Kaum pengikut jurnalisme warga di Bali, 16 April lalu di Serambi Art Antida, merayakan apa yang disebut sebagai pesta netizen. Terkait dengan acara itu, tulisan ini ingin mempertanyakan mau dibawa kemana Jurnalisme warga itu?
Baiklah tulisan ini akan diawali dengan sebuah berita buruk. Pekan lalu untuk kepentingan Majalah Tempo, saya mewawancarai Pande Baik, salah seorang yang menurut saya menjadi perintis blog di Bali. Saya tertarik karena tulisan-tulisan yang sangat kritis. Salah-satunya bahkan menyoroti kinerja wartawan Radar Bali yang belakangan menimbulkan sedikit masalah.
Berita buruknya adalah dia ternyata telah memilih berhenti membuat tulisan-tulisan semacam itu. “Daripada menimbulkan masalah. Teman-teman bilang saya kurang kerjaan,” katanya. Ia lebih memilih menulis soal hobi, teknologi informasi dan kuliner.
Pernyataan itu membunyikan lonceng di kepala saya yang mengingatkan pernyataan seorang pakar jurnalisme bahwa jurnalisme warga telah diekspektasi secara berlebihan akan menggantikan jurnalisme mainstream. Seolah-olah ada alternatif baru di tengah kelesuan mainstream media untuk menggarap isu-isu kritis di lingkungannya.
Pada gilirannya kemudian terbukti, kapasitas jurnalisme warga terlalu kecil apalagi bila kemudian kita berharap untuk liputan yang bersifat investigatif dan membutuhkan energi yang lebih besar.
Kapasitas tentu saja mencakup kemampuan mengorganisir liputan hingga perlindungan bagi jurnalis. Apalagi dari sisi perundangan, belum ada perlindungan yang setara dengan perlindungan bagi jurnalis seperti diatur dalam Undang-undang UU Pokok Pers. Jurnalisme warga kemudian kemudian hanya cocok untuk tulisan yang bersifat promosional, gaya hidup, kuliner dan traveling.
Kapasitas jurnalisme warga dengan demikian hanyalah sekedar memberi ruang alternatif untuk suara-suara berbeda. Tapi, sulit berharap untuk munculnya suara kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan dan dari orang-orang biasa sebagaimana yang dibayangkan pada awalnya. Memang suara kritis sering muncul seperti dari Wayan Gendo dan Dayu Gayatri. Tapi mereka bukanlah orang-orang biasa yang menyajikan fakta miring di sekitarnya.
Di sisi lain, jurnalisme warga bahkan telah mengurangi tensi bagi jurnalisme yang sesungguhnya untuk menjadi sikap kritis dan social control sebagai misi utamanya. Wartawan-wartawan terbaik dan berbakat seperti Anton Muhajir memilih berasyik masyuk dengan tulisan-tulisan narsis dan snobis daripada menjaga kewaspadaan untuk menelisik isu-isu kritis.
Di tengah lesunya kemampuan jurnalisme mainstream untuk menjadi “watchdog” bagi kekuasaan, setting berita yang tak berpihak pada publik dan berbagai penyakit lainnya, jurnalisme warga memang telah memberikan harapan baru. Tetapi selalu tidak ada jalan keluar yang instant. Karena fungsi control social media tak akan tergantikan tanpa usaha memperbaiki kondisi media mainstream itu sendiri.
Jadi mau kemana? [b]
eits… kok malah muncul disini ?
Tapi yah, sepertinya jauh lebih mengasyikkan untuk berbagi soal Teknologi Informasi yang makin terus berkembang, ketimbang menjadi Kritis. hehehe… Just my Opinion saja. 🙂
Tulisan ini menohok, sekaligus bisa jadi refleksi ngobrolin masa depan jurnalisme warga di Bali 🙂
banyak yg berkaca pada kasus bli Pande, jadi ngeri juga membayangkan kena masalah seperti itu
Pak Pande, mari pak menulis kritis lagi. Kita siapin jaring2 advokasinya.
Saya pengen belajar dari bli Pande yang tetap semangat ngeblog meskipun sibuk. 🙂
Pengen bisa menulis sebuah kebencian tanpa melukai 🙂
Maap, kompor detected 🙂
citizen jurnalism yang saya tau itu masing-masing orang menulis dengan kemampuannya sendiri tentang kondisi di sekelilingnya meliputi apa yang dia suka, apa yang menjadi ketertarikannya dll. Mereka tidak bisa didikte harus begini, harus begini, menulis ini atau itu, persuasif mungkin iya.
Nah, apabila ketemu tema sejenis, kelak jurnalis sesungguhnya lah (Pro) yang meramu menjadi berita berkedalaman.
Begitu yang saya tangkap, maapken kalo keliru. #ampun
Waahh, mengasyikan juga baca artikel ini. Positif negative kan berdampingan, mengacu dalam kasusnya om pande, mungkin lebih enak ngomongin yang bagus-bagus dan lebih bermanfaat daripada ngomongin orang yang jelek-jeleknya. Jadi kalau saya sih take it easy aja. Jadi lagi nih, minta maap kalo salah, kan boleh dong berpendapat.
jurnalisme warga memang tak berpretensi menjadi watch dog ala media arus utama. dia justru memungut rempah-rempah yang biasanya terlewat di media arus utama. tak hanya tema tapi juga sumber berita dan penulisnya.
jurnalisme warga sejauh ini “hanya” untuk selingan di antara gegap gempita media arus utama yang kian kental aroma ekonomi dan bisnis dibanding kepentingan publik.
di sisi lain, jurnalisme warga juga memang sejak lahirnya dikelola secara amatir, tidak profesional.
tantangan lain juga, seperti diskusi kita pekan lalu, adalah soal target kritik tulisan. meski sampe muntah2 nulis tentang DPR atau bupati juga sami mawon kalo mereka internet pun tidak tahu. ibarat nembak angin. 🙂
ah, banyak, sih alasan. tapi tetap saja ini kritik menarik tentang jurnalisme warga tak hanya di bali tapi juga dunia.
saya malah tak pernah membayangkan jurnalisme warga bisa “mengalahkan” media mainstream. dan karena itu tak pernah membandingkan dengan isi koran A, B, C dan lainnya.
yang paling membuat saya sumringah, dan juga terpenting adalah munculnya kesadaran bahwa publik adalah informasi itu sendiri, tanpa dibatasi pemodal media dan kepentingannya.
kritik mas rofiki kita anggap undangan bagi warga yang ingin menulis isu politik, hukum, parlemen, pemerintahan, dan lainnya…
good input, aniwei
Tulisan nya Pak Rofiqi cukup membelalakkan mata. Namun belum sampai membutakan mata hehehe. Secara pribadi, motivasiku ngeblog adalah memberikan self note pada perjalanan hidup ini. Kalaupun itu dikatakan mampu untuk berbagi, itu lebih kepada penilaian orang lain.
Masalah perlindungan hukum bagi jurnalisme warga, kurasa sudah ada ketentuan hukum-hukum yg perdata ataupun pidana. Yang penting, ketika menuliskan sesuatu hal, mempunyai fakta yang jelas. Masalah nanti kena komplain atau tuntutan, ya itu resiko bagi sebuah kebebasan berpendapat.
Kalau terus-terusan kawatir mengenai payung hukum, trus kapan menulisnya?. Kekawatiran itu hanya ada dalam pikiranmu kawan! Tidak ada andai di dunia ini. Yang ada adalah harapan. Aku berharap bisa menulis yg sifatnya investigasi. Membongkarrr hihihi. Jadi, kembali kukutip paragraf di BB.NET :
Jurnalisme warga memberikan kesempatan pada tiap warga untuk menggunakan sudut pandangnya sendiri dalam menulis. Objektivitas bukan hal penting dalam tulisan-tulisan di portal ini. Semua penulis menggunakan subjektivitas masing-masing. Namun semua berdasarkan fakta dan kejujuran (fairness). Karena itu pertanggungjawaban tiap kabar ada di penulis masing-masing.
Jadi, inilah patokan sebelum menulis: Subyektifitas berdasarkan fakta dan kejujuran (fairness). Silahkan meramu sendiri.
Wah emang lain rasanya kalau teman mengingatkan! kuping merah, hati panas dan gegrimutan.
Tp tetap thank u mas rofiqi, gegrimuatn ini akan disalurkan lewat tulisan di http://www.dudikdreams.com yg sempat glatak gletek
nb: sering-sering saja mas Rof!!
intinya jangn main2 di media jurnalisme warga tanpa badan hukum kuat
kok nulis jadi malah mikir-mikir sekarang….takut berisiko….tanda-tanda blog bakal banyak yang MATI SURI
bhuahahaha… kok banyak yg menakut-nakuti orang yg semangat menulis. itu pemikiran yg salah kaprah. kalau semua orang bungkam, mau jadi katak dalam tempurung?
anggota dprd skrang pada beli ipad bung… buat apa? buat buka youtube? semoga biar pada nulis notulensi rapat ato pemikiran2nya trus dipublish di sini, eh minimal dipublish di website mereka aja dulu. semoga punya website (yg diupdate)..
information is power. topik di atas malah ingin mengkampanyekan orang terus nulis apapun.. kok jadi antiklimaks gini?
hehehehe..saya gak mau menakuti-nakuti lo…sebenarnya malah pingin mendorong munculnya tulisan-tulisan jurnalisme warga yang kritis seperti Pak Pande Baik dulu…soal resiko hukum atau apapun..saya kira semua ada resikonya…hanya untuk tulisan jurnalisme warga ini masih harus kita pikirkan bagaimana sebenarnya perlindungannya untuk itu perlu juga dikaji bagaimana etikanya…mungkin anton sudha pernah bicara soal2 ini dengan para pesohor blogger yang lainnya.
Bagi saya sih jurnalisme warga akan punya kekuatan sendiri dan ‘aman’ selama tidak menyalahi Khittoh (soal ini tanya Hendro alumni PMII tuh)…maksudnya stylenya memang pribadional (alah apalgi ini)..maksudnya yang ditulis ya hal-hal yang berada di sekiar kita dan benar-benar kita lihat, dengar dan kita rasakan. Atau dalam tehnik jurnalistik sering disebut sebagai reportase…kalau perlu ya didukung pakai foto..jadi kalau kita lihat jalan rusak, pembangunan villa langgar sempadan pantai ya bisa saja kita tulis kalau itu yang kita lihat…kalau pun harus menohok salah-satu pihak sebaiknya jangan ditulis identitasnya langsung bisa dengan inisial atau disamarfkan kecuali bisa kita sudha konfrimasi dan bilang mau ditulis di blog kita atau kita yakin ornang itu gak akan marah dengan tulisan kita. Bisa juga kita kutip opini orang tapi yang baik2 aja dan tdk menohok orang lain.
membekali setiap journalist warga dengan pengetahuan adalah sangat penting, ketrampilan dan hal-hal yang perlu dilakukan sekiranya menghadapi situasi sulit. Prinsip mencegah lebih baik dari mengobati adalah hal utama yang perlu menjadi keseharian seorang reporter. Anyway…siapapun bisa menadapt perlakuan tidak manusiawi, tidak ada yang istimewa dalam masalah ini, bilapun ia seorang reporter/wartawan. Semua perlakuan buruk terhadap manusia, oleh siapa saja, kapan saja, mengenai siapa saja, dalam konteks apa saja, merupakan pelanggaran hukum dan perlu diajukan ke ranah hukum.
Bagi saya Jurnaliseme Warga ataupun Personal Blog merupakan sebagai media edukasi melek media, melek informasi kepada seluruh warga masyarakat, pemberi pencerahan bagi dunia publikasi media massa dan saling berbagi informasi yang benar menghargai kemanusiaan
Kembali ke Kittoh hehehe, ya bagus ini Pak!. Saya yakin, para Blogger menulis itu adalah sebuah hobi dan kepuasan tersendiri. Mungkin ajakan Pak Rofiqi “Kita siapin jaring2 advokasinya” perlu di sosialisasikan. Bikin internal meeting dgn blogger Pak, ttg jaringan advokasi tersebut. Biar para blogger tambah greng. AJI dan Sloka, lirik luhde, sepertinya punya kepentingan jika bicara soal advokasi jurnalisme. Maap jika salah.
Menulislah dulu baru bahagia, jangan menunggu bahagia baru kita menulis. Hehehe. Ayo menulis!
Saya sependapat dengan mas Hendro W Saputro,sepintas dibenak pikiran saya seperti ini arahnya yang mau saya tuangkan namun mewujudkan ke dalam bentuk tulisan susah,he…
Apapun tulisanmu yang penting asal gak boong mari berbagi …….. gak perlu too serius menulis, yang penting hepi dan sesuai kesenangan masing2 … karena disini dari berbagai kalangan warga masyarakat,n tidak semua suka tulisan serius… Jurnalisme Warga besar karena beragam informasi yang ada, strobis,snowbis,digubris,gadis, dan bukan besar karena tulisan yang kebanyakan serius,kritikus, de el el …
So tetap menulis apa pun itu……
sambil membaca ini,.. ini berita bintang : (*) jangan lupa minum kopi luwak
Setuju om @bogeloblast.
Btw, saya baru tau arti snob dan snobis gara2 tulisan om Rofiqi ini, makasih mas. #serius 🙂
Bisa karena Biasa… Tidak Bisa karena Tidak terbiasa.
Menulis kritis sih pengen banget bisa begitu lagi, terutama soal Perencanaan Jalan Raya, Pelaksanaan, Pengawasan hingga Pemeriksaan.
Banyak hal yang bisa ditulis terutama terkait penyelewengan, amplop, dan pencurian volume.
Ini bisa dilakukan karena saya merupakan orang dalam.
Tapi yah… seperti kata”diatas, kok malah jadi bingung yah mau mulai dari mana 🙂