Wacana pariwisata medis di Bali mengemuka sepuluh tahun belakangan.
Genre baru pariwisata ini berkembang semenjak 2002 saat terjadi peristiwa Bom Bali. Ketika itu banyak negara membantu pembangunan fasilitas kesehatan medis di Bali. Kini, setelah 18 tahun berjalan secara alamiah, pariwisata medis tampaknya perlu lebih diperhatikan.
Hal ini karena potensi budaya yang dimiliki Bali memberi dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan pariwisata medis. Hospitality atau keramah-tamahan yang tulus menjadi ciri khas Bali adalah berkah dan nilai tambah yang tak ditemukan di negara tetangga yang lebih dahulu menjadi kiblat pariwisata medis, sebut saja Malaysia, Singapura dan Thailand.
Untuk memahami lebih jauh tentang pariwisata medis, saya berbincang dengan Gilda Sagrado, perwakilan sekretariat Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali atau lebih dikenal dengan nama Bali Tourism Board (BTB). Ia dengan fasih menjelaskan sejarah pariwisata medis di Bali, kaitannya dengan pariwisata budaya, dan taksu yang dimiliki Bali dalam kaitannya dengan kesembuhan yang didapat para wisatawan medis saat berobat di Bali.
Berikut wawancara lengkapnya:
Apa pandangan Bali Tourism Board terhadap wacana pariwisata medis di Bali?
Kalau kita perhatikan, wacana pariwisata medis di Bali bergulir sejak sepuluh tahun lalu. Kami di BTB mempunyai lima program segmentasi strategis. Salah satunya sudah kami kerjakan sejak terbentuknya badan ini adalah untuk memfokuskan diversifikasi pariwisata Bali dari segmentasi yang telah ada. Fokusnya adalah Silver Market Tourism yang menyasar para pensiunan-pensiunan luar negeri untuk kemudian bisa datang berwisata ke Bali.
Untuk bisa menggapai pasar ini kita membutuhkan fasilitas kesehatan kokoh atau kuat untuk dapat melayani mereka. Karena kebutuhan atau fasilitas kesehatan memang menjadi penunjang paling utama bagi segmentasi orang-orang berumur ini. Untuk bisa masuk ke pasar pensiunan ini kami berfokus pada mengembangkan fasilitas-fasilitas seperti yang saya singgung di atas.
Artinya, Bali Tourism Board sudah membuat dan melaksanakan langkah-langkah strategis guna mengembangkan pariwisata medis di Bali?
Betul. Seperti yang saya katakan tadi, diversifikasi pangsa pasar itu sangat penting karena kita punya landasan yang sangat kuat yaitu budaya Bali. Jadi dengan satu landasan kokoh itu kita harus mampu mendiversifikasi.
Contohnya diversifikasi dalam konteks umur. Misalnya anak-anak kecil termasuk segmentasi family. Lalu orang-orang dengan usia menengah seperti remaja dalam konteks liburan sekolah atau liburan edukasi.
Segmen lain adalah para pekerja dan pelaku bisnis yang akan melakukan corporate meeting atau pertemuan bisnis di Bali. Untuk para pensiunan, yakni orang yang berusia di atas 60 atau 65 itu menjadi salah satu target market kita. Dengan menargetkan itu, kita harus mengembangkan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada di Bali.
Yang sudah berjalan bagaimana, apakah fasilitas kesehatan di Bali sudah siap untuk pariwisata medis?
Sebenarnya kalau kita tarik ke belakang, pariwisata medis di Bali mulai berkembang semenjak terjadinya peristiwa Bom Bali pada 2002 silam. Kejadian itu memberikan hikmah luar biasa kepada industri atau fasilitator kesehatan. Waktu itu, Bali mendapat dukungan luar biasa dalam hal pembangunan dan pengembangan fasilitas-fasilitas kesehatan, seperti misalnya pada RSUP Sanglah, dibukanya RS Mata Bali Mandara, atau pengembangan RS BIMC yang kini menjadi rumah sakit yang megah.
