Ancaman krisis air bersih dalam beberapa tahun terakhir menjadi fokus perhatian dunia internasional.
Tak heran dalam peringatan World Water Day tahun ini, PBB mengusung tema Transboundary waters: shared water, shared opportunities (Air Lintas Wilayah: Berbagi Air, Berbagi Peluang). PBB ingin menekankan relokasi air dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu kelompok untuk kelompok lain. Dapat diartikan bahwa tema tersebut menekankan bahwa saat ini terjadi krisis air yang hebat.
Pada tahun 2006 laporan United Nations Development Programme (UNDP) yang terangkum dalam Human Development Report 2006 dengan judul “Beyond scarcity: Power, poverty and the global water crisis” (Melampaui Kekurangan : Kekuasaan, Kemiskinan dan Krisis Air secara global) menggambarkan secara gamblang krisis air di berbagai belahan dunia, sudah menjadi malapetaka yang sangat mengkhawatirkan.
Dalam laporan setebal 440 halaman tersebut -yang seluruhnya mengulas persoalan krisis air- disebutkan bahwa di awal abad 21 ini, persoalan ketiadaan akses terhadap air bersih sudah menjadi pembunuh kedua di dunia bagi anak-anak (the world’s second biggest killer of children). Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa ada sekitar 1.8 juta anak meninggal dunia setiap tahun akibat diare dan berbagai penyakit lain akibat ketiadaan akses terhadap air bersih.
Indonesia adalah salah satu negara yang tidak tidak luput dari ancaman tersebut. Namun karena ketersediaan sumber daya alam itu masih cukup tinggi dan didukung dengan keberadaan siklus musim dan sumber air yang melimpah (air tanah dan permukaan) menyebabkan fenomena krisis air di negeri ini tidak disadari.
Padahal faktanya krisis air hampir terjadi di semua daerah. Hal ini dapat dibuktikan pada saat berlangsung musim kemarau. Penyebabnya adalah selain pertambahan populasi, perubahan iklim juga karena konversi hutan di hulu, perubahan areal vegetasi menjadi kepentingan bisnis skala besar dan infrastruktur, serta gagalnya negara menjalankan program rehabilitasi kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah faktor pendorong krisis air.
Krisis Air di Bali
Bali adalah salah satu pulau yang tidak luput dari ancaman krisis air bersih. Defisit air di Bali malah telah terlihat sejak tahun 1995. Berdasarkan laporannya, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI mengingatkan bahwa defisit air di Bali telah terlihat sejak 1995 sebanyak 1,5 miliar meter kubik/ tahun. Defisit tersebut terus meningkat sampai 7,5 miliar meter kubik/ tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar meter kubik/ tahun.
Sebagai provinsi yang sangat tergantung pada industri pariwisata, Bali membuat segala kebijakan pemerintah local yang selalu didesain berada aras kepentingan industri pariwisata. Maka pertumbuhan di sektor ini seiring sejalan dengan kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di hilir. Kasus reklamasi pantai, pembangunan lapangan golf, akomodasi pariwisata dengan mengkoversi lahan pertanian produktif dan juga di sekitar danau dan hutan di hulu, dan bahkan kebijakan pengelolaan air dengan prioritas mensuplai sektor industri pariwisata adalah fakta dari kebijakan yang berada di dalam aras tersebut.
Kebijakan yang terakhir ini berdampak langsung terhadap ancaman krisis air bersih di Bali. Pengelolaan air berupa suplai air besar-besaran bagi kepentingan industri pariwisata mewarnai praktek pengelolaan air di Bali. Ambil contoh, saat ini pasokan air ke kawasan kuta selatan khususnya Bali Tourism Deveopment Centre (BTDC) Nusa Dua sebesar 1300-3000 m3/hari. Pasokan ini berbanding terbalik dengan konsumsi air bersih rumah tangga yang hanya menghabiskan rata-rata 1 m3 /hari. Berarti konsumsi air besih dari BTDC setara dengan konsumsi 1.300 KK.
Ironisnya pasokan air besih yang sedemikian besar, masih dalam kategori kurang.Maka Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Badung berencana menambah suplai air bersih ke kawasan tersebut (BP, 17 Oktober 2009). Keadaan ini berbanding terbalik dengan suplai air bersih bagi penduduk di kawasan Badung Utara yang sampai saat ini masih kesulitan air bersih atau sangat kontradiktif dengan masyarakat di Kawasan Bali timur yang harus bersusah payah untuk mendapatkan air bersih.
