Fotografi dapat melahirkan karya apa saja.
Tak hanya visual, tapi juga soal pikiran dan idealisme dalamnya. Itulah sekelumit bagian dari Diskusi Alih Kreasi: Puisi-Fotografi Ida Bagus Darmasuta yang berlangsung pada Minggu lalu Bentara Budaya Bali (BBB).
Ida Bagus Darmasuta, sastrawan Bali yang aktif mengadakan kegiatan apresiasi sastra ini, menawarkan sebentuk eksplorasi unik antara dua medium berbeda, yaitu fotografi dan puisi. Keduanya dirangkum dalam buku terbarunya, Jejak Kanvas: Puisi-Fotografi.
Darmasuta menjelaskan, sesungguhnya upaya eksplorasi dan alih kreasi puisi dengan berbagai media sudah banyak dilakukan. Misalnya penggabungan puisi dengan musik menjadi musikalisasi puisi, atau puisi dengan drama dan pemanggungan yang melahirkan dramatisasi puisi.
Bagi Darmasuta, wilayah eksplorasi puisi pada fotografi lebih menonjolkan keunikan, di mana fotografi dijadikannya sebagai pemantik untuk menghasilkan berbagