Majapahit memulai dan Belanda melanggengkan sistem kasta.
Saya senang ketika seorang teman, Adi Sudewa, memberikan buku ini. Teman dari Bali tapi tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta ini mengirimkannya untuk saya. Setelah menunggu sejak sekitar 2003, akhirnya saya bisa mempunyai buku ini juga, Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali.
Sekitar tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku.
Saat itu, untuk pertama kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya sedikit.
Namun, setelah diskusi tersebut, saya tak pernah menemukan buku karya Kerepun ini. Meski sudah mencari ke beberapa toko, saya tak pernah menemukannya. Saya hanya memiliki versi draf dalam bentuk print out serupa skripsi yang masih saya simpan sama sekarang.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta di blai serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini.
Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali karena tidak ada padanannya di Jawa.
Karena itu, kasta adalah sekaligus Majapahitisasi.
Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini. Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.
Kerepun memberikan bukti bahwa tak ada kasta di Bali pada zaman Bali kuno. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan semacamnya.
Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya kemudian memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli, dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.
Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai ayahnya. Acuannya nama dan keluarga.
Adapun Catur Warna merupakan klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis. Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).
Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.
Sistem kasta di Bali ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.
Perselisihan
Kebijakan ini memicu perselisihan bertahun-tahun yang bahkan, setahu saya, masih terjadi hingga saat ini. Tak hanya pertentangan diam-diam tapi juga terbuka. Tak hanya terkait isu politik dan budaya tapi juga hingga agama. Kembar Kerepun menjelaskan semuanya dengan bahasa yang, bagi saya, kadang amat sarkas. Terasa benar antipati dia pada sistem kasta.
Perselisihan ini selalu disebut terjadi antara Triwangsa (terdiri dari Brahmana, Ksatria, dan Waisya) dengan Jaba (Sudra). Salah satu contoh perselisihan yang sering sekali saya baca di buku ataupun artikel tentang Bali adalah antara majalah Bali Adnyana, dikelola Triwangsa, dengan Suryakanta, milik kaum Sudra.
Suryakanta, mewakili kelompok progresif. Melalui media ini para kelompok intelektual Jaba berpendapat Kasta tak perlu dipertahankan. Sebaliknya, Bali Adnyana justru mendukung tetap diberlakukannya sistem kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.
Namun, perselisihan itu terlihat elegan. Mereka saling “menyerang” ide lewat media masing-masing. Setidaknya itu, sih, yang saya lihat. Dengan begitu, diskusi intelektual berkembang. Tak seperti di Bali saat ini yang agak susah mencari tandingan dari wacana arus utama. Tak banyak media yang bisa mewakili suara-suara kritis terhadap Bali saat ini.
Perlawanan terhadap sistem kasta, hampir semuanya dilakukan Jaba. Sumber perlawanan ini karena tidak adilnya sistem kasta bagi mereka. Contohnya, pemerintah kolonial Belanda amat memanjakan Triwangsa dalam hal jabatan ataupun pendidikan.
Anak-anak Jaba tak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Akibatnya, anak-anak Jaba ini lebih banyak sekolah di Jawa sehingga berpikir lebih terbuka dan progresif.
Tak cuma di bidang pendidikan, perlawanan ini juga terjadi lewat agama. Buku ini menulis beberapa contoh. Dua di antaranya terjadi di Mengwi dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan Pande melawan kalangan Brahmana yang melarang mereka melakukan upacara tanpa dipimpin pihak Brahmana.
Selama 17 tahun melawan, dari 1911 hingga 1928, akhirnya warga Pande diperbolehkan melaksanakan upacara dipimpin seorang empu, bukan pedanda.
Gusti Pones
Namun, perselisihan ini kadang terjadi juga dalam diri seseorang. Ada yang menaikkan kasta dengan cara membayar karena ingin memperoleh status sosial dan adat lebih tinggi. Mereka lalu mengajukan ke Lembaga Peradilan Hindu agar dinaikkan statusnya.
Pada tahun 1910, misalnya, ada 150 warga Jaba yang mengajukan diri agar kastanya naik jadi Gusti, salah satu klan dalam Triwangsa. Dari 150 pemohon, 70 di antaranya dikabulkan untuk naik kasta jadi Triwangsa dengan embel-embel gelar Gusti. Mereka dikenal sebagai Gusti Pones karena dia hadiah dari sidang.
Sebaliknya ada pula orang yang justru menurunkan kastanya sendiri karena merasa kasta yang dia miliki sebelumnya justru mengekang. Buku ini mengutip artikel Majalah SARAD tentang warga Gusti yang nyineb wangsa, bahasa lain dari kasta.
Majalah ini menulis tentang penurunan kasta secara sukarela oleh I Gusti Ketut Ngurah, 80 tahun, dari Sidemen, Karangasem. Dia mengubah nama jadi I Ketut Ngurah karena mengaku tak bisa melakukan upacara mesakapan saat menikah sesuai standar kastanya.
Dia mengaku hidup pas-pasan sehingga kadang-kadang harus makan pemberian orang lain. Maka, dia pun menurunkan kasta biar bebas makan paridan atau lungsuran, sisa makan orang lain.
Setelah membahas berbagai kesalahpahaman dan perselisihan akibat kasta di Bali, Kerepun yang juga mantan anggota DPRD Gianyar ini lalu menulis tentang bagaimana kesalahpahaman itu dilestarikan. Menurut Kerepun, kesalahpahaman tentang kasta ini sengaja dipelihara sejak zaman bahuela hingga saat ini.
Pada aturan zaman kolonial, para raja membuat aturan-aturan yang, kalau dilihat sekarang akan terlihat konyol. Strategi pengajegan tersebut antara lain melalui enam larangan, yaitu amada-mada ratu, asisia-sisia, anjuran masor singgih, ketaatan dan ketakutan pada paham ajewara, ketakutan pada paham raja dewa, dan takut karena manipulasi titah Dewata.
Istilah-istilah ini sesuatu yang saya juga baru tahu.
Tapi, aturan konyol itu, misalnya Jaba biasa tak boleh meniru-niru (amada-mada) raja atau ratu. Contohnya, warga Jaba tak boleh mempergunakan batu bata merah untuk membangun rumah. Warga jaba juga tak boleh mempunyai anak kembar buncing, kembar berbeda jenis kelamin. Inilah asal mula kenapa orang dengan anak kembar buncing itu disepekang atau dikucilkan secara adat di sebagian desa.
Sebagian lontar pun, menurut Kerepun, memuat aturan yang memihak pada mereka yang berkasta. Hal itu terjadi akibat kesalahpahaman terhadap ajaran agama tersebut. Saya tidak terlalu paham dengan lontar dan istilah-istilah dalam Hindu. Buku ini mengutip banyak ayat dalam ajaran Hindu yang menyatakan bahwa tidak ada istilah kasta.
Sekali lagi, saya yang non-Bali dan non-Hindu tak terlalu paham persoalan ini.
Emosional
Terlalu banyaknya istilah Bali kuno atau Hindu ini memang jadi salah satu kelemahan buku karya Kerepun ini. Banyak istilah Bali yang tak mudah dipahami “outsider” semacam saya di dalam buku ini. Istilah-istilah ini terbaca amat janggal. Mungkin karena diambil dari lontar-lontar kuno yang bisa jadi juga susah dipahami anak-anak muda sekarang.
Kelemahan kedua, alur buku ini juga bolak-balik. Kurang mengalir. Contohnya tentang cara Belanda melestarikan sistem kasta. Setelah dibahas sekilas di bab-bab awal, tema ini dibahas lagi di bagian belakang. Saya merasakan loncatan balik ketika membaca ini.
Kelemahan paling penting, buku ini ditulis amat emosional. Tidak berimbang sama sekali. Sangat terasa bagaimana antipati Kerepun yang sudah almarhum ini terhadap isu kasta di Bali ini.
Saya tak mengetahui dengan pasti apakah memang almarhum pernah memiliki masalah secara personal terkait kasta ini. Namun, dari nama istrinya, Anak Agung Ngurah Mayun, bisa jadi Kerepun pernah mengalami persoalan pribadi dengan sistem kasta di Bali ini.
Saya hanya menduga-duga.
Selain berisi pendapat kritis dan bahkan sinis, buku ini juga menyampaikan fakta menarik tentang Bali sejak zaman pra-Majapahit maupun zaman kolonial. Banyak hal yang saya juga baru tahu dari buku ini. Misalnya bahwa pada tahun 1920-an, sensus penduduk Bali pun dilakukan dengan menghitung jumlah penduduk berdasarkan kasta.
Hasilnya, pada saat itu jumlah penduduk Bali sekitar 917.000. Komposisi kasta warganya adalah Brahmana 9.850 orang (1 persen), Ksatria 25.260 orang (2,7 persen), Wesia 23.450 orang (2,5 persen), dan selebihnya adalah Sudra (sekitar 94 persen).
Dengan banyak fakta dan opini tentang kasta tersebut, buku ini harus dibaca mereka yang ingin belajar tentang sistem kasta dari kacamata kritis, atau bahkan sinis.
Melalui buku ini almarhum Made Kembar Kerepun telah memberikan pandangan alternatif tentang isu kasta. Dia berani membongkar pikiran bahwa sistem kasta itu sesuatu yang perlu dilestarikan. Kasta sudah tak sesuai dengan zaman. [b]
apakah di buku tersebut juga membahas tentang gelar anak agung dan cokorde?
dalam sebuah buku babad sekilas disinggung masalah gelar tersebut. Sesungguhnya gelar anak agung dan cokorde adalah gelar baru raja-raja di bali oleh pemerintah kolonial belanda setelah bali dikuasai oleh belanda dengan meberlakukan surat keputusan : staatblad no.226 tanggal 1 Juli 1929 mengenai penetapan gelar bagi para raja-raja di bali.
raja karangasem mendapat gelar anak agung dari sebelumnya i gusti.
raja buleleng mendapat gelar anak agung
raja jembrana mendapat gelar anak agung
raja bangli mendapat gelar anak agung dari sebelumnya i dewa.
raja gianyar mendapat gelar anak agung dari sebelumnya i dewa.
raja tabanan mendapat gelar cokorde dari sebelumnya i gusti.
raja tabanan mendapat gelar cokorde dari sebelumnya i gusti.
raja klungkung mendapat gelar i dewa agung dari sebelumnya i dewa.
gelar anak agung dan cokorde bukanlah gelar keturunan tapi gelar bagi mereka yang sedang menjadi raja / memangku jabatan sebagai raja pada saat pemerintahan kolonial belanda untuk menarik simpati para raja-raja dibali.
seperti ketika anda mendapat gelar sarjana setelah lulus s1,s2,s3 dll. maka hati anda akan amat senang dan bahagia….. tapi gelar tersebut tidak dapat diturunkan/disematkan pada keturunan-keturunan anda, kecuali mereka juga menyelesaikan pendidikan yang sama dengan orang tuanya, bukan?
dan kenapa banyak yang memakai gelar anak agung dan cokorde tersebut? apakah mereka seorang raja….??? entahlah hanya mereka yang tahu…. mungkin gelar tersebut keren kali yeee atau mereka masih mengakui pemerintahan kolonial belanda sampai sekarang…… 😛
Sejujurnya saya tidak tau banyak tentang kasta, setau saya kasta dan warna itu berbeda. Kalau gelar s1, dr, prof, dll itu tergolong warna. Kenapa kasta yang bli sebut gelar itu diturunkan, karna itu bukan gelar profesi, melainkan gelar keturunan. Kasta yang ada sekarang, menurut saya salah satu bentuk “label” atau identitas yang di luhurkan. Jadi kita ingat, leluhur kita siapa? (Maybe) ???
memang untuk masalah kasta sendiri masih terlalu kompleks untuk dibahas lebih lanjut. saya sendiri jg masih bingung untuk menjawab pertanyaan seputar kasta, terlebih lagi bila pertanyaan ini terlontar dari teman saya yg notabene bukan orang Bali (berhubung saya merantau). Tapi paling tidak, kembali lagi ke individunya dalam hal memandang kasta dan mengartikan kasta itu sebagai apa. Mengapa? Ini karena sekarang orang2 sudah mulai untuk open minded dan bisa berpendapat tentang hal itu.
Kasta dan juga semua sistem strata sosial yang ada dalam peradaban manusia adalah hasil pemikiran manusia karena itu sifatnya kultural, sama sekali tidak natural. Artinya sistem strata sosial itu tak memiliki nilai esensial sehingga sangat mungkin untuk berubah atau dirubah. Jadi sistem strata sosial itu tak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis karena murni hasil pemikiran manusia. Pembentukan strata sosial semacam kasta sebenarnya mimiliki kesamaan dengan pembentukan klas-klas dalam masyarakat seperti dalam pemikiran Marxian. Hanya saja Marxian orthodok membagi klas pada dua besar yakni klas borjuasi dan klas buruh. Demikian pula dengan pola-pola pelestariannya hampir sama yakni bagaimana klas-klas berkuasa bekerja keras untuk mempertahankan kekuasaan dan privelege nya.Dalam sistem Kasta pola pelestariannya dilakukan dengan menciptakan mitos-mitos yang distrukturkan dalam teks-teks seperti dalam babad-babad. Penstrukturan mitos ini berlangsung dalam pola hubungan yang tidak seimbang, yakni antara yang berkuasa dan dikuasai sehingga teks yang mengendalikan adalah teks yang dibuat oleh kelas yang berkuasa. Hal ini mengakibatkan bahwa apa yang disebutkan dalam teks tersebut menjadi seolah-olah adalah kebenaran. Dan inilah yang hingga kini menancap kuat di benak manusia-manusia Bali sehingga sistem Kasta bisa demikian lestari.
Tetapi dalam beberapa kasus, hubungan antara puri (kerajaan) dengan panjak (rakyat) juga memiliki sejarah hutang budi dimana sekelompok orang pernah ditolong nyawanya oleh raja. Penyelamatan nyawa ini mengikat panjak dan keturunannya dengan Raja yang keturunannya juga. Hal seperti inilah yang juga melanggengkan sistem kasta antara Ksatria dan Sudra. Sementara hubungan antara Brahmana dan Sudra lebih banyak karena adanya ketergantungan dalam persoalan ritual. Penguasaan teks-teks yang menjelaskan ritual hanya pada kelompok Griya (Brahmana) mengakibatkan Sudra tak memiliki banyak pengetahuan tentang pelaksanaan ritual. Hal ini dimanfaatkan kelompok Brahmana untuk menjaga ajegnya kekuasaan dan privelege mereka. Hanya saja, belakangan hal ini sudah mulai dirombak karena adanya keberanian dari beberapa soroh untuk menggunakan pemuput upacara dari soroh mereka sendiri. Misalnya soroh Pande memiliki pendetanya sendiri bukan dari kalangan Pedanda. Begitu juga Soroh Pasek dan Bujangga Waisnawa. Nah nanti kalau semua soroh (sudra) tak lagi menggunakan Pedanda, bisa jadi kekuasaan Klan Ida Bagus sebagai Kasta yang lebih tinggi dari Sudra akan runtuh.
Sama dengan relasi-relasi sosial lainnya yang terjadi dalam masyarakat, intinya adalah pada bagaimana kekuasaan itu bisa langgeng/dilestarikan, Dan sistem kasta ini akan runtuh jika terjadi pergeseran-pergeseran nilai-nilai mengenai kelompok-kelompok yang berkuasa. Menurut saya kini hanya menunggu waktu saja, bahwa akan tiba saatnya strata sosial kasta ini tak lagi memiliki nilai. Prosesnya akan berlangsung semakin cepat akibat kemajuan-kemajuan cara-cara berpikir manusia secara cepat pula. Kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu penyebabnya.
Telah 90 tahun berlalu sejak perdebatan Suryakanta vs. Bali Adnyana. Apakah sudah banyak perubahan yang terjadi? Sepertinya perlu ada riset di Balebengong mengenai hal ini *buat survey baru?*
@winata. Mengenai soroh-soroh Pande, Pasek, BW memiliki sulinggih sendiri-sendiri, itu bukan fenomena baru. Di artikel ini juga dibahas kan kejadian tahun 1928 yang melibatkan soroh Pande.
@Adi Sudewa : yang saya maksudkan, kini kesadaran untuk menggunakan sulinggih masing-masing sudah semakin meningkat. Kalau dulu kan masih sangat sedikit. Terutama dari soroh Pasek, dulu sangat banyak menggunakan Pedanda. Kini warga Pasek sudah semakin banyak yang lepas dari Pedanda dan menggunakan Pemuput dari soroh Pasek. Warga Pasek yang me-dwijati juga kini semakin banyak. Inilah kunci dari perubahan sistem kasta, ketika sebagian besar soroh Pasek nanti sudah tidak lagi menggunakan Pedanda, maka posisi Brahmana Pedanda dari soroh Ida Bagus akan berkurang pengaruhnya.
Sekarang tinggal menunggu keruntuhan dari kekuasaan artfisial dari Puri.
Saya sependapat dengan anda, tapi pengalaman saya sewaktu nenek saya meninggal, di acara pengabenan saya ingin menggunakan Empu dari dari soroh saya, namun setelah meluasang / istilahnya metakon diberas Roh Nenek saya bersikukuh harus di Puput oleh seorang Pedanda dari soroh Ida Bagus, akhirnya saya selaku keturunannya menuruti perintahnya..Nah kenken ne …
Nakonang di beras jinah belum 100% benar. Karena, maaf, ada beberapa balian yang memiliki motif politis tertentu dan pernah beberapa kali tyang amati. Seperti ada warga yang ngotot mengatakan diri soroh A berdasarkan dari hasil meluasan, tetapi kemudian setelah dibaca prasasti di pura nya mereka adalah soroh B. Jadi banyak hal yang bisa menyebabkan kekeliruan yang menahun, terutama adalah EGO. banyak yang EGO demen dadi panjak, banyak pula yang EGO demen dadi nak menak. Kasta di Bali pun akhirnya bisa langgeng karena EGO orang Bali sendiri.
Mungkin karena neneknya belum paham mengenai leluhurnya, menganggap hanya pedanda lah yang berhak muput sehingga neneknya tidak memperbolehkan penggunaan Mpu.
maaf saya sharing sedikit seperti yang sempat bapak sampaikan perihal dimana nenek yang sudah meninggal setelah meluasin tetap menginginkan pedanda sebagai pemuput, itu wajar saja roh yang baru meninggal masih kental keterikatan dengan perasaaan duniawi sehingga itu terbawa pada saat atma meninggalkan badan kasar, secara keluarga pun mau tidak mau mengabulkan permintaan terakhir almarhum, Tapi pointnya tidak ada perbedaan antara kaum brahmana maupun sudra sebagai pemuput tergantung masing – masing pribadi dari pengetahuan dalam keagaaman sejauh mana.
Masalah klasik di Bali.
Btw, kalo bule itu kastanya lbh tinggi dari orang Bali atau orang Indonesia lainnya ya? Soale ada. Teman yg lamaran kawinnya ditolak krn ‘berkasta’ rendah drps si ‘ida ayu’ pujaan hatinya. Setelah bubaran, bbrp bulan kemudian ternyata orangtuanya si ‘ida ayu’ itu menerima lamaran seorang bule.
Jadi saya berpikir simpel ajah “oh.. Ternyata bule itu kastanya lebih tinggi daripada setinggi-tingginya kasta orang Bali”
Maaf seribu maaf, mungkin ini agak menyakitkan hati buat yg membaca, tapi ini fenomena yg terjadi di Bali.
Ha,..ha,..Mas Yos Bule itu bukannya Kastanya yang lebih tinggi dari kasta setinggi-tingginya kasta orang Bali, kalau berpikir simpel hal itu cuman beda cara penulisannya ” Bule itu pada umumnya lebih tinggi Cashnya ” alias uangnya. Mungkin kalau teman mas Yos cash-nya tinggi sekaliber si bule,…lain cerita kali ya 😉
kastanya beli pake cash… kan ada td penjelasannya klo ada yg bayar buat naek kasta
100 buat yos kebe. kasta sebagai sistem adalah konyol. Merusak diri sendiri. Konyol pula mereka yang menghidupinya. hehe. Orang Bali memang banyak konyolnya. Semua orang bukan enthnis bali termasuk mereka tukang pedati,tukang selokan, penggali kubur, tukang sapu jalan, kastanya lebih tinggi dari kasta tertinggi di Bali. kwek kwek.
Kurasa kamu lebih konyol
maaf saya sharing sedikit seperti yang sempat bapak sampaikan perihal dimana nenek yang sudah meninggal setelah meluasin tetap menginginkan pedanda sebagai pemuput, itu wajar saja roh yang baru meninggal masih kental keterikatan dengan perasaaan duniawi sehingga itu terbawa pada saat atma meninggalkan badan kasar, secara keluarga pun mau tidak mau mengabulkan permintaan terakhir almarhum, Tapi pointnya tidak ada perbedaan antara kaum brahmana maupun sudra sebagai pemuput tergantung masing – masing pribadi dari pengetahuan dalam keagaaman sejauh mana.
Lah kan bule kompeni yang kasi kasta d bali. Jdi kasta bule adalah yg hakiki dan tertinggi. Wkwkwk
Klo orang bule sesama bule bilang nya “White Privilege”. Ktika kaum orang kulit hitam dibudak kalimat itu jdi snjata. Dan rasisme saat ini msih pake kalimat itu. CMIIW
Hahaha Wanita Bali jarang yang mau menikah dengan bule…bung anda harus observasi dulu sebelum beemain tebak menebak.
bagus!
Artikel yg sangat menarik, alasan keajegan budaya yg dijadikan alasan klasik utk mempertahankan silsilah kasta bagi keluarga yg mengagungkan kasta di Bali. Kadangkala ada beberapa aturan dlm pelaksanaan upacara di Bali yg harus melibatkan mereka yg berkasta lebih tinggi supaya tidak menyalahi jalannya upacara, hal ini yang membuat kita masyarakat Hindu Bali tdk berani melanggarnya apalagi ada keharusan dari leluhur kita secara turun temurun.
@winata Kalau di luar Pasek dan Pande, bagaimana? Berapa banyak sih warga Pasek dan Pande itu?
@yos kebe Kalau lamaran kawin ditolak, kan bisa ngerorod alias kawin lari. Ngerorod itu dibolehkan oleh ajaran Agama Hindu (selama suka sama suka) dan sudah banyak yang melakukan. Mungkin ada aspek lain, misalnya saja memang kepribadian si pria kurang baik, atau mungkin ortunya mikir bule pasti uangnya banyak. Jadi jangan langsung menilai dari 1 kasus, tanpa mendalami masalahnya
menurut saya sendiri, sistem wangsa pada dewasa ini hanya berlaku di adat saja, sistem wangsa juga turut serta membantu pelestarian tradisi budaya warisan leluhur, selebihnya sudah umum, seperti sesonggakan di wayang cenk blonk, ” men liu ngelah pis, nang kocong bise dadi pak ngurah, sing nglah pis ida bagus bek dadi tukang sampat’. sebaiknya sistem wangsa ini jangan dijadikan alasan untuk kita “megerengan” semua ada positif negatifnya, dan juga dijaman sekarang sistem kasta juga tidak terlalu dipikrkan, saya yang dari golongan satria saja tidak terlalu paham apa keuntungan dengan kasta ini, sekarang tergantung ayah2an kita kepada adat, nyak rajin nyak hormatinne, sing rajin nah siap2 mepuik, monto gen adi repotin, masihan jani puri sube sing ngisi pemerintahan, sing care ipidan buin,
saya tertarik dengan buku itu, dimana kah saya mendapatkan ?
sepertinya ada salah perhitungan dalam paragraph ini
Hasilnya, pada saat itu jumlah penduduk Bali sekitar 917.000. Komposisi kasta warganya adalah Brahmana 9.850 orang (1 persen), Ksatria 25.260 orang (2,7 persen), Wesia 23.450 orang (2,5 persen), dan selebihnya adalah Sudra (sekitar 9,4 persen).
Jika seandaianya sudra terdapat 86198 orang maka akan ada sisa 772242 orang yang tidak ada kasta. Sisanya ini apa yah ?
coba cari di kwitang guh, kl nggak cari di pasar meranggi..:P
@Dewa Ari Yudha : BeTul Itu….
@Adi Sudewa : Kalau diluar pasek, pande dan Bujangga Waisnawa punya juga pemuput masing-masing. Dari ksatria ada yang disebut Bhagawan (kalau tidak salah). Nah masalahnya dimasa lalu, terutama soroh pasek kan banyak yang mesisya ke Gria Pedanda. Mungkin bagian dari kebijakan zaman kerajaan Dalem Waturenggong.
Kalau dilihat jumlahnya aya yakin soroh pasek, pande dan bujangga waisnawa itu besar sekali. bisa jadi hampir 90 persen umat hindu di Bali. Pernah ada cerita soal penguasa di Bali dulu adalah dari soroh pasek.
Bhujangga itu kasta brahmana tri sadhaka,,,, pura brahmana bhujangga waisnawa di Besakih
Kasta tersebut tidak perlu di ributkan lagi di jaman ini, kalau didiskusikan okelah, coba lihat di hotel banyak karyawannya dengan nama agung, gusti, ida bagus.. Saat ini yang berkuasa adalah yang punya uang. Semua sudah bisa jadi Bupati, Guberur. Jadi sudah tidak bedanya. Kalau kalangan keluarga tertentu tetap mempertahankan kasta tentunya berlaku pada keluarga tersebut, kalau warga lain mengakui ya sudah, kalau ada warga yg tidak mengakui tidak apa-apa.
Jujur, ini mrpkn tulisan pertama tentang kasta yg saya baca. Mungkin karena ketresediaan informasinya/mmg saya yg kurang termotivasi untuk mncari tulisan2 mngnai kasta. Biasanya hanya mndapat informasi turun temurun yg mungkin orang tua sndiri tidak tau darimna informasi itu. Saya yg hdup d rantau kerap kesusahan mnjawab prtanyaan dri tman yg ingin tau,mmg bingung mnjawab harus bilang kasta sdh tdk jd acuan lgi/msih ad yg memiliki alasan untuk menjadikannya acuan dalam berkehidupan. Saya dalam diri sendiri juga bingung harus mnjwab apa,banyak alasan yg dapat saya pikirkan mengenai permasalahan ini, di satu sisi saya mnganggap kasta sudah tdk terlalu pntinglah dalam hidup ini,tapi disisi lain saya memiliki rasa berbeda (mungkin karena ligkungan) trhadap konteks kasta ini,misalnya mengenai percintaan/perkawinan beda kasta tsb. Saya lebih memilih untuk tidak menjadikan kasta ini sebuah problema selama tidak ad hal yg brtentangan/yg mengganggu dgn jalan hidup saya skrg.
Kesalah Pahaman tentang Kasta ini,, sudah berlangsung sejak dulu kala dimana India pun masih menggunakannya. Saya sependapat dgn buku tsb kita mesti kritis dalam menghadapi zaman yang gonjang ganjing ini. Banyak orang yg membicarakan tentang KASTA ini baik umat kita maupun umat laen di forum forum. Sehingga di keluarkannya lah BISAMA tentang Kasta oleh PHDI tapi hingga sekarang masih menjadi pertentangan yang sangat ruwet di BALI karena hal tsb menyangkut sistem politik kaum KASTA yang masih memanfaatkannya , blm lagi pihak pihak yg ingin mengkonversi dgn memanfaatkan kasta tsb dan masih banyak lagi aspek laennya. Jadi Sebanarnya cukup CATUR WARNA sesuai Weda lah yang benar, Bukan KASTA. ini juga menjadi artikel di blog saya dgn judul FATWA MENGIKIS KASTA http://kebangkitan-hindu.blogspot.com/2010/10/fatwa-mengikis-kasta_05.html silakan anda baca sendiri. thanks
saya pikir hal ini tidak perlu permasalahkan, biarkan saja mengalir dengan faham kekinian. kalo diperdebatkan kan sudah dari dahulu kala, klan, soroh akan tetap ada selama orang bali masih mendiami pulau ini, ambil positifnya saja…..Shanti
zaman setiap saat berubah dan setiap saat juga generasi berganti, bali pada saat sebelum mojopahit memang seperti tulisan diatas, gelar2 hanya disematkan pada sang raja/ ratu seperti lazimnya di jawa/ nusantara dengan nama2 sangat indah, kemudian zaman berganti saat masuknya mojopahit, apakah itu langsung berubah begitu saja nama2 mereka selain nama Dalem yang disematkan pada raja? sejarah terus bergulir, temuan2 dan penulisan2 babad sangat banyak setelah itu yang membuat alur sejarah semakin sulit terdeteksi, bahkan muncul kemudian saat belanda dengan melangengkan gelar2 tersebut, dan puncaknya saat Eka Dasa Ludra dimana banyak orang kelimpungan cari asal usulnya untuk upacar ngabennya, zaman terus berubah semoga perubahan yang terjadi adalah perubahan yang semakin positif untuk bali ini…..rahayu
Sudahlah, sebaiknya tentang kasta ini sudah tidak perlu di ributkan lagi, yang penting kita sudah tau dari mana asal usulnya, sekarang dr kebijakan kita sendiri menyikapinya bagaimana, lebih baik saling paras paros asah asih untuk tetap menjaga tanah Bali ini, agar anak cucu kita nanti masih bisa menikmati Bali yang Bali, bukan Bali yang Jakarta
Masalah kasta sudah tidak perlu diributkan. Akan sama halnya dengan meributkan masalah agama. Yang harus dicermati adalah kasta dan wangsa adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan itu indah, seperti keindahan Pura Besakih yang terdiri dari beberapa Pedharman karena umatnya/pemedek yang terdiri dari beberapa wangsa/sorohan lantas apa ini dipermasalahkan juga? Yang terbaik adalah bagaimana kita hidup rukun dan menjaga hindu tetap sebagai agama yang cinta damai. Kalo disebutkan bahwa di jawa tidak mengenal kasta adalah salah besar. Di jawa juga mengenal golongan ningrat, ini adalah sistem kasta dengan nama yang berbeda. Kasta sudah ada dari jaman dahulu. Sementara wangsa adalah penamaan berdasarkan garis keturunan, sama sekali bukan untuk melanggengkan istilah kasta. Bisakah seseorang sebelum lahir memilih untuk lahir di keluarga yang beragama A kemudian dengan nama keluarga dari keturunan B? Kelahiran seseorang akan otomatis mengikuti tradisi di keluarga tersebut baik secara agama maupun penamaan. sementara kalau kasta itu adalah penyebutan gelar berdasaran pekerjaan. Jadi meskipun sudra apabila beliau sdh melaksanakan upacara mediksa, dan diberi kemampuan serta mampu untuk memuput upakara, maka brahmanalah sebutan beliau. Maaf sebelumnya apabila ada salah kata & komentar.
yah………… ini lagi dibahas………. sama dengan mengelupaskan kulit kita masing-masing……. ada yang mau ga….??
klo kasta di bahas saya rasa ga bakalan ketemu ujung pangkalnya sampai kapan pun,,,,kompleks masalahnya.yang namanya strata sosial jaman sekarang ga cm diliat dari keturunan.meskipun terlahir dari orang biasa(klo di bali istilahnya jaba) tpi disisi lain dia memiliki kebihan misalnya dari segi ekonomi dia pasti akan dihormati minimal orang dsekitarnya apalagi orangnya dermawan.atau mungkin memiliki kedudukan yang cukup tinggi di pemerintahan secara otomatis dia akan dihormati.sekarang kembali ke pribadi masing2.selama bisa menjaga sikap baik tutur kata maupun perbuatan saya rasa dia akan menjadi manusia mulia yang dengan sendirinya akan dihormati oleh masyarakat.kasta memang sensitif di bali.tapi bagi saya yang bersifat netral lebih elok disebut warna.karena menganggap diri lebih tinggi dari orang lain dijaman sekarang kesannya angkuh dan sombong plus rentan meremehkan orang lain.yang namanya orang diremehkan pasti akan merasa tidak nyaman.mending sama2 menghormati satu sama lain terlepas apapun yang tertempel di depan nama kita.salam,,,,,,
menurut saya kasta itu ada 2 yaitu kasta jaman kerajaan dan kasta jaman pemerintahan sekarang,,,trus di jaman apakah sekarang kita hidup ???di jaman pemerintahan kan ! maka kasta jaman sekaranglah yg kita junjung…semua manusia itu di mata tuhan sama yg membedakan kita hanya amal dan dosa kita,,,,jika kita di surga atau neraka apakah di bedakan kasta ini atau itu, orang bule,orang negro,orang bali,orang jawa,orang hindu,budha,islam,orang ini orang itu kita semua sederajat,,,jangan pernah bangga punya kasta tinggi tapi banggalah jika kita tidak di lahirkan kembali karena jika kita masih di lahirkan kembali berarti kita masih punya hutang di akhirat yg belum kita bayar,,, jadi kembali ke kasta,,kasta itu hanya sebuah nama,jangan bangga punya kasta hebat karena di mata TUHAN kita itu sama….banggalah jadi orang biasa karena menjadi orang biasa itu susah….salam damai dari krisna putra sentana dalem tarukan
Ga usah di permasalahkan, nama dalam kasta itu anggap saja seperti nama marga (keturunan). Semisal rekan kita yang bermarga sitanggang, simorangkir dan lainnya, tentu tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. tetapi yang ada adalah menggunakan nama marga (mungkin di bali itu soroh) karena ingat akan leluhur. bukan para meter tinggi rendahnya derajat.
@ketut June (comment #1): benar sekali, Anak Agung, I Dewa Agung atau sering disingkat Dwagung serta cokorda adalah gelar untuk sebuah jabatan dan sebenarnya tidak bisa di turunkan. Seperti yang di Tabanan waktu lalu, dimana ada penobatan raja, maka dari I Gusti Ngurah menjadi Cokorda , dan gelar cokorda itu ya ga bisa di turukan. Anak-anak beliau tetap saja memakai nama Gusti.
Tetapi semoga semua jangan sampai menimbulkan gap. Dan kita semua adalah sama di mata Tuhan.
mari kita brpikir positip trhdp kasta…..jgn langsung brpikir kalau kasta itu adalah pemisah antara yg brkasta tinggi dn rendah… bukan berarti baru kita punya kasta tinggi kita bisa mnghina2 atau mnjeklekkan yg brkasta rndah/sudra….tapi bagaimana kasta ini menjadikan kita untuk bisa menghargai org lain……
dn untuk jaman yg sudah modern ini sya ykin org bali sudah pahamlah….yg dilihat bukan kasta…tapi karakternya org itu……
jadi kasta hanya sebuah warisan budaya yg harus kita ambil sisi positipnya…..
Gek Gek Sur Mepalu Gek Gek Sur mapalu,
anak bali mekerah ngajak peturu nyama bali, cara bangkung mapalu ngomongin ane tusing perlu, jaman ene bakal ngerubah tusing je manusane ,eda ensap teken anak dura bali, suba liunang iya dini ngisiang perekonomiane, buktine sebilang hari raya selamne baline sepi.
Yan suba peturu anak bali jeg me iyegan dogen suba gaene, yan ngajak anak luar bali sing suba bani ngelawan. masalah kasta kone uyutanga apa bakal maan ? lenan teken maan musuh.. peturu bali.., apa sebenarne kasta ento..? apa beda anak jawa ane meadan Raden Mas.. apa kastane to.., di makasar ada madan Baso, Andi..Apa Kastane To..di Lombok ada madan Lalu..apa kastane to..? di Bali ada Gusti, Ida Bagus, Anak Agung..Cok, Wayan.. ? apa bedane ngajak anak di di luar bali ? dibali sing ada kasta, ane ada keturunan…sing ada di kitab weda nama Gusti dll adalah kasta Kesatria… hai anak bali ngajak mekejang.. apa nawang nah..iraga ene sujatine aduk ngajak anak luar bali apang nyak meiyegan …peturu nyama bali, dimunculkanlah HINDU MENGANUT SISTEM KASTA
SADARLAH WAHAI ORANG BALI, DAERAHMU KINI BUKAN MILIKMU LAGI, BUKA MATA ..KALIAN..LIHAT DISEKELILINGMU..JANGAN MERIBUTKAN HAL YANG TIDAK PERLU BIARLAH WAKTU YANG AKAN MERUBAH
Om Swastyastu sameton sinamian.. semua sikap kritis adalah baik. tetapi perlu kita beri perhatian yg lebih baik dari sekedar baik, yakni di atas kritis ada yg sering kita dengar dgn istilah ‘kebijaksanaan’. kita di wilayah timur, banyak sesuatu yg ‘basah’, dan saya pikir hal itu tidak usah ‘dikeringkan’ sebagaimana kepentingan episteme (pengetahuan) dan (logy) ilmu, ilmu pengetahuan (epistemologi). bise ajak dadi e niki lianan (berbeda). walaupun (mungkin) ada yg merasa penuh pengetahuan tentang teks-konteks kasta, catur warna, kita depositokan saja sebagai inventarisasi budaya, tidak untuk di hapus atau delete. keanekaragaman yg tunggal kan (?) bagaimana kita mengatakan hanya satu jenis atau kelompok lebih unggul dari kelompok lain, sedangkan ia satu genesis. kalau boleh saya analogikan, katakanlah kasta, catur warna adalah varian vitamin A, B, C, dst. tubuh membutuhkan semua vitamin itu. pertanyaannya, apakah vitamin C dan D dapat kita ganti dengan asupan vitamin A saja, atau variable lainnya yg tunggal? mari berefleksi. saya harap dan harapan ini (boleh jadi) merupakan harapan kita semua, semoga kita tetap damai dalam satu tujuan bhwa kembali pada ‘Hyang Tunggal’. Om Santhi Santhi Santhi Om.
Ternyata….terlalu banyak orang bali yang bangga dengan gelar hina yang diberikan oleh permerintah lkolonial belanda…..mana rasa nasionalisme mu?….
Biarkan orang/kelompok yg masih ego dengan gelar/kastanya. Kalau mau jujur, ditengah jaman global dan serba susah sekarang ini, kasta adalah beban bagi yang empunya. Cobalah perhatikan dan amati. Di satu Banjar, atau Desa Pekraman amati perkembangan ekonomi warganya, demikian juga pendidikan warganya. Kalau masih ego dgn kasta, bahkan ada ditataran tertinggi seperti Ida Bagus/Ida Ayu (brahmana inipun masih salah kaprah) yg kebetulan susah secara ekonomi, an rendah dalam pendidikan, apa yg bisa dibanggakan. Masih elok nggak kalau yg kita mintai petunjuk hanya tamat SD. Belum lgi dari sifat dan karakter yg punya kasta seperti ini, yg kebetulan (oknum) gak petut ditiru dan dicontoh. Makanya sekarang di lingkungan pedesaan ada istilah “nyampahan dewek” yg artinya hanya berat di kasta, tetapi nol di pengetahuan dan prilaku. Maaf ini hanya kasus, gak mewakili selurhnya, suksema.
pengalaman saya dikehidupan sehari-hari, yang membuat sistem kasta tersebut masih sangat kuat dibali adalah masyarakat “biasa” atau kebanyakan yang secara tidak langsung memberi andil yang cukup signifikan untuk “mempertahankan” sistem kasta tersebut terutama pada masyarakat generasi tua contoh setiap saya berbicara dengan masyarakat terutama dari generasi tua pasti yang ditanyakan dulu kita ini berkasta apa katanya biar tidak ada salah ucap atau salah kata dan jika kita mengatakan bahwa kita adalah dari kasta tertentu..bim salabim bahasa orang tersebut akan berubah ke yang lebih halus dan seperti hormat pada kita. mohon maaf ini hanya pengalaman pribadi.
Salam hormat Pak Muhajir, anda punya perhatian besar terhadap sejarah budaya Nusantara. Saya sangat prihatin terhadap komentar-komentar yang muncul. Kebanyakan mereka sepertinya apatis terhadap sejarah dirinya sendiri, dan mungkin juga terhadap pengetahuan tentang dirinya sendiri. Kepribadian yang semacam inilah yang menyebabkan penguasa ( raja/eksekutif ) bebas berbuat apa saja hanya karena “entitle to … “, tak usah dibahas, yang penting paras-paros, …. Inilah penyebab utama dari kemunduran sebuah peradaban. Bayangkan saja kalau setiap orang Bali tahu sejarah terjadinya ngaben, sejarah terjadinya pemujaan dewa-dewa, sejarah terjadinya potong gigi, sejarah terjadinya mecaru dan sebagainya, mungkin provinsi Bali adalah daerah terkaya di dunia dalam pengertian spiritual dan material. Saya kira demikian juga dengan warga lain di Nusantara ini. Jika mereka membuat inquiry kepada dirinya dalam ruang dan waktu, dan mendapat jawaban yang universal, maka Indonesia adalah negara bangsa terkuat di dunia, karena intetektual + sumber daya/alam melimpah + management nasionalistis = dignity Indonesia
Pak Made Terima, bisa share sumber mengenai, sejarah terjadinya ngaben, sejarah terjadinya pemujaan dewa-dewa, sejarah terjadinya potong gigi, sejarah terjadinya mecaru dan sebagainya, yang bisa dimengerti orang awam sperti saya?
selamat sore bapak, saya mau bertanya Apa penyebab maraknya kasus pergantian nama keluarga misal dr i putu menjadi i gusti di bali.??
Di kaitkan dengan stratifikasi sosial dan mobilitas sosial.???
saya mohon penjelasannya ..
Anda orang jawa, tau apa anda soal sejarah, adat, budaya dan sosial dulu di bali? Tulisan anda juga rada2 meninggikan pulau kelahiran anda. Tulisan gak mutu, gak guna, dan gk mendidik
Saya orang Bali minta maaf kepada pembaca yang terhormat atas komentar MADE BALI, percayalah ini mungkin hanya satu-satunya orang yang tidak menghargai informasi. Kami orang Bali sudah mulai menyadari khasanah informasi itu sangat penting agar kita tidak gugon tuon, mula keto seperti di masa lampau sehingga mudah untuk dijajah bangsa lain.
Sdikit googling di internet.. Krn sy mnikah dgn org bali dan dari fam pasek.. Yg sy bingung adalah org yg dr fam pande,gusti dll ini tdk boleh makan lungsuran dr rmh kami.. Dan kami hrs brbahasa halus hahaha maaf bkn sy mnyingung tp jd aneh u/ sy mmgny yg dismbah atau dipuja mrka beda Tuhan.. Trkdg sy liat lungsuran kami lbih enak dr mrka *peace.. Ad tman brnama dewa dia jauh lbih kcil umurny tp panggil sy sj nama hahaha klo sy hrs halus” aneh jdny ky dia nyonya sy babu.. Jd sy bicara biasa sj apalagi dia pakai bhs kasar” oops sorry.. Menurut sy mrk yg makan lungsuran org lain g akan mati, dan anak kecil hrs brbahasa halus n baik kpd org yg lbih tua itu baru benar bkn diliat dr kasta.. Sy jg ada org gusti berdagang krn sy tdk tau dia org brkasta sy panggil bli dia marah dia bilg sy gusti sy bilag pakai plang gede” dimuka tulis nama ny Gusti dong hahaha mau diangkat” n dihalusin tp jualan brrti you kasta nyerot bego..
mohon maaf sebelumnya. bukan berarti kami fanatik terhadap masalah lungsuran tersebut. tapi bagi saya pribadi dan pengalaman dari orangtua bahkan niang ratu peranda saya tidak memperbolehkan saya meminta lungsuran. biang saya dari pasek dan menikah dengan ajik saya. ketika saya ingin menghilangkan perasaan fanatik saya terhadap teman saya yang berada di daerah rumah biang saya waktu muda dan belum menjadi jero, saya diberi lungsuran tersebut dan saya tidak berani menolak. keesokan harinya saya langsung sakit selama 3 minggu lamanya. saya tidak bilang sama biang saya kalau saya pernah meminta lungsuran dari sanggha teman saya. sudah 3 minggu tersebut saya bilang ke biang saya begitu kejadiannya, biang saya marah dan langsung dimintakan tirta ke griya niang ratu peranda. akhirnya saya sembuh. tidak lama setelah sakit saya itu, saya kan dapat sekolah di sekolah berasrama. teman saya tidak tau masalah saya dayu atau siapa, saya dipaksa untuk ikut makan-makan dengan teman saya itu. setelah saya selesai makan saya baru ingat untuk bertanya itu lungsuran atau sukla?. katanya lungsuran dari sanggahnya. akhirnya saya sakit lagi dan saya tidak bisa ikut lomba PORKAB untuk cabang atletik pada saat itu.. kemudian biang saya marah dan langsung membawakan saya tirta dari rumah ke sekolah (asrama). sampai sekarang saya kapok lagi untuk minta lungsuran teman karena saya takut tidak bisa ikut lomba lagi.
Intiny.. All for comment.. Tdk ada mninggikan siapa dan smua krn sejarah.. Gusti, AA, Dewa,Pande, Pasek dll itu smua berawal u/ bercerita.. Kisahh ” indah.. Bkn u/ mnyakiti, mnghina, mnyindir, dan memalukan.. Rubah gaya pikir, dan hidup lbih mnghargai, tdk ad perbedaan dimata Tuhan smua sam*.. Buku ini ada hanya u/ mmperjelas bkn mmperkeruh.. Skrg biar Ida Shang Hyang Widi Wasa yg mnunjukan jalan kpd kita..
Kata orang, sistem kasta di Bali itu adalah hasil konspirasi berantai dari Gajah Mada-Nirartha-Waturenggong, sebagai strategi untuk menjatuhkan Bhujangga Weisnawa dan Bali Kuno/Bali Aga, bahkan sekaligus untuk membumihanguskan keturunan Mpu Tantular. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan situasi tersebut untuk menghancurkan semuanya, termasuk tatanan sosial.
Apabila ditarik jauh ke belakang, sistem kasta di dunia ini justru dikembangkan dan dipropagandakan oleh salah satu sekte agama Yahudi melalui agen-agennya yang tersebar di beberapa negara jajahan. Kata orang sih … 🙂
Setelah saya membaca artikel ini, semakin jelas bagi saya bagaimana kasta, soroh ataupun klan. Saya sangat senang mempelajari Budaya Bali. Jadi saya berpendapat Budaya Bali yang adi luhung dan membuat kehidupan bermasyarakat yang lebih baik perlu jita lestarikan. Misalnya: seni tabuh, seni tari, dll. Tapi jika budaya ataupun warisan orangtua apalagi warisan penjajah Belanda yang mengkotak kotakkan kita dengan istilah kasta, yang bisa memecah belah kita sebaiknya ditinggalkan.
Harga diri seseorang tidak ditentukan oleh keturunan ataupun hanya embel embel nama, melainkan karena tingkah laku dan prestasinya.
Mari kita hidup secara bersama, saling menghargai. Semua soroh sama, tidak ada soroh yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.
kadek menikah dengan kadek ? apakah panes? rezeki macet?
Ternyata seperti itu ya ceritanya.
Thanks.
saya pernah dihina karena namaku gusti dan pernah juga saya dihormati karena nama gusti, guru ku ida bagus oka mengajarkan jika engkau berkasta dan ingin bergaul maka simpan kastamu di rumah, dan saya lakukan dengan berkenalan namaku hanya made tetapi apa yang saya dapat malah seorang golongan pande berkata kepada saya, jika kamu tidak mengakui nama gusti itu maka kamu telah menghina leluhurmu, jadi menurut kalian saya seorang gusti harus hapus nama gusti dan menggantinya menjadi made saja secara tidak langsung kalian menyuruh saya untuk menghina leluhur sendiri. saya sedih membaca semua ini, bagiku nama gusti hanya sebutan keluarga besar saja tidak lebih. ainggih asapunike semeton sareng sami sampunan iwang mepikayun tiang nunas iwang santukan tiang kari alit.
Saya berasal dar trah Arya, nama depan saya I Gusti Ayu. Saya salah satu penentang kasta dalam kehidupan sosial masyarakat Bali karena menurut saya pribadi, kasta sangat bertentangan dengan HAM. Menurut saya martabat seseorang tidak sepenuhnya dapat diukur dengan kasta. Saya berharap kedepannya masyarakat Bali lebih logis dalam menghadapi masalah kasta, toh di kasta mana kita lahir itu hanya kebetulan duniawi, bukan merupakan ketentuan ilahi. Salam Shanti
biarkan saja waktu yang menjawab, moga2 saja jawabannya yang terbaik untuk kita semua
Pada kenyataannya justru mayoritas trah Arya tdk menggunakan gelar nya, spt di desa saya ada bnyk sekali trah Arya spt Arya belog, Kanuruhan,Pinatih,Jelantik,Dauh,Kebon Tubuh,Sidemen dll.. saya dari trah Arya juga, saya sendiri juga tdk paham mengapa tdk semua Arya bergelar, tetapi saya bangga dgn mjd kalangan non kasta karena bagi saya leluhur telah berkorban sedemikian besar demi kelangsungan keturunannya dan demi menjalankan ajaran Weda yg sebenarnya..
Om swatyastu’
Udh jngan sling menyalahkan menut sy smua kasta itu sma aja mw ida bgus. Mw cokorda .gusti dewa ngakan made smuanya sma aja skarang trgantung yg bw kasta trsebut klo si IB prilaku budi pekertinya bruk sma aja sperti orang yg tak pantas mndpat kasta trsbut. Bgtupun sbaliknya. Trgantung yg bwa kastanya. Klo dy yg sudra bs brbudi pekerti yg baik.ntkan si kasta tinggi jd malu sndri.bgtu baiknya qt sndri yg menilai. Jika kasta sudra meski bhasa halus sma ksta di atas itukan nilai plus bwt anda.justru anda jd lbih mahir. Ambil positifnya aja. Ato jngan2 si yg berkasta tinggi ga bs bahasa halus.malu banget jdnya. Bs nilai sendri .Suksma
Om satih santih santih om
Om Swastiastu .. Sinampura dumun Semeton sinamian , sebelum saling nmembenarkan argumen masing masing , coba deh baca babad trah masing masing dumun , pasti tau jawabannya …Untuk lebih jelasnya bisa dibaca beberapa Babad yaitu Babad Pasek,Babad Sidimantra tatwa (manik angkeran) Babad Bendesa Mas, Babad Arya, Babad Pande, Tirta Harum dll akan diketahui jelas hubungan antara trah diBali,,kalau dpt memahaminya tak ada satupun merasa dirinya trah paling tinggi krn semuanya bersumber pada Sang Pasupati.
Ampure untuk semua pembicara ….. Memang untuk mencari masalah kasta tidak akan pernah ketemu, Tapi biasanya yang mempeributkan masalah kasta ini orang – orang yang tidak berkasta mungkin iri or pingin punya kasta juga.. coba orang yang mengorek masalah kasta ini berkasta pasti tidak ada masalah. Menurut ttyang sebagai generasi bali untuk apa masalah kasta diributkan di jaman sekarang ini. Coba amun tidak ada istilah dibilang kasta . Contoh KASTA ring BALI mengajarkan semeton BALI tentang metata krama mana yang patut diajak mebasa sor singgih dan mana mebasa kasar alus. Coba semeton nak bali mangkin bicara kasar dengan orang tua yang melahirkan raga dengan bahasa ci, nani, icang yang jelas kasar bagaiman wajar tidak. selanjutnya destar ditaruh dibawah sepatu diatas bagaimana wajar ten. Masih makeh contoh2 yang lain care rage sami langkain jemuan….. len cara nak jawa ane beduur dadi beten ane beten dados beduur free ane dilakukan. Maka dari itu KASTA bukan saja menggambarkan suatu orng BESAR niki juga mengajarkan TATA KRAMA kehidupan sehari hari. Amun ajk yg lebih TUA berbicara sor singgih dasar. dengan sejajajr dan lebih kecil kasar halus. Intinya tergantung raga doen amun mau di hormati cara anak ane berKASTA jaman sekarang kenken prilaku raga dilingkungan dije ye ragane meneng …. Nyak nak BerKASTA or ING tergantung tingkah laku doen ….. Pang KASTA gede or CENIK amun jele bahsa ajak kelakuane tuun drajatne amun melah menek drajatne ……… Adi ane kene kene uyutin ……… Yang penting KASTA ing KASTA SEMETON HINDU BALI tetap menyatu …… De ajak nyame saling tusuk mare nak non BALI agungen ye sing menyame adane ento. KONE LAKAR AJEG BALI DIJANE AJEG BALI ………… AMUN BERDEBAT MASALAH KASTA DOEN AMUN ADE ANE TERSINGGUNG NE NGALIH MUSUH NGADUANG NAK BALI. SELEGANG RAGANE ADUNGANG RAGANE DADI NAK BALI……. SUKSMA ASTUNGKARE
Saya hanya menyimak saja artikel yg anda tulis,saya hanya komentar kalo artikel anda kontrofersi
To: penulis, kalo boleh saya tertarik dengan draft buku dari pak kerepun, bisa sya minta tolong di fotokopikan??
Trimakasihh
OSA,tulisan yang bagus,,
tapi hal yang seperti ini jika dibahas tidak akan ada habisnya.
saya sendiri seorang “cokorda” dan nama tersebut saya dapat dari ayah saya. Namun dengan cokorda yang saya miliki bukan berarti saya mengagungkan diri sendiri dan menganggap diri berbeda dengan teman yang lain,,
karena pada kenyataannya ini hanyalah sebuah nama,buktinya,Bali kini dipimpin oleh seorang sudra yang sangat tegas,berpengalaman,dan inovatif. Jadi saya sebagai cokorda jika bertemu pimpinan Bali yg sudra akan tetap menundukan kepala,,saya menghormati beliau,saya menghormati kemampuan,ilmu dan wawasan beliau,,dibanding beliau jelas saya bukan apa,,jadi saya yang harus menundukan kepala,
Intinya jaman sekarang kasta sudah tidak relevan lagi,,melestarikan boleh,tapi jangan fanatik,,
Kejarlah ilmu setinggi2nya,bersikaplah sebaik2nya,sehingga apapun garis keturunanmu akan dihormati dan dihargai dimasyarakat.
OM SHANTI 3X OM
Sinampura sebelumnya, Menurut pengetahuan tyang tata kehidupan di Bali kini, terbagi ke dalam dua kategori, yaitu bagian “Adat” dan “Dinas”. Kalau untuk masalah “dinas” tyang rasa sistem kasta tidak berpengaruh pentig di dalamnya. Sedangkan kalau sistem adat yang menyakut tetntang budaya atau kultur sistem kasta setidaknya masih bberpengaruh dalam upacara yadnya. Kalau dengan masalah Kasta yang berlaku di masyarakat secara adat yang terjadi di era saat ini adalah yang rajin ngayah dan berkerama dengan masyarakat secara baik maka ia dengan sendirinya akan dihormati.
Kita selaku masyarakat Bali hendaknya janganlah terlalu berbangga diri dengan kasta. Karena ada istilah “Yensing ada nak cenik kenkenang ngorahang ada nak kelih atau nak gede”. Yang jelas kita ada karena pengaruh dari orang lain. Kalau masalah paridan atau lungsuran, tyang rasa hal itu hendaknya kita sikapi dengan cara kekeluargaan. Apabila kita mempersembahkan sesuatu kepada leluhur kita maka hendaknya kita memberikan paridan tersebut kepada sesama saudara atau kerabat serta keluarga kita. Hal itu terjadi karena kita memberikan persembahan ke leluhur kita maka leluhur kita akan memberikan berkatnya kepada “sentananya” bukan kepada yang lainnya. Akan tetapi jika kita mempersembahkan kepada Tuhan (Ida Shang hyang Widhi Wasa) yaparidan atau surudannya itu bisa dinikmati oleh semua warga dari seluruh lapisan masyarakat.
Om Swastyastu,menurut saya semua yang komentar itu bagus karena setiap orang berhak berpendapat,dan dari rangkuman komentar di atas saya sebagai orang bali yang tinggal di jawa berpendapat bahwa sudah seharusnya kita bersatu tanpa merasa ada yang lebih tinggi kastanya karena penilaian orang berdasarkan tingkah lakunya,pendidikan dan ekonominya,jadi jika ingin kita di hormati /di hargai maka kita harus berubah yang lebih baik tentang ketiga hal tersebut,jangan selalu saling jegal sesama nyame bali,lihatlah apa yang terjadi sekarang,orang selalu mendengungkan ajeg bali dan akibatnya apa ?banyak agama lain sudah menyerupai hindu bali?menurut saya harusnya ajeg hindu di dengungkan agar adat istiadat bali tetap ada,ya tentunya adat istiadat yang luwes dan bisa mengikuti perkembangan jaman(maaf keluar jalur ) hal ini saya utarakan karena sedih mendengar jika di bali masih selalu ribut tentang kasta,padahal tanpa di sadari bali sekarang sudah banyak diserang dari berbagai bidang oleh luar bali,terus kenapa sepertinya diam saja ?orang bali di jawa kl mau buat tempat sembahyang saja sangat rumit ijinya,walaupun ijin ada namun kadang ada penolakan dari masyarakat sekitar,dan ini sangat terbalik dengan di bali yang selalu menjunjung tinggi toleransi,nah kalau seperti ini terjadi apa yang harus diperbuat?kadang saya amati kita orang bali terlalu baik ke pendatang yang tentunya membawa misi tertentu,namun sesama nyama bali selalu berantem hal sepele,ayo ajeg hindu,dan selamatkan hindu bali dari rongrongan pendatang luar bali,jangan bangga sebagai mayoritas di bali jika kita tidak bisa menjaganya,ampure nggih jika ada kalimat yang tidak berkenan,karena ini keluhan pribadi,om santi santi santi
Menurut saya yg penting kita tahu sejarah nusantara sebagai jati diri yg sesungguhnya, leluhur kita bersaudara serta berkeyakinan yang sama dan keyakinan itulah yang harus dipertahankan sebagai masyarakat nusantara, bukan dari keyakinan para penjajah yang telah mengerogoti kita dgn cara licik maupun kejam. Intinya saya bangga msh memeluk keyakinan leluhur nusantara. Peace
Kita telah, sedang, akan selalu berjalan dalam kegelapan sepanjang kita tidak menerapkan ajaran dharma (veda). Adakah parisada dan atau para cendekiawan mau dan mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar benang kusut secara berangsur dapat lurus kembali…………….. astungkara
Artikel yg menarik sekali, berbicara kasta pada dasarnya di kluarga / klan kami, tidak mengenal kasta, knp? Krn leluhur kami pun sudah ada jauh lebih dulu sblm kasta itu ada/ lahir.
Terkadang saya heran, saat teman-teman saya bertanya ” apa kasta mu?”
Saya hanya mnjawab.. ” tidak ada!, kami netral dari dulu tanpa kasta, di bilang berkasta bisa iya, di bilng tidak pun juga iya. Para pendahulu/ leluhur kami adalah klan brahmana, krn turun temurun kegiatan klan kami adalah sbgi pendeta, tapi kami tidk mengangap itu kasta.”
Benang kusut mengenai kasta shrusnya di sobiyahkan/ sosialisasikan ke masyarakat bali khususnya, nusantara pada umumnya agar keslhpahamn tentang kasta di bali bisa terselesaikan.
Saya salut, Anda berjiwa besar
Hendaknya keberadaan kasta di bali perlu untuk dijelaska guna menefis dan meminimalisir kesenjangan diantara para anak-anak Hamba ISHWW, sebab semua insan manusia di tubuhnya ada percikan kecil beliau (atman) dan dijiwai oleh jiwatman, maka sekali meremehkan seseorang itu berarti meremehkan Tuhan yg maha ada
Ape gunane ade bhs bali alus??
Hapuskan bahasa bali alus!!!
Setelah itu.. juang susukne makejang!!
De ngajakin timpal. De mengaruhin timpal. Gae luwunge didian. Anggo didian.
OSA, tidak semua orang beranggapan sama dengan pendapat anda. silahkan semua mengintrospeksi diri masing-masing sebelum anda mengkritik orang lain. saya sebagai keturunan orang bali akan mengikuti alur, budaya, dan nasehat orang tua saya yang sudah lebih dulu yang mengenal bali. ikuti saja arusnya. toh juga gak ada yang saling menjelekkan predikat nama anda semua. sepertinya itu hanya nama untuk memberagamkan budaya bali. akan tetapi, walaupun sistem ini sudah difleksibelkan, dalam artian semua orang itu sama, janganlah saling menjatuhkan sesama orang bali. jika memang benar benar anda orang bali, maka hargailah budaya leluhur anda yang sudah mendirikan budaya yang sudah susah payah membangun bali yang lestari. orang bali saja masih konflik dengan masalah ini. bagaimana orang luar bali bisa menggurui orang bali? niang Ratu Peranda saya saja mengajari saya dengan budaya bali yang sudah mengakar ini kepada saya. hasilnya baik-baik saja. interaksi antara diri masing-masing orang bisa baik jika budaya dan predikat yang diturunkan oleh leluhur kita kita gunakan dengan bijak. suksma.
OSA, tidak semua orang beranggapan sama dengan pendapat anda. silahkan semua mengintrospeksi diri masing-masing sebelum anda mengkritik orang lain. saya sebagai keturunan orang bali akan mengikuti alur, budaya, dan nasehat orang tua saya yang sudah lebih dulu yang mengenal bali. ikuti saja arusnya. toh juga gak ada yang saling menjelekkan predikat nama anda semua. sepertinya itu hanya nama untuk memberagamkan budaya bali. akan tetapi, walaupun sistem ini sudah difleksibelkan, dalam artian semua orang itu sama, janganlah saling menjatuhkan sesama orang bali. jika memang benar benar anda orang bali, maka hargailah budaya leluhur anda yang sudah mendirikan budaya yang sudah susah payah membangun bali yang lestari. orang bali saja masih konflik dengan masalah ini. bagaimana orang luar bali bisa menggurui orang bali? niang Ratu Peranda saya saja mengajari saya dengan budaya bali yang sudah mengakar ini kepada saya. hasilnya baik-baik saja. interaksi antara diri masing-masing orang bisa baik jika budaya dan predikat yang diturunkan oleh leluhur kita kita gunakan dengan bijak. mari kita wujudkan Bali yang Mandara. suksma.