Itu semua bergulir dan kian mapan pijakannya di dalam kepariwisataan Bali. Bisa saya garis bawahi itu terwujud sejak 2002. Jadi, sudah berjalan selama 18 tahun kita bisa lihat terus perkembangannya meroket sedemikian rupa.
Bahkan, seperti yang pernah kami diskusikan dengan para pelaku pariwisata medis, fasilitas yang mereka miliki kini semakin beragam. Tidak hanya perawatan gigi tapi juga mulai masuk ranah estetika dan kecantikan. Jadi cukup menarik perkembangannya dan semakin mapan kalau saya lihat.
Apa keuntungan yang didapat Bali dengan adanya pariwisata medis?
Tentunya dengan adanya potensi laten yang ada di masyarakat Indonesia untuk fokus kepada kesehatan, hal ini bisa menjadi berkah yang sangat bisa kita nikmati bagi kepariwisataan Bali secara menyeluruh. Jadi, pariwisata medis ini bisa jemput bola ke kantong-kantong wisatawan medis di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau juga sekarang mulai banyak dari secondary city seperti Makassar dan Palembang. Ini menurut saya sudah akan bisa menjadi sangat bermanfaat bagi pemulihan kepariwisataan Bali di masa pandemi yang oleh pemerintah daerah sudah mulai dibuka sejak 31 Juli 2020 lalu.
Bagaimana dukungan pemerintah provinsi Bali terhadap pariwisata medis?
Sangat bagus, terbukti dengan dibuatnya berbagai kebijakan strategis lintas-sektoral yang tak hanya melibatkan Dinas Pariwisata namun juga Dinas Kesehatan dan stake holders pariwisata lainnya. Tak hanya soal anggaran tapi juga dukungan moral dari pemerintah daerah yang membuat saya makin yakin bahwa kita dapat mengembangkan pariwisata medis secara bergotong royong guna mendukung keberlangsungan pariwisata medis di Bali.
Bisa Anda jelaskan dengan sederhana apa definisinya?
Kalau dari kacamata pariwisata, semua orang yang traveling atau berwisata itu memiliki motivasi tertentu. Namun, bisa dikategorikan menjadi dua yakni motivasi utama dan motivasi sekunder.
Motivasi utama medis atau berobat inilah yang menjadi definisi pariwisata medis. Jadi berwisata untuk tujuan kesehatan. Sama seperti misalnya seorang ibu yang memiliki kakek dan hendak berobat ke luar negeri. Ia mesti ikut menemani kakeknya berobat.
Itu adalah motivasi utama meskipun terdapat motivasi sekunder yaitu traveling atau berwisata, akan jalan-jalan selama berada di luar negeri atau melakukan kegiatan lain. Namun, tujuan utamanya adalah untuk kesehatan dalam hal ini mendampingi sang kakek berobat. Itu definisi pariwisata medis.
Apakah BTB yakin Bali bisa menjadi destinasi pariwisata medis?
Sejak 2002 dengan begitu berkembangnya fasilitas kesehatan di Bali, hal ini sudah menjadi sesuatu yang alamiah terjadi. Karena begitu bidang kesehatan mendukung kepariwisataan, tiba-tiba dia tidak menjadi lagi sekunder, dia bisa atau mampu memberikan fasilitas-fasiltas sehingga dia menjadi tujuan utama dari kegiatan tujuan traveling atau berwisata dari orang-orang yang akan datang ke Bali.
Jadi kalau orang datang ke Bali dan ingin melakukan perawatan kecantikan misalnya suntik botoks dan itu merupakan kebutuhan sekunder, kini seiring berjalannya waktu hal itu bergeser menjadi kebutuhan utama. Ketika dia tahu di Bali bisa melakukan perawatan kecantikan dengan fasilitas internasional dan biaya yang lebih murah bila dibandingkan dengan di negara lain.
Pada kesempatan berikutnya ketika dia kembali ke Bali misalnya untuk upgrade atau maintain botoksnya. Dia juga bisa traveling yang merupakan kebutuhan sekunder.
