Dulu, ada jam besar berdiri tepat di posisi Patung Catur Muka.
Karena berdentang tiap jam, dan mengeluarkan suara seperti lonceng, warga Denpasar menyebutnya lonceng. Pada tahun 1972, lonceng dibongkar dan diganti dengan “simbol mitologi Hindu”, Patung Catur Muka.
Ketika itu pemerintah Bali memang sedang giat-giatnya membangun infrastruktur kepariwisataan: Bali Beach Hotel mulai dibangun pada tahun 1969, Airport Ngurah Rai tahun 1969, dan kawasan Nusa Dua pada tahun 1971.
Tidak mau ketinggalan, di tengah merebaknya pembangunan fisik sarana kepariwisataan tersebut, team perumus Catur Muka (yang terdiri dari para budayawan) ingin mendirikan landmark kota yang berdasar pada nilai dan filosofi Bali. Patung yang sarat simbol filosofis itupun dibangun tepat di perempatan agung jantung Kota Denpasar, dengan membongkar lonceng tua tersebut.
“Denpasar harus dibangun dengan berbasis filsafat Bali,” mungkin demikian tekad para budayawan dan pemegang pemerintahan tahun 1970-an.
Restorasi identitas atau simbol pertarungan?
Peter J.M. Nas (1995), dalam laporan penelitiannya, menyinggung sekilas tentang dibangunnya patung Catur Muka sebagai usaha menjadikan usaha membangun simbol tradisional sebuah kota (the tradisional symbol of the centre of the city). Juga simbol restorasi identitas (the symbol of the restoration of Balinese identity). Pendapat Nas cukup menarik, tetapi apa yang dia maksud sebagai “simbol restorasi identitas” tidak diurai lebih lanjut.
Bila kita lihat konteks lebih luas, dalam rentetan peristiwa-peristiwa di masanya (pembangunan Bandara, Nusa Dua dan Bali Beach Hotel), kita diajak bertanya: Bisakah dikatakan Patung Catur Muka sebagai “simbol restorasi identitas”?
Identitas yang bagaimana?
Saya “memaknai” peristiwa dibongkarnya loceng Belanda, bukan sebagai “simbol restorasi identitas Bali”, tapi justru sebuah visualisasi “pertarungan waktu” dan visualiasi “pertarungan pemaknaan atas ruang”.
Lonceng adalah “jejak kolonial” – meminjam ungkapan Ackbar Abbas – “how colonial space control desire” (During, 2003: 149). Dengan “mematok” jam di tengah kota (Denpasar), pemerintah (colonial) dengan halus melakukan “control of desire” warga kota, mengatur masyarakatnya dengan “waktu modern”, mengatur siklus dan waktu kota, menawarkan “mekanisme keteraturan” dan “disiplin”.
Denpasar hilang kendali?
Dengan melihat peristiwa dibongkarnya lonceng (bukan diservis atau diperbaiki) dan diganti dengan Patung Catur Muka, di sini tertangkap kecenderungan umum orang Bali lebih tertarik dengan dialektika mitis dibanding mengikuti “disiplin waktu”.
Pembangunan Catur Muka lebih jauh membuka pada kita niat bawah sadar manusia Bali untuk kembali pada suasana kota yang bertumpu pada alam niskala (nis=tanpa atau di luar, kala=waktu). Niat untuk merujuk pada yang niskala telah “mencabut” kekuatan pengaturan dan disiplin waktu yang ingin ditegakkan oleh loceng tersebut.
Pertarungan itu kelihatannya dimenangkan oleh niat menuju niskala. Namun, arena dan pertarungan tidak selesai disitu. Seiring waktu, setelah era 1970-an, terlihat Denpasar melupakan minatnya pada basis dan konsepsi niskala, selanjutnya tampak lebih terobsesi pada pembangunan fisik kasat mata (sekala).
Kemudahan perizinan membangun ruko dan mall, serta dibuatnya jalan raya memotong dan menggilas areal persawahan di Denpasar (setelah era dibangunnya Catur Muka), salah satu bukti Denpasar mengabaikan “dunia niskala”.
Denpasar tergerus kekuatan modal yang tidak berbasis pada pemahaman filosifis (Hindu-Bali). Denpasar lebih doyang kemajuan yang tercerai berai. Pura Subak dan Pura Ulun Suwi di kawasan Denpasar masih berdiri tegak, tapi tak ada lagi sawahnya. Kita menyaksikan tugu Ulun Suwi (altar suci Dewi Sri) di Simpang Enam, meringsek terjepit waralaba Dunkin’ Donuts dan jalan raya.
Sudah cukup tegaskah city planning Denpasar, yang katanya berwawasan budaya dan filosofi Bali? Hypermarket, mall, McDonald, ruko, jalan raya, tumbuh mewabah. Dinas yang membawahi penataan kawasan dan perijinan kelihatan kewalahan; masih cukup energikah mereka dalam menegakkan penataan kawasan?
Punyakah nyali untuk mengatakan “tidak” pada kekuatan uang (baca: investor)? Di beberapa kawasan di Denpasar, kita sering pangling alias bingung, setengah tak percaya kalau kita sedang menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Denpasar, engkau mau kemana? [b]
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat Bali Post dan diterbitkan kembali di sini untuk tujuan pengetahuan dan pendidikan.
Setuju bahwa perlu adanya perubahan pada tata ruang Denpasar. Tata ruang Denpasar masih bisa kembali menggunakan kearifan lokal. Butuh advokasi yang kuat ke Pemerintah Denpasar.