Konsumsi air yang berlebih terutama untuk pemenuhan sektor industri pariwisata tentu berdampak terhadap ketersediaan air bersih di Bali. Keadaan tersebut diperparah dengan kebijakan pembangunan akomodasi pariwisata di daerah hulu; sebut saja pembangunan villa di pegunungan Bedugul, villa di Hutan Dasong Buyan-Tamblingan atau pembangunan proyek Geothermal dengan merabas hutan di Bedugul, menjadi faktor yang signifikan dalam mendorong terjadinya krisis air di Bali.
Defisit air pada saat tertentu akan terakumulasi menjadi krisis air yang hebat. Pada saat itu akan problem konflik air, yang disebabkan semakin langkanya (scarcity) jumlah dan kualitas air yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Pada saat yang sama terjadinya situasi “demand side efect” terhadap keberadaan air, di mana air tidak dapat berfungsi sebagai komoditas publik (public goods) tetapi bergeser fungsinya menjadi komoditas ekonomi (economic goods).
Konflik penguasaan atas air
Meningkatnya aktivitas pembangunan industri pariwisata tanpa memperhatikan lingkungan berakibat kepada menurunnya daerah resapan air dan disisi lain meningkatkan kebutuhan akan air. Keadaan tersebut berakibat semakin kritisnya kondisi hidrologis dan kelestarian konservasi air, serta semakin tercemarnya sumber air.
Pada akhirnya berakibat semakin langkanya air pada musim kemarau dan menjadi bencana banjir pada musim hujan. Dan tanpa disadari akan menjadi faktor pendorong munculnya konflik kepentingan penggunaan air, baik pada pemanfaat yang sejenis — misalnya antar petani dalam satu sistim irigasi —, akan tetapi juga konflik antar sektor pengguna dan antar wilayah.
Terlebih saat ini, pengelolaan air di Bali sangat senjang. Industri pariwisata mendapatkan pasokan air bersih sangat berlimpah, sementara rumah tangga mendapatkan jatah yang sangat sedikit. Di sisi lain pasokan air bersih tersebut mengambil jatah pengairan lahan pertanian. Tindakan ini terbukti menimbulkan konflik antar petani dengan perusahaan air minum dan bahkan bisa menjurus ke arah konflik horizontal petani antar petani.
Konflik atas air ini pernah terjadi di Subak Yeh Gembrong dengan PDAM di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Konflik perebutan air Telaga Tunjung PDAM Tabanan
Bila pengelolaan sumber daya air di Bali tidak segera dibenahi, tidak tertutup kemungkinan konflik seperti diatas akan makin massif dan meluas. Pemerintah daerah harus segera keluar dari sistem pengelolaan air yang berada pada aras pelayanan industri pariwisata secara membabi buta sebagaimana yang dipraktekan selama ini. Pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan dikelola secara sentralistis politik hanyalah akan berujung kepada posisi rakyat yang semakin lemah
Sepatutnya pemerintah daerah memulai melakukan upaya-upya memperkuat posisi masyarakat lokal dalam memegang hak pengelolaan air. Pembangunan yang lebih mementingkan pada institusi modern dan formal, hanya akan memarjinalkan masyarakat lokal yang selama ini sudah memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Terlebih sejak diterbitkan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mendorong privatisasi air, semakin mempecepat pergeseran air menjadi komoditas ekonomi (economic goods).
Selain mengancam krisis air bagi rumah tangga, implikasi dari perubahan tersebut akan menjadikan posisi petani/rakyat masih sangat rentan dalam menghadapi konflik penggunaan air yang akan semakin tajam.
Kalau sudah demikian buat apa investasi pariwisata jika hanya menguras mata air dan mengubahnya menjadi air mata?
Kalau melihat kondisi ketersediaan air seperti diatas, ada sedikit pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya konsep tri hita karana di jalankan di Bali. Selama inikonsep tersebut sangat terkenal di berbagai kalangan intelektual dan terdapat banyak tulisan yang mengupas tentang kuatnya local wisdom yaitu tri hita karana dalam pembangunan di Bali. Tetapi setelah melihat dampak kerusakan yang ditimbulkan apakah ini berarti Bali memang sudah jauh dari “local wisdom” nya tersebut. Apakah dikarenakan banyaknya pengambil keputusan di Bali adalah non Bali (non Hindu)?. Ataukah hanya semata karena dalih mengejar pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata?