
Di tengah hiruk-pikuk pariwisata Bali, ada satu tempat yang sering luput dari perhatian: toilet umum. Tempat yang seharusnya menjadi ruang paling privat, justru bisa memberi gambaran paling jujur tentang wajah masyarakat kita, termasuk soal bagaimana kita memperlakukan hukum.
Malam itu, saya mampir ke sebuah toilet umum karena tidak tahan dengan “panggilan alam.” Apa yang saya temui di dalam cubicle toilet itu adalah kekacauan yang menjijikkan: bau pesing menusuk, bercampur dengan sisa muntahan, dan tisu yang meluber ke lantai dari tempat sampah yang penuh. Padahal, tepat di dinding tertempel imbauan sederhana,“Tinggalkan toilet dalam keadaan bersih dan kering seperti semula.”
Ironisnya, imbauan itu seolah jadi dekorasi belaka. Tidak ada yang benar-benar memperhatikannya. Mungkin dianggap terlalu sepele untuk ditaati. Tapi bagi saya, justru di sanalah masalahnya. Jika kita tidak bisa patuh pada hal kecil yang menyangkut kenyamanan bersama, bagaimana kita bisa diharapkan patuh pada hukum yang lebih besar dan kompleks?
Toilet Sebagai Cermin Peradaban
Bill Gates pernah mengatakan bahwa toilet adalah indikator peradaban. Cara kita memperlakukan toilet bisa mencerminkan kesejahteraan, kedisiplinan, bahkan kepedulian kita terhadap sesama. Dan saya percaya, toilet juga bisa menjadi indikator kesadaran hukum masyarakat.
Ambil contoh Jepang. Di sana, toilet umum dijaga bukan oleh petugas, melainkan oleh budaya malu dan kesadaran kolektif. Tak ada yang mencoret dinding, membuang tisu sembarangan, atau membiarkan air menggenang. Teknologi memperkuat budaya ini: tombol-tombol air hangat, dudukan otomatis, hingga pembersih khusus. Meski tidak ada aturan keagamaan seketat kita dalam hal najis, toilet mereka tetap bersih dan manusiawi.
Bandingkan dengan Indonesia. Negara yang punya perangkat aturan agama dan sosial yang sangat rinci tentang kebersihan. Namun, realitas di toilet umum sering kali menunjukkan hal yang berlawanan: lantai becek, aroma menyengat, tisu berserakan, dan tulisan di dinding yang menyandingkan nomor HP dengan ajakan “call me, baby.”
Antara Aturan dan Kesadaran
Persoalan kebersihan toilet bukan semata-mata soal kebersihan fisik, melainkan tentang bagaimana relasi kita yang rumit dan rapuh dengan hukum. Cara kita memperlaukan toilet umum mencerminkan bahwa kepatuhan kita terhadap aturan bukan lahir dari kesadaran, melainkan dari rasa takut – takut ditegur, takut dipermalukan, atau takut dikenai sanksi.
Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di toilet umum. Kita bisa melihat pola yang sama dalam hal-hal lain, misalnya penggunaan helm. Banyak orang memakai helm bukan karena menyadari pentingnya keselamatan, melainkan karena takut ditilang polisi. Begitu pengawasan menghilang, begitu pula kepatuhan.
Konteks tersebut menunjukan bahwa hukum lebih sering dipandang sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai kesepakatan etis bersama yang dihasilkan dari proses menjadi manusia yang beradab. Banyak orang yang mematuhi aturan hanya demi kepentingan pribadi atau karena takut dihukum, bukan karena kesadaran bahwa norma tersebut benar dan layak dipatuhi. Alhasil, kita lebih sering pura-pura tertib daripada benar-benar tertib.
Refleksi Dari Lubang Toilet
Toilet adalah ruang sosial yang paling sunyi, namun juga paling jujur. Tak ada kamera pengawas, tak ada polisi, tak ada saksi. Hanya kita dan pilihan: apakah kita akan meninggalkan tempat itu lebih baik atau lebih buruk dari saat kita menemukannya?
Pengalaman mengunjungi toilet umum itu setidaknya membuat saya mawas bahwa di Indonesia, aturan-aturan tertulis atau tak tertulis tak mempan membuat orang menjadi disiplin untuk dirinya sendiri.
Agaknya kita menjaga kebersihan kalau dijaga saja, sama seperti kita tak akan melawan arus jalan searah karena ada polisi berjaga di sana. Kita tak pernah turut pada hukum, kita hanya pura-pura patuh saja, seperti aturan di toilet itu.
Tingkat kedewasaan kita dalam menghargai hukum sejatinya bisa dilihat dari lubang toilet. Apakah bersih atau tidak? Silahkan kunjungi toilet umum terdekat.
Penulis adalah Paralegal dan Ketua Komunitas Rechtforma
sangkarbet journal.stikesaisyogya.ac.id