Apakah orang Bali resah dengan hiruk-pikuk pulaunya yang dilingkupi berbagai macam permasalahan? Jika kita mengikuti perkembangan Bali akhir-akhir ini, kegelisahan itu menyeruak di antara komentar (ke)wargaan digital (netizen) yang saling berkelidan di berbagai platform sosmed (social media).
Istilah viral mengemuka bukan saja dalam hal gaya hidup atau tingkah polah para artis, tetapi juga berbagai fenomena di tengah masyarakat. Khususnya yang terjadi di Bali berkaitan dengan berbagai perilaku nyeleneh wisatawan mancanegara maupun domestik, pelayanan aktivitas pariwisata, bahkan proyek-proyek massif infrastruktur pariwisata yang menghancurkan lingkungan.
Masalah lainnya yang mengemuka adalah kemacetan yang selalu dikeluhkan oleh warga, permasalahan sampah yang seperti benang kusut, kesulitan air bersih, hingga tindak kriminalitas dan keamanan yang seolah tidak ada hentinya terjadi. Keresahan berbagai kalangan muncul di sosmed, mengundang komentar getir sekaligus renungan personal. Renungan nasib Bali ke depan, dengan situasi yang semakin merangsek menuju keprihatinan ini, sebenarnya menjadi kegundahan banyak orang yang berdomisili di Bali. Bukan hanya orang Hindu Bali semata. Situasi ini menjadi keresahan bersama, lintas etnis, agama, dan latar belakang sosial.
Kesadaran atas keterancaman situasi Bali berangsur-angsur menjadi perbincangan dan diskusi publik. Berbagai ruang ekspresi memediasi hal itu. Aktivisme sosmed menjadi suara-suara yang membicangkannya menjadi keresahan bersama. Seorang karib yang mengadakan diskusi online tentang kemacetan di Bali dihadiri oleh 300-an peserta yang bergiliran menyampaikan keluhan mereka. Mereka betul-betul mencemaskan kondisi Bali dengan kemacetan yang parah di beberapa titik-titik utama ekspansi wilayah pariwisata baru. Wilayah Canggu di Kabupaten Badung salah satunya.
Pada sisi yang lain, massifnya pembangunan industri pariwisata hingga ke desa-desa seolah tidak terbendung. Mempariwisatakan desa-desa menjadi salah satu cara untuk menseragamkan kekuatan desa yang sebenarnya beragam dan kaya. Keberagaman itu ditundukkan pandangan bahwa “seolah-olah“ pariwisata lebih tinggi derajatnya dibanding sektor lainnya. Carut-marut dan centang parenang itulah yang didedahkan oleh sosmed. Sebuah tanda kekhawatiran yang sering diungkapkan adalah “Bali tidak sedang baik-baik saja.“
Di antara banyaknya kasus yang viral di sosmed, kita bisa menyimak dua di antaranya yang ramai didiskusikan para netizen. Data saya sarikan dari berbagai portal berita:
“…Beberapa waktu lalu, beredar unggahan video di media sosial yang memperlihatkan pengerukkan tebing di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, untuk membangun hotel. Di sana terlihat Tebing Batu Kapur yang tadinya berdiri kokoh perlahan mulai terkikis. Tampak juga alat berat berada di tebing tersebut. Kegiatan pemotongan tebing tersebut diketahui warga saat dilaksanakannya prosesi Pakelem rangkaian Pujawali di Pecatu. Warga yang melintas dengan mengendarai jukung (perahu) melihat aktivitas pengerukan tebing dari tengah laut.“
Dalam video yang salah satunya diunggah oleh akun Instagram @therahayuproject menjadi pusat perhatian di media sosial. Terlihat proses penebangan sebuah pohon besar yang diperkirakan telah berusia 100 tahun di Kawasan Seseh, Kabupaten Badung, Bali. Video tersebut menunjukkan beberapa pekerja menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon dengan diameter besar. Pohon ini ditebang untuk pembangunan sebuah beach club baru, yang memicu reaksi keras dari masyarakat dan netizen. Pohon ini, yang telah hidup selama ratusan tahun, menjadi korban pembangunan komersial.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana keresahan dan suara-suara kritis tersebut mengalir dan mempengaruhi kebijakan arus utama tentang Bali? Bagaimana keresahan tersebut mendapatkan ruang dalam dunia politik Bali kontemporer dan mempengaruhi kelompok pembuat kebijakan?
Genealogi Keresahan
Keresahan yang melingkupi Bali tidak hanya terjadi kali ini saja. Jika kita merunut ke belakang, Almarhum I Gusti Ngurah Bagus, guru besar Antropologi, Universitas Udayana dalam artikelnya Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun Terakhir di Bali: Beberapa Catatan tentang Perubahan Sosial di Era “Glokalisasi“ (2011) sudah jauh hari mengingatkan bahwa derasnya pembangunan pariwisata sejak dasawarsa tahun 1980-an menyebabkan adanya perubahan struktural dan transformasi dalam bidang ekonomi, yaitu bergesernya peran sektor agraris (pertanian) ke sektor pariwisata. Sejak saat itulah pariwisata memegang peranan penting kalau tidak dikatakan terpenting di dalam perekonomian Bali.
Perkembangan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari arus globalisasi yang tak terhindarkan terutama menjelang akhir tahun 1980-an, tatkala Bali terbuka untuk penanaman modal berskala besar di sektor pariwisata. Waktu itulah industri pariwisata bercorak kapitalisme mulai berkembang dan pada akhirnya mencaplok sejumlah besar tanah rakyat. Kondisi ini didukung oleh kebijakan lokal di bawah pemerintahan Gubernur Ida Bagus Oka, yaitu dengan dikeluarkannya SK Gubernur No. 528/1993 yang menentukan 21 Kawasan Wisata. Untuk kepentingan pengembangan pariwisata, Bali dikapling menjadi 21 kawasan yang siap dijual. Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya tertuang dalam Perda No. 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Tingkat I Bali. Pengkavlingan Bali menjadi Kawasan wisata inilah yang memantik berbagai protes masyarakat, diantaranya BNR (Bali Nirwana Resort) di Tanah Lot, Tabanan dan protes Pantai Padanggalak.
Berbagai protes yang menjadi alam Bali sebagai kawasan pariwisata tidak terhenti meski rezim berganti. Bali, sejak masuknya industri pariwisata sebenarnya bersandar apa yang oleh Ngurah Bagus sebut sebagai “industri budaya” karena pariwisata telah menjadi bagian dari kebudayaan Bali (1988; 2011). Manusia Bali dengan properti budaya yang melekat padanya dihidangkan dalam “paket industri budaya”.
Industri budaya inilah yang mementaskan berbagai tontonan dimana moda ekonomi bernama pariwisata, kapital yang melekat padanya, dan seni budaya Bali saling berkelidan. Pada sisi yang lain, alam Bali terus-menerus dikeruk habis untuk kepentingan industi pariwisata yang bertopeng dibalik moda industri budaya bernama pariwisata budaya itu.
Salah satu yang menghadapi gempuran industri budaya tersebut adalah desa adat yang sudah terlanjur dianggap sebagai institusi yang menjadi benteng kebudayaan Bali. Usaha “menundukkan“ institusi desa adat terus-menerus dilakukan oleh pemerintah dan para elit lokal dengan berbagai cara.
Mulai dari peraturan daerah yang terus diperbaharui, institusionalisasi (baca: penyeragaman) desa adat dibawah organisasi payung, pengendalian desa adat melalui birokrasi, hingga silang sengkarut bansos (bantuan sosial) yang menghujani desa adat untuk memfasilitasi karya (upacara keagamaan) dan renovasi serta pemugaran pura-pura. Cara pandang negara terhadap desa adat, mengutip pandangan Arya Suharja, mengandaikannya sebagai “mesin serba guna“ yang sebenarnya hanya dalih dari keringnya pendekatan negara terhadap institusi masyarakat sipil di Bali.
Menyeruaknya Ketakutan?
Lalu, bagaimana nasib suara-suara keresahan yang diuaraikan sebelumnya? Suara netizen dan kelompok masyarakat sipil mengkritisi berbagai peristiwa di tengah masyarakat Bali bisa hilang ditelan bumi karena diberangus oleh tumbuhya rezim otoritarian baru. Rezim ini menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat yang kritis dan memiliki aspirasi yang berbeda. Saya mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa arah perubahan situasi negara ke rezim otoritarian sedang berlangsung dan dikerjakan dengan berbagai cara. Tapi, tanda-tanda ke arah tersebut sudah dimulai.
Salah satunya adalah intimidasi dan pembubaran paksa kegiatan diskusi oleh kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA). Mereka adalah koordinator dari jaringan PWF (The People’s Water Forum) yang mengadakan diskusi pada 20-23 Mei 2024 yang menyuarakan suara masyarakat sipil terhadap keadilan atas air. Kegiatan diskusi dari kalangan akademisi, para aktivis, dan kelompok masyarakat sipil ini dibubarkan paksa oleh ormas yang menamakan dirinya Patriot Garuda Nusantara (PGN) di sebuah hotel di Kota Denpasar pada Senin sore, 20 Mei 2024. Kita bisa menyaksikan bagaimana pertanda rezim anti-demokrasi mulai diperlihatkan dari Bali.
Pada sisi yang lain, pentas politik lokal Bali mempertunjukkan tumbuhnya politik keperkasaan baru dengan tumbuh suburnya organisasi masyarakat yang berkelidan dengan kekuasaan partai politik, legislatif, dan juga birokrasi pemerintahan. Para elit Bali ini mempertontonkan bagaimana usaha “menjaga Bali” dengan memanfaatkan berbagai sumber kekuasaan yang ada.
Politik keperkasaan yang saya maksudkan adalah mengimajinasikan Bali dengan tingkah polah dan visual kejantanan, macho, dan militeristik yang direpresentasikan dalam berbagai pentas, di antaranya dipertontonkan oleh para elit lokal. Representasi Bali berlanjut menjadi “Ajeg Bali Baru”, dimana di dalamnya tersembunyi ketidaksetaraan gender yaitu saat keperkasaan dan kejantanan mendapatkan ruang dominan yang terus direproduksi (diulang-ulang) dan dikonsumsi oleh publik.
Sebelum politik keperkasaan ini hadir, Bali direpresentasi oleh rezim kolonial sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tidak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya. Rezim Orde Baru kemudian melanjutkannya dengan program “Bali Lestari“ dimana kebudayaan Bali harus dibuat se-otentik mungkin sebagai “modal budaya” berhadapan dengan globalisasi yang diangkut industri pariwisata (Santikarma, 2004). Politik keperkasaan dengan mempertunjukkan maskulinitas, tubuh yang kekar dan kejantanan, menjadi modal budaya yang tengah masuk ke berbagai kalangan di masyarakat Bali.
Politik keperkasaan inilah yang ditengarai akan melahirkan suasana ketakutan di tengah masyarakat yang sebelumnya kritis menanggapi berbagai persoalan Bali. Keresahan yang sebelumnya dibungkam, kemudian mendapatkan ruangnya, akan terancam kembali dibungkam dengan pendekatan-pendekatan kekerasan dan premanisme. Menyeruaknya ketakutan, nyeh dalam Bahasa Bali, adalah modal awal bagi negara untuk menundukkan aspirasi dan pemikiran warganya.
Segala pemikiran berbeda, karena ketakutan untuk mengekspresikannya, akan siep (diam) atau hanya menjadi pakrimik (perbincangan di belakang). Nyeh dan siep itulah yang menjadi tujuan dari politik keperkasaan. Tapi, ancaman nyeh dan siep bukannya tanpa kritik atau siasat dari publik untuk menyindir bahkan menertawakannya.
I Ngurah Suryawan
Antropolog, dosen, dan penulis. Bukunya, Jalan ke Tanah Leluhur: Refleksi dari Bali menuju Papua (akan terbit, 2024).