Saya jadi teringat pada pertenganhan atau akhir tahun 1989 yang lalu ..kalau tidak salah ingat hampir sebulan masalah kasta atau wangsa dibahas oleh Bali Post … setiap hari ramai komentar silih berganti…akhirnya fihak Bimas Hindu dan Budha melarang untuk dibicarakan ataupun diperdepatkan karena mengandung SARA…. oleh sebab itu tidak lagi dibicarakan lagi di media…… Kemudian saya mencari dan mencari apakah kasta ataupun wangsa itu karena tidak ada tempat bertanya ..namun tidak memperoleh keyakinan yang memadai sehingga saya memahami bahwa kasta itu sepertinya salah karena saya merasakan bahwa tidak terdapat kesepadanan dengan nama yang satu sengan yang lain.. dan akhirnya saya putuskan anak anak saya tidak saya cantumkan nama balinya … tapi nama nama Hindu tanpa tahu bahwa anak saya adalah nenek moyangnya orang Bali… saya punya keyakinan kedepannya Hindu akan Jaya … Agama bersifat kekal sedangkan adat akan berubah dengan berubahnya waktu dan tingkat pendidikan seseorang,lingkungan dan lainnya. Saya cuma bingung saja membaca masalah ajeg bali seperti apa ?, Apa seperti jaman dahulu ?, Semua sudah berubah jaman dulu perempuan telanjang dadanya sekarang ini walaupun sudah pakai kebaya malah sengaja di bukain supaya laki laki tergoda sepertinya dengan sengaja supaya terlihat..?? Jaman saya kecil masih banyak yang buta huruf sekarang sudah banyak jadi sarjana dengan berbagai macam jurusan ilmu pengetahuan… Sementara orang Bali sekarang punya anak 1 atau 2 orang saja bagaimana bali bisa lestari sementara orangnya semakain sedikit ? Datanglah pendatang uli dauh pasih sementara kita malah metajen dan meceki dan lain sebagainya sehingga lupa diri , sebagai contoh pada nyepi kemaren ini amat memalukan dan menyedihkan menurut saya kalau terjadi pemukulan pecalang yang dilakukan oleh orang bali yang sudah mualaf…Apa yang dilakukan para Brahmana di Bali supaya umat tidak pindah agama ? Pernahkan pejabat pusat yang ditempatkan atau berdinas di Bali pindah agama Hindu karena pencerahan yang diberikan oleh pinandita ? …Banyak hal yang harus diperbaiki sepertinya tidak seperti membalikan telapak tangan … dan sejak 1 januari 1990 sudah saya repormasi diri semoga semua mau belajar untuk yang lebih baik …benar seperti yang telah diutarakan diatas banyak yang kelihatannya ingin mempertahankan kedudukannya kalau menurut saya telah menikmati kenyamanan… oleh sebab itu saya sampaikan mari kita tingkatkan kemampuan diri kita masing masing jadilah teladan dan hormatilah sesama manusia bahwa kita semua adalah bersaudara…Ampura…Klungkung Semarapura…
Oh begitu ya ceritanya, baru tau, hehe
Oh saya baru sedikit mengerti,dan ini terjadi pada saya baru baru ini bulan 11 2017 saya mengabenkan kedua orang tua saya dan saya beserta keluarga hanya memakai pemangku untuk muput,ini sdh terjadi turun temurun yg sdh di jelaskan oleh penglingsir
Aum swastiastu. Ty mau bertanya niki.
Apakah ada sistem kasta yang di jelaskan dalam kitab suci weda???
Om Shanti Shanti Shanti Om
Semoga semua menjadi damai, damai, damai dalam lingkaran tuhan (Om)
Tugas kita yang paling BENAR hanyalah berbuat baik,
jika apapun yg anda rasa benar namun tidak membuat anda melakukan perbuatan baik dan justru membuat anda berbuat buruk seperti contoh anda menjadi kesal, menghujat, berkata tidak santun/sopan, merendahkan, tidak menghargai dan sebagainya
Segeralah sadar . Mari kita Salang menghormati,. Menghargai dan saling berbuat baik agar terciptanya keseimbangan ” tri Hita karana” dan sampailah pada damai tersebut Om Shanti Shanti Shanti om
Niscaya Ida Sanghyang Widhi Wasa akan memberimu anugrah kebaikan
You have observed very interesting points! ps nice website.
Saya termasuk salah satu yg mempertanyakan kasta. Yg pernah saya tau kasta itu pengelompokan strata sosial pada masanya berdasarkan pekerjaan. Bagaimana dgn sekarang? Apakah masih bisa diterapkan kastanya? Karena saya sempat bertemu dgn petugas parkir di bandara ngurah rai, di seragamnya terpampang nama A.A yg berarti anak agung, timbulah pertanyaan kenapa org dgn kasta tinggi bekerja di level itu. Menurut saya itu tidak sesuai. Karena dia pasti lahir dari org tua betkasta “tinggi”. Lalu bagaimana dgn Sudra yg di pekerjaan sekarangnya berposisi sebagai pemimpin? Saya sempat ngobrol dgn seorang kakek2 di gianyar, beliau lebih memandang Kawitan ketimbang kasta. Dan sayapun demikian, lebih setuju dgn kakek2 tersebut. saya tinggal di jakarta, dan saya tidak begitu peduli bila bertemu dgn org bali yg berkasta tinggi. Bagi saya semua sama. Yg jelas bila bertemu org yg lebih tua harus sopan. Maaf sebelumnya bila berantakan ngetiknya.
Salam Rahayu..
Ikut urun pendapat..
Kasta, Gelar, Jabatan dan status sosial lainnya akan tetap “ajeg” karena faktor kekuasaan yang berafiliasi dengan ekonomi.
Selama individu tersebut memiliki simbol2 kekuasaan dan ekonomi maka status sosialnya akan dihormati terus sampai keturunannya.
Setelah lewatnya masa Feodalisme dan berganti ke Republik, Status Sosial masih tetap ada, yg dulunya adalah Kasta, Kini berganti Marga. Misal Jika seorang Individu berhasil mencapai Kekuasaan dan Ekonomi yang cukup, dia akan menyematkan namanya pada anak dan cucunya, agar diingat orang, bahwa individu ini adalah keturuanan orang berkuasa dan memiliki ekonomi yg mapan dan berpengaruh. bahkan tidak hanya Ekonomi dan Kekuasaan.. Bisa saja seperti faktor lain misal ada nilai Kebaikan,Kebijakasanaan, kepahlawanan pada inividu tersebut yang akan diwariskan melalui penamaan pada keturunannya.
Seiring dengan berkurangnya pengaruh entah itu dari kekuasaan, ekonomi, dll darim keturunannya, maka status sosialnya akan berangsur2 menghilang. Dan selama simbol2 kekuasan, ekonomi tetap dijaga oleh keturunannya, maka dia akan ttp mendapatkan status sosialnya.
Misal pada saat ini, orang2 berkasta akan ttp dihormati dan mendapatkan statusnya seperti pada masa leluhurnya dulu, jika masih memiliki simbol kekuasaan semisal Puri/keraton/istana, dan juga masih memiliki kekuatan ekonomi semisal aset dan bisnis.
Patut Nike sedurungne titiang nunas sinampura yening titiang iwang..sepemahaman titiang status kasta di era dahulu dan sekarang sudah sangat berbeda…gelar/jabatan/kasta yg di berikan dahulu sesuai dengan status sosialnya..berbeda dengan era sekarang hanya menyandang status leluhurnya yg belum tentu sesuai dengan status sosialnya…karena era sekarang yg status sosialnya juga sudah banyak perubahan dan banyak pilihan sehingga tidak banyak org yg memiliki kesadaran untuk melanjutkan gelar /jabatan/kasta leluhurnya kepada keturunannya itu sendiri sehingga porosnya sudah tidak lagi searah..bukan karena adanya hal yg terjadi seperti istilah kejumput/pingit/di pilih secara sepiritual baru ada kesadaran..poinnya jika menyandang suatu kasta itu sendiri harusnya sesuaikan dengan status sosialnya sehingga tidak ada lagi pembahasan yg tidak jelas..semua hal saling beriringan satu sama lain dengan porsinya masing masing maka dari itu jadikan perbedaan ini menjadi pemersatu bukan perpecahan karena human saling membutuhkan dan tidak bisa hidup individual..salam Rahayu Semeton titiang sareng sami,
Jaya selalu Baliku.
tidak banyak yg BERANI membahas sejarah gelar tjokorda yg aslinya pemberian/hadiah pemerintah kolonial belanda kpd fihak yg mendukungnya (londo ireng)… bahkan ada beberapa pengelingsir di luar yg menterjemahkan gelar tsb sebagai ‘tjokor welanda’,… sugra pakulun…