Ketika hari menjelang petang, pasar Gajah Mada, Tabanan mulai disesaki masyarakat. Di dalam pasar tersebut, tersedia banyak hal: kedai makanan, penjual mainan, hingga bengkel motor Honda. Tepat di depan pasar tersebut, terpampang tulisan “M. Aboe Talib”. Uniknya, sepanjang 10 meter ke barat dari kedai tersebut, anak muda berkumpul saling melempar cerita, entah masalah percintaan yang gagal karena kasta atau sekadar menertawakan diri di tengah kehidupan kapitalisme tiada tara.
Lima tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, kedai kopi M. Aboe Talib telah berdiri di Tabanan, Bali. Mulanya, M. Aboe Talib menjual nasi campur sebagai hidangan utama dan kopi sebagai minumnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, M. Aboe Talib memutuskan untuk menjual kopi sebagai hidangan utama mereka.
Berumur lebih tua dari bangsa ini, M. Aboe Talib nyatanya masih dapat bertahan di berbagai persoalan ekonomi di negeri ini. Dilansir dari Tribun Bali, melalui penuturan Tri Waluyo, generasi ketiga kedai ini, M. Aboe Talib dahulunya kerap menjadi tempat para pejabat negara dan pekerja di zaman Belanda nongkrong, Bahkan, pada era-era 80 hingga 90-an, kedai kopi M. Aboe Talib kerap menjadi tempat nongkrong bagi pensiunan TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil.
Kedai kopi ini tidak perlu diragukan lagi. Di Tabanan, kedai kopi ini bisa menjual 150 hingga 200 gelas dalam satu hari atau sekitar 5 hingga 10 kilogram bubuk kopi Robusta dihabiskan per harinya.
Dari Tabanan ke Denpasar Berusaha Menjaga Cita Rasa
Tidak hanya di Tabanan, nama M. Aboe Talib telah terdengar hingga ke Denpasar. Terbukti, setidaknya M. Aboe Talib telah membuka tiga cabang, yang masing-masing dipegang oleh generasi ke-empat keluarga M. Aboe Talib.
“Yang buka pertama kali M. Aboe Talib tahun 1940, setelah itu M. Aboe Talib punya anak yang namanya M. Soepomo. Anaknya itu punya anak, ibu saya, mekumpyang jadinya. Kalau saya nerusin, berarti saya generasi keempat,” ujar Hima seorang keturunan langsung dari M. Aboe Talib yang meneruskan bisnis keluarganya di Jalan Kecubung, Denpasar.
Di tengah gempuran coffee shop populer di Denpasar, terbukti bahwa M. Aboe Talib masih dapat bertahan hingga sekarang, bahkan berhasil melewati masa-masa pandemi. Hal yang membuat Aboe Talib masih bertahan hingga sekarang, nyatanya adalah khasnya cita rasa kopi yang mereka sajikan.
“Saya di Denpasar cukup susah untuk bersaing dengan coffee shop yang lain karena mungkin di sini coffee shop lebih beraneka ragam. Jadi di situ mungkin motivasi saya untuk mencoba menonjolkan ciri khas saya, yaitu kopi saring itu,” ujar pria tersebut.
Nyatanya, dalam menjaga bangunan kokoh M. Aboe Talib, kedai kopi tersebut memiliki kepatuhan yang baik dalam menjaga cita rasa kopi saring mereka. Bahkan, M. Aboe Talib masih menggunakan cara-cara tradisional dalam memproduksi kopi, yaitu tanpa mesin. Uniknya, proses produksi kopi tetap dilakukan secara terpusat di Tabanan sehingga tidak menghilangkan cita rasa khas dari kopi M. Aboe Talib.
“Tetep dari pusat, dari Tabanan nanti di supply dari Tabanan. Produksinya ada tempat sendiri,” ujarnya. Keluarga ini memiliki kebun dan pabrik kopi sendiri.
Sadar akan persaingan yang semakin ketat di Denpasar, Hima memiliki caranya sendiri dalam menarik konsumen untuk datang ke M. Aboe Talib. Kedai kopi yang terletak di Jalan Kecubung, Denpasar itu kerap mengajak konsumen-konsumennya untuk nonton bareng pertandingan sepak bola.
“Nah caranya saya mungkin lebih berinteraksi dengan konsumen, misalnya ada yang dateng, saya ajak ngobrol. Cara promosinya dan cara bertahan selama tiga tahun itu mungkin dengan cara seperti itu karena jarang banget untuk promosi di media sosial,” tungkasnya menjelaskan usaha yang ia lakukan untuk dapat mempertahankan bisnis keluarganya.
Berbeda dengan M. Aboe Talib Tabanan yang dapat menjual hingga 150 gelas dalam satu hari, setidaknya M. Aboe Talib Kecubung dapat menjual sekitar 20-30 gelas kopi. Hima menyadari bahwa persaingan antar coffee shop di Denpasar juga menjadi faktor hal tersebut terjadi. Akan tetapi, Hima tetap mensyukuri hal tersebut.
“Namanya dunia kan ya, jani di beduur nyanan ngidang di beten. Makanya kita nggak ngerasa kita punya nama besar. Tetap merendah aja. Nggak ada yang bisa disombongkan,” tutup pria itu.