Bisa dibilang Bali sudah mulai dikenal sebagai daerah tujuan pariwisata medis?
Ya, apalagi untuk misalnya perawatan gigi. Wisatawan asal Australia biasanya untuk perawatan kesehatan mereka mempunyai asuransi yang ditanggung negaranya, kecuali perawatan gigi. Jenis layanan ini dibutuhkan hampir semua orang. Ketika harus melakukan perawatan gigi mereka memilih Bali sebagai tujuan melakukan perawatan itu.
Alasannya, karena lebih murah dan fasilitasnya first class sama seperti yang ada di negara asalnya. Apalagi jika soal biaya, biaya satu gigi di Australia sama dengan satu mulut penuh di Bali. Dengan biaya seperti itu tentunya mereka akan memilih pergi ke Bali.
Selain untuk tujuan kesehatan mereka juga bisa berwisata atau liburan selain untuk bertemu teman atau kenalannya di Bali, misalnya. Itu menjadi tujuan utama, motivation to travel, tujuan utama datang ke Bali untuk traveling dan kemudian sekundernya baru yang lain. Jadi menarik sekali, 18 tahun kita melihat pergeseran ini dan itu berlangsung sangat alamiah.
Hal menggembirakan pada pemerintahan saat ini masyarakat Bali punya wakil gubernur yang merupakan sosok yang sangat mengerti pariwisata. Ini sinergi yang demikian apik dan menurut kami memberi dampak yang amat positif bagi kepariwisataan Bali. Dan menurut saya penting bagi Bali untuk mampu mengalokasikan dan mewujudkan diversifikasi pariwisata.
Jadi tidak hanya pariwisata alam dan budaya yang dimiliki Bali?
Bukan begitu, ya. Saya harus perjelas sedikit. Pariwisata budaya adalah napasnya Bali. Dan itu akan dan terus selalu ada, terlebih setelah dibuat Peraturan Daerah mengenai pariwisata budaya. Itu akan menjadi landasan pariwisata Bali yang bernapaskan budaya.
Budaya dalam pariwisata budaya merupakan segmentasi, seperti akar dalam sebuah pohon yang ada cabang-cabangnya. Nah, cabang ini bisa mewujud menjadi pariwisata medis, pariwisata alam seperti arung jeram, atau juga pariwisata meeting atau MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition)
Meeting misalnya. Melakukan meeting di Bali tapi bernapaskan budaya, itu hasil yang didapat berbeda. Saya katakan berbeda karena Bali memiliki taksu. Kita bisa lihat setiap pertemuan yang dilakukan di Bali selalu berujung pada agreement atau kesepakatan. Coba kita lihat rapat-rapat tingkat dunia yang dilangsungkan di Bali. Dengan nuansa hospitality yang menjadi ciri khas dan kelebihan Bali, pertemuan-pertemuan itu berlangsung lancar dan sukses.
Pertemuan IMF tahun 2018 yang dihadiri 189 Gubernur Bank Sentral seluruh dunia misalnya, itu langsung agreement. Juga, pertemuan yang membahas perubahan iklim (climate change) tahun 2007 yang juga diadakan di Bali, itu belum pernah terjadi sebelumnya pertemuan itu berlangsung sukses.
Apa sebab semua itu? Bagi saya penyebab di balik itu adalah budaya Bali. Itu napas dan akar pariwisata Bali. Jika ada cabang-cabang lain silakan.
Jadi hal tersebut bukan sebuah dikotomi?
Bukan. Perda yang mengatur tentang pariwisata budaya sangat kuat. Budaya adalah akar semua itu. Coba kita lihat pariwisata medis di Bali, yang mereka tawarkan apa? Senyum dan keramah-tamahan, itu yang menjadi roh dan napas pariwisata kita. Kalau kita lihat video-video tentang Bali selalu terlihat orang mebanten atau bersembahyang. Kaitannya dengan pariwisata medis, seorang perawat yang benar-benar khusyuk sembahyang juga dengan khusyuk melayani para pasien dengan tulus.
