Apakah paradigma pembangunan (kepariwisataan) berkelanjutan masih relevan dengan situasi dan kondisi lingkungan global saat ini?
Paradigma pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikatakan merupakan “anak” dari paradigma pembangunan berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan dicetuskan pada tahun 1992 melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Pada KTT Bumi ini, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai agenda politik pembangunan bagi seluruh negara di dunia.
Oleh karena itu, secara praktis paradigma ini perlu menyentuh segala sektor pembangunan dan aspek kehidupan sehingga paradigma inipun mengakar juga pada pembangunan kepariwisataan sekarang ini. Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan pada dasarnya mengintegrasikan tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.
Akan tetapi, pada praktiknya paradigma pembangunan berkelanjutan maupun pembangunan kepariwisataan berkelanjutan itu sendiri masih terdapat distorsi dalam pemahaman juga implementasinya. Oleh karena itu, paradigma tersebut masih belum mencapai apa yang dicita-citakannya selama ini.
Setelah hampir dua dekade dicetuskannya paradigma tersebut, banyak pembangunan, baik secara umum maupun pembangunan kepariwisataan itu sendiri yang masih terjebak dalam ideologi developmentalisme yang menempatkan kepentingan ekonomi di atas segalanya. Akibatnya, aspek sosial budaya dan lingkungan hidup kurang memperoleh porsinya dengan sesuai.
Eksploitasi sumber daya alam, baik untuk aktivitas kepariwisataan maupun aktivitas ekonomi lainnya menunjukkan bahwa pembangunan masih meletakkan fokus utama pada aspek ekonomi dan menempatkan dua aspek lainnya sebagai eksternalitas dari satu bangunan utuh pembangunan berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan timbulnya krisis ekologi dan kesenjangan sosial yang semakin parah dalam kurun waktu hampir dua dekade ini setelah tercapainya kesepakatan dalam KTT Bumi.
Keberlanjutan
Setelah hampir dua dekade paradigma pembangunan berkelanjutan menjadi agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup menganggap bahwa disepakatinya paradigma tersebut merupakan suatu kemunduran karena kesepakatan ini berarti berkompromi dengan ideologi developmentalisme.
Ada sebuah paradigma alternatif dalam menyikapi pembangunan dan relevan dengan situasi dan kondisi global saat ini, yaitu paradigma keberlanjutan ekologi. Keberlanjutan ekologi menuntut sebuah perubahan mendasar dalam kebijakan nasional, yang memberi prioritas pada kelestarian bentuk-bentuk kehidupan di bumi, demi mencapai keberlanjutan ekologi.
Keberlanjutan ekologi juga mengintegrasikan ketiga aspek pembangunan, yaitu ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup itu sendiri. Akan tetapi, paradigma keberlanjutan ekologi menawarkan pendekatan lebih arif sebagai upaya menghindari jebakan ideologi developmentalisme. Ideologi ini melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan kekayaan sosial budaya. Developmentalisme menitikberatkan terhadap keberhasilan yang selalu diukur dalam bentuk perhitungan ekonomi atau kemajuan material.
Begitu juga dalam perspektif kepariwisataan, jika paradigma keberlanjutan ekologi dalam pembangunan kepariwisataan diimplementasikan dengan sebagaimana mestinya, maka sumber daya pariwisata, baik alam maupun kekayaan sosial budaya tidak akan lagi dipandang hanya sebagai alat ekonomi (dalam cara pandang yang mekanis reduksionistis) untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan para stakeholdernya. Akan tetapi, akan lebih baik jika dipandang sebagai suatu kesatuan ekologis yang harus dikelola secara arif sehingga dapat berkelanjutan secara ekologi, adil secara sosial, dan menghidupi secara ekonomi.
Bali, katakanlah sebagai barometer pariwisata di Indonesia, apakah para stakeholdersnya sudah menyadari dan mengimplementasikan sepenuhnya mengenai hal ini? [b]