Bicara tentang pariwisata sama dengan bicara mengenai politik.
Tentunya kita akan sedikit mengerutkan dahi andaikata hal tersebut tiada hubungannya sama sekali, walau sampai masuk ke tataran ideologi sekalipun. Umumnya orang membicarakan pariwisata sebatas pada apa yang ada hubungannya dengan keindahan alam, kenyamanan perjalanan, kebudayaan ataupun kesenangan. Ujung-ujungnya masalah ekonomi yang dikemukakan.
Namun, dari sekian banyak ulasan, kebudayaanlah yang menarik untuk dibahas. Sebab, posisinya pernah satu wadah dengan pariwisata. Sebagai seorang awam sangatlah naif itu terjadi. Apalagi sebelumnya pariwisata dijejali dengan bidang seni: Deparsenbud. Sementara Depdikbud seolah kehilangan jati dirinya setelah ‘balik nama’ menjadi Depdiknas.
Saya tidak begitu tahu apa yang sedang terjadi di antara departemen kabinet. Dalam hal ini apakah kebudayaan yang direkrut oleh pariwisata ataukah kebudayaan yang menceburkan diri ke pariwisata?
Seperti kita ketahui, Departemen Pariwisata mengalami beberapa kali perombakan seiring dengan perombakan kabinet RI, mulai dari kolaborasi dengan pos dan telekomunikasi sampai dengan seni dan kebudayaan. Bila kita tinjau sejarah ke belakang, apa sebenarnya fungsi pariwisata? Dan bila kita tarik ke disiplin ilmu, masuk ke cabang manakah pariwisata ini?
Apakah ia berdiri sendiri ataukah ‘ilmu jadi-jadian’ sebagai strategi propaganda hasil budidaya?
Di satu sisi, industri dan perdagangan ikut berkecimpung di dalamnya. Hasilnya seperti yang tampak sekarang ini, entah itu melahirkan dampak baik ataupun dampak buruk. Meskipun nama departemen sekarang (Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) hampir berhubungan, namun hal tersebut masih kurang layak diadakan karena sudah ada departemen industri dan perdagangan.
Mayoritas orang menggunjingkan dampak pariwisata sebatas pada apa yang terlihat, yakni jika ditinjau dari sudut ekonomi dan lingkungan hidup. Suatu ketika dan di suatu tempat, pariwisata meningkatkan perekonomian dan taraf hidup rakyat, tapi di satu sisi ia merusak lingkungan hidup. Adapula di lain pihak, kedua-duanya saling menguntungkan, tetapi di sisi lain ia telah menghancurkan sendi-sendi budaya atau pun kearifan lokal yang nota bene telah terbukti fungsinya.
Terlepas dari hal itu, perlulah kita telusuri sejenak apa yang penting dan apa yang tidak penting bagi pariwisata. Seperti ungkapan Jero Wacik (mantan Menteri Pariwisata) beberapa tahun lalu. “Pariwisata penting, kebudayaan lebih penting,” katanya.
Tetapi kalau boleh saya tambahkan pernyataan tersebut. Memahami kebudayaan itulah yang paling penting!
Adakah kesepakatan pemahaman selama ini dalam wacana budaya? Setidaknya dari kesepakatan itu akan cukup menggores di benak-benak generasi kita selanjutnya. Atau apakah kita akan mewariskan kebingungan pada keturunan kita sebagai penerus bangsa? Apalah artinya kita gembar-gembor tentang kekaguman jati diri bangsa, membanggakan-banggakan keturunan dan leluhur kita, sementara potensi bangsa yang begitu mengundang decak kagum tuntas hanya karena dibekam keraguan! Bukankah manusia hidup tidak hanya dalam satu generasi? Cukuplah kiranya dari pernyataan tersebut akan diketahui ‘kepentingan’ saya saat ini.
Kata ‘Budaya’ adalah suatu istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun selama ini, kita kurang memperhatikan pokok dan kandungannya, mungkin kita terlalu fokus pada komponen atau rantingnya. Sebagian besar masyarakat, bila mendengar atau mengatakan budaya, maka yang terlintas di pikirannya adalah adat, kebiasaan, tradisi atau bahkan kesenian. Apabila kita artikan dari segi etimologi, tentunya para kalangan budayawan ataupun rohaniawan telah mengetahuinya. Tentu erat kaitannya dengan bahasa induk kita: sangsekerta. Bukti-bukti pengertiannya cukup jelas dalam lontar-lontar kuno. Tetapi kalau kita tarik pengertiannya dari sudut pola pikir asing, misalnya istilah bahasa Inggris, maka pengertian budaya lebih condong pada kata ‘civilization’. Karena kata ‘culture’ sendiri bisa berarti peradaban yang erat kaitannya dengan etika, sopan santun, tata krama bahkan moral. Lain halnya dengan istilah bahasa Perancis, kata ‘la civilisation’ bisa berarti peradaban. Sedangkan kata ‘la culture’ bisa berarti pendidikan, pengetahuan atau bahkan bercocok tanam. Bukankah menurut filsafat pendidikan, bahwasannya makna pendidikan lebih dekat pada masalah etika dan moral? Untuk kasus ini alangkah baiknya juga jika ahli bahasa dilibatkan di sini terutama yang konsentrasi pada bidang semantik.
Jadi, mengacu kemanakah standarisasi kita selama ini? Mungkin itu tergantung kacamata dan kamus mana yang kita pakai. Tetapi yang sangat dikhawatirkan adalah ada segelintir orang memaknainya berdasarkan selera, sehingga sangatlah mudah untuk disalahgunakan sebagai ‘bahasa kekuasaan’. Lalu setelah itu, masyarakat didoktrin supaya melakukan dan melestarikan suatu budaya yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak jelas juga keuntungannya bagi mereka. Mereka pun selamanya berada dalam ‘tempurung hak asasi’, tidak bisa beranjak dari komunitasnya dan tak punya harapan untuk melancong dan melihat dunia luar. Dalam hal ini, misi dan visi negara sangatlah menentukan sekali di sini.
Bila kita hubungkan masalah ini ke bidang pariwisata, maka masyarakat akan bertindak bukan atas kesadaran diri, tetapi karena tuntutan pariwisata yang mengutamakan konsumen wisatawan asing. Sehingga bentuknya juga tidak jauh dari kemasan pariwisata. Jangankan budayawan, orang awam pun mungkin bisa membedakan mana yang ‘dibuat-buat’ dan mana yang alamiah, apalagi wisatawan! Budaya seperti itukah yang akan kita tawarkan? Mungkin lebih baik orang menjual gaplek sambil mempromosikan cara pembuatannya daripada jual iklan tanpa sesuai dengan kenyataannya.
Ingatlah bahwa kebudayaan akan berjalan di relnya meskipun tanpa pariwisata! Sebelum lahir istilah pariwisata dan sebelum pariwisata itu sendiri itu dilembagakan, kebudayaan kita sudah menjadi pusat perhatian dunia. Kita punya dasar yang cukup kuat untuk memahami kebudayaan.
Kebudayan kita dibangun atas sejarah moralitas yang universal hingga melahirkan pokok-pokok kebudayaan dalam format Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat kita tempo dulu bekerja dan terus bekerja demi kebudayaan itu sendiri, berkarya dan terus berkarya tanpa semangat pariwisata sebagaimana bahasa daerah yang terus terucap dan mengalir deras setiap hari.
Inilah Pancasila: sebagai ideologi, ia adalah kesadaran mutlak; sebagai budaya, ia adalah sifat alamiah manusia. Lalu mengapa kita harus cari-cari alasan dan mereka-reka misi-visi lain? Atau jangan-jangan kita pun tidak tahu arti ‘misi dan visi’ itu sebenarnya!
Tetapi, adakah kita selama ini memprioritaskan pendidikan sebagai target pemahaman budaya? Baiklah, anggaran tinggal anggaran, tapi alokasinya jelas dan tepat sasaran ataukah tidak.
Sebagai konsekuensi adanya ‘yang penting’ dan ‘yang lebih penting’, maka tidak menutup kemungkinan pengertian ‘budaya’ diterjemahkan menjadi ‘liberalis’ dan pariwisata diterjemahkan menjadi ‘kapitalis’. Akhirnya ‘budaya jual perizinan’ lah yang akan tampak! Rumah, kampung, banjar, desa, kebun, ladang, tempat suci dan tempat pendidikan semuanya menjadi pasar.
Lama-kelamaan jalan-jalan pun yang sudah sesak dengan kendaraan bisa menjadi pasar.
Kita pun perlu waspada bila ada seseorang yang memuji bukan pada tempatnya, karena bisa jadi itu adalah sindiran atau bisa juga isyarat. Sebagai pemimpin di suatu daerah tujuan wisata, maukah statusnya disamakan dengan pedagang handal walaupun itu hanya perumpamaan?
Saya berharap pembunuhan karakter tidak terjadi di sini ketika setiap orang terpaksa harus berdagang karena termakan isu ‘globalisasi’, ‘perdagangan bebas’, dan ‘persaingan ketat’. Padahal itulah senjata penindas yang akan meracun, memecah belah, memangsa, lalu memporakporandakan benteng kebudayaan kita dengan berbagai cara.
Kalau memang pariwisata itu penting, tiada salahnya kalau saya katakan bahwa pariwisata akan muncul dengan sendirinya andaikata semua lapisan masyarakat memahami kebudayaan seutuhnya lalu mensepakati makna dan fungsinya. [b]
memang sangat menyedihkan imbas pariwisata. upacara keagamaanpun dijual, hingga tidak ada lagi kekhusukannya dalam bersembahyang, sangat mengganggu.
tapi siapa yang peduli, semua atas nama pariwisata, terlebih lagi bila pemandu wisatanya bukan orang Bali yang beragama Hindu. who cares!!! turis lebih penting boo.
Saudara Ave, mohon baca kembali tulisan saya supaya komentar anda lebih kena dengan konteks! Itupun kalau anda masih merasa sebagai orang pribumi yang notabene WNI di KTP anda ..
kedua nya sangat penting, pariwisata dan budaya sama penting, beberapa orang mungkin merasa miris melihat bagaimana pariwisata dan budaya saling terikat yang menyebabkan beberapa hal yang tidak diinginkan. tapi jangan lupa pariwisata merupakan sumber devisa negara ke3 terbesar, kita tidak bisa menutup mata dan telinga terhadap perkembangan pariwisata saat ini, pariwisata memberikan dampak besar terhadap negara kita, tahu tidak tau,mau tidak mau sebagian besar sumber pendapatan masyarakat indonesia dari pariwisata yang terus berkembang, jika kita terus berpatokan pada kebudayaan indonesia seperti yang di maksud di atas, tanpa campur tangan pariwisata makan masyarakat indonesia yang notabennya tidak bisa mendapatkan pekerjaan kantoran akan menjadi lemah karena tdk adax sumber pendapatan mereka. Jangan lupakan juga pariwisata merupakan multi dimensi yg artinya semua org dapat masuk di dunia pariwisata guna mendapakan kesejahteraan. sekaranag apakah kesejahteraan masyarakat indonesia tidak penting????