Dengan senyum dan rasa ketuhanan yang demikian kokoh dia mampu melayani orang dengan cara berbeda dengan layanan di tempat atau negara lain. Itu perawat, belum lagi para dokter. Seorang Ida Ayu misalnya yang rutin membuat canang atau upakara di Griya tapi juga hadir sebagai seorang dokter, cara melayaninya berbeda. Ada napas dan roh budaya di sana. Itu kuncinya.
Ada yang bertanya kepada saya mengapa lebih banyak orang sembuh jika berobat di Bali? Bisa jadi karena tenaga medis atau perawat yang melayani dengan sentuhan berbeda, dengan senyum dan ketulusan. Saya tak berani bilang secara pasti karena hal itu, tapi lihat saja buktinya.
Saya melihat, pekerjaan apapun yang jika dilakukan dengan hati hasilnya berbeda. Boleh saja misalnya dokter di luar negeri katanya lebih ahli dan bagus, tapi berdasarkan pengalaman saya sewaktu mengantar salah satu keluarga berobat di negara tetangga, memang ada perbedaan ketika hanya melihat pasien semata-mata dari kacamata bisnis dibandingkan dengan niat tulus untuk membantu kesembuhannya. Itu bisa terlihat karena sejatinya manusia mendeteksinya dan itu hal yang alamiah karena menyangkut subconscious atau alam bawah sadar.
Di masa pandemi saat ini, negara kita memang mengalami penurunan ekononomi tapi tak seperti negara-negara lain yang minus sekian persen, lebih di atas kita. Itu saya lihat karena adanya budaya kebersamaan di negara kita. Jadi, berkah adalah sesuatu yang dihormati masyarakat Indonesia.
Itulah bekal yang bisa kita bagi pada para wisatawan asing, apapun tujuan mereka datang ke sini. Apalagi di bidang kesehatan, passion sangat diperlukan. Kualitas tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang kita miliki tak kalah dengan negara lain.
Di Bali sejak beberapa tahun belakangan bermunculan rumah sakit-rumah sakit swasta berkelas internasional. Itu sesuatu yang menggembirakan. Jika sentuhan pelayanan yang diberikan bagus dan memuaskan, tentu wisatawan medis akan datang berulang kali ke Bali, ditambah hospitality atau keramah-tamahan yang kita miliki tak ditemukan di negara asal mereka. Kembali lagi ke hal tadi yakni pariwisata budaya, itu akar semuanya.
Bagaimana pendapat Anda tentang Indonesia Medical Tourism Board (IMTB) yang kini hadir mewadahi berbagai kalangan dalam mengembangkan pariwisata medis di Indonesia khususnya Bali?
Dengan industri pariwsata yang kemudian berkembang demikian pesatnya dimana kini banyak terdapat pelaku pariwisata medis, memang sudah saatnya Indonesia Medical Tourims Board (IMTB) mengambil peran di dalamnya. IMTB sudah kita nantikan sejak tiga tahun lalu, dengan berbagai diksusi dan pertemuan yang kami dan stake holders lain lakukan, membahas wacana-wacana yang ada akhirnya lahir IMTB.
Dengan adanya payung atau wadah ini saya yakin pariwisata dan medis akan semakin mapan dan sejalan. Pergerakannya tidak lagi bersifat sprodis dan parsial misalnya dalam promosi fasilitas kesehatan ke luar negeri. Setelah ini tentu akan muncul kebijakan-kebijakan strategis yang membuat pariwisata medis semakin terarah. Ketika “cabang-cabang” itu bersatu tentu akan semakin baik dan bagus.
Saat disatukan dalam satu wadah, frekuensi branding-nya bisa makin terlihat, karena dibawa oleh berbagai macam lini dan berbagai industri di bawahnya. Jadi bisa lebih fokus mempercepat pertumbuhan pariwisata medis di Indonesia dan Bali khususnya. [b]