Akan tetapi, beberapa bagian dari pasien dapat mengalami gangguan respon imun. Ini pemicu Stadium III. Saya memperkirakan itu terjadi akibat gabungan antara faktor genetik dan patogenesis Covid-19. Pada kelompok pasien ini, gangguan kekebalan memicu badai sitokin sebagai awal mula sindroma penekanan pernafasan akut.
Kondisi kesehatan prima dapat tidak menguntungkan pada pasien itu. Obat penekan radang dan obat simtomatik lain dapat dipertimbangkan. Dalam beberapa kasus, pasien perlu dirawat di intensive care units (ICU) dengan ventilator mekanik. Alat paru-paru buatan dapat menyelamatkan nyawa mereka.
Paru-paru pasien Stadium III akibat Covid-19 dilaporkan penuh cairan seperti jeli atau fibrin seperti orang meninggal karena tenggelam. Beberapa peneliti menyebut komponen utama adalah hyaluron. Bahan ini konon mempunyai daya serap air yang luar biasa tinggi. Obat-obat yang menekan hyaluron dan produksinya dapat menyelamatkan, termasuk obat-obatan herbal dan vitamin tertentu.
Data respon imunitas pasien Covid-19 sampai sekarang belum dipublikasi. Apakah antibodi berperan dalam kesembuhan belum kita ketahui. Pengalaman pada SARS telah dipublikasi bahwa hanya sekitar 10 persen pasien yang sembuh mempunyai antibodi. Pengembangan vaksin akan menemui rintangan di sini. Vaksin yang memicu antibodi justru bisa menjadi penginduksi badai sitokin jikalau terinfeksi virus, seperti diungkapkan sebelumnya.
Prioritas
Bagaimana mematikan pandemi Covid-19 dengan latar belakang yang kompleks itu?
Pada hemat saya, obat dan fasilitas kesehatan yang mengancam kehidupan pasien Stadium III mesti diprioritaskan terlebih dahulu. Data menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang terpapar tidak menjadi sakit. Yang mengembangkan gejala klinis pun lebih banyak klinis ringan.
Informasi dari WHO, 80 persen pasien yang sakit dapat sembuh tanpa pengobatan khusus. Data dari karantina kapal pesiar Diamond Princess di Jepang yang dimuat pada Journal Eurosurveillance bisa kita jadikan patokan. Persentase orang terpapar tapi tak terinfeksi sekitar 75 persen. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8 persen dan yang simptomatik adalah 17 persen.
Karena itu, porsi pasien yang memerlukan perawatan rumah sakit juga tidak besar. Pasien dengan katagori Stadium II kemungkinan dapat sembuh dengan intervensi serum hiperimun dan obat-obatan simtomatik. Pasien yang memerlukan perawatan ICU dengan ventilator lebih kecil lagi.
Apabila informasi dari WHO pengalaman kapal pesiar itu kita pakai, pasien yang perlu pengobatan khusus hanya 3,4 persen dari populasi. Pasien yang memerlukan ventilator sekitar 10 persen dari pasien dengan penanganan khusus, atau 0,34 persen dari populasi.
Dalam kondisi riil, angka itu dapat menjadi jauh lebih kecil. Keperluannya dapat sekitar 25 persen lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ekstrim kapal pesiar. Angkanya menjadi 0,1 persen dari populasi.
Jikalau digunakan rata-rata per pasien 15 hari, satu ventilator dapat digunakan untuk 24 orang dalam setahun. Artinya, keperluan ICU dengan ventilator 0,004 persen dari populasi. Untuk Indonesia dengan 280 juta penduduk, itu jumlahnya 11.200 unit. Bali dengan 4 juta penduduk, misalnya, memerlukan 160 unit. Jika negara atau daerah mampu 50 persen saja, itu sudah memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Stretegi non-farmasetik berupa PSBB disiagakan di seluruh Jawa dan Bali. Dua pulau ini mempunyai kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Ini menyediakan peluang penularan antar orang yang tinggi. Di luar pulau itu, PSBB dapat disiagakan di kota-kota yang padat penduduk saja.
Jika obat dan sistem rumah sakit sudah siap, kita bisa keluar dari cekaman pandemi COVID-19. [b]
*Gusti Ngurah Mahardika, Profesor virologi di Universitas Udayana, Bali.
Keterangan: tulisan ini pertama kali terbit di Kompas cetak edisi Sabtu, 18 April 2020. Dimuat di sini, dengan edit seperlunya, seizin penulis untuk menyebarluaskan pengetahuan.