Di bawah permukaan danau yang tenang, rumah 43 warga Tamblingan tenggelam.
Begitu pula rumah Wayan Suada dan istrinya, Nyoman Josen. Sejak empat bulan lalu rumah mereka di tepi danau Dusun Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, tenggelam.
Danau Tamblingan salah satu dari tiga danau di kawasan Bedugul, Bali. Dua danau lain di sini adalah Beratan dan Buyan. Bersama Danau Batur di Kintamani, Bangli, tiga danau ini mengalirkan air menuju sawah-sawah di Bali.
Danau-danau adalah berkah tak hanya bagi penduduk di sekitarnya tapi juga masyarakat Bali di sembilan kabupaten pulau ini.
Namun, sejak empat bulan lalu, Danau Tamblingan justru melahirkan musibah bagi Suada dan warga lain di sekitar danau seluas 115 hektar ini. Air dari danau sedalam sekitar 75 meter ini meluap hingga sekitar 40 meter ke arah darat dan hutan yang mengelilinginya.
Atap
Maka, air pun menenggelamkan rumah warga di sekitar danau, termasuk rumah Suada. Saat saya ke sana akhir April lalu, rumah itu hanya terihat rangka atap. Sisanya tenggelam oleh air danau sedalam kira-kira 3 meter.
Dia bersama anak istrinya lalu pindah sekitar 10 meter dari rumah yang dia tinggali sejak lahir tersebut. Namun, sekitar tiga bulan tinggal di rumah baru itu pun tenggelam. Mereka kembali pindah ke rumah baru.
Mmmm, sebutan rumah mungkin kurang tepat bagi tempat tinggal Suada dan anak istrinya saat ini. Mungkin lebih tepat disebut gubuk. Dia berupa tempat tinggal berukuran sekitar 5×3 meter. Seluruh dindingnya dari kayu. “Kami mengambilnya dari hutan di sini,” kata Josen. Lantai rumah tanah basah, seperti juga tanah di sekitar danau.
Bagian paling mewah dari rumah itu, menurut Josen, adalah atapnya. “Itu saja yang kami beli. Harganya sekitar dua juta. Bahan lain kami ambil dari sekitar sini,” tambahnya. Siang itu dia sedang menyapu di depan tempat tinggalnya.
Dari tempat tinggalnya, Josen bisa melihat puluhan rumah tersebut tenggelam. Ada yang cuma tergenang lantainya. Ada yang cuma terlihat rangka atapnya. Namun, ada pula yang tak terlihat sama sekali karena sudah di bawah permukaan air danau.
“Sebagian harus mengungsi ke desa lain,” ujarnya.
Warga lain yang mengungsi itu adalah keluarga Gusti Aji Putra, 70 tahun. Dia kini tinggal di dekat sekolah dasar setempat, sekitar 1 km dari rumah lamanya.
Gempa
Dia hanya sekali-kali melihat ke rumah lamanya yang kini terendam luapan danau. Begitu pula akhir April lalu. Dia masuk halaman belakang rumah lamanya yang kosong. Bersama menantunya, Kadek Puliyasa, 22 tahun, sore itu dia menangkap ikan dengan bubu.
Menurut Gusti, meluapnya air Danau Tamblingan terjadi sejak akhir tahun lalu. “Tiap hari hujan selama berbulan-bulan. Makanya air langsung meluap,” katanya. Menurutnya, kejadian air meluap seperti ini pernah terjadi juga pada tahun 1972. Selama empat tahun, air danau di sana meluap menenggelamkan rumah-rumah warga. Namun, ketika terjadi gempa di Seririt, Buleleng pada tahun 1976, air yang meluap itu kembali ke danau.
Dia melanjutkan, air hujan tak lagi cukup ditampung danau mungkin karena dua alasan. Pertama karena curah hujan yang terlalu sering dan banyak dalam jangka waktu lama. Kedua karena pendangkalan danau.
“Mungkin juga ini peringatan Tuhan agar kita tak sembarangan buang sampah dan menebang hutan,” ujarnya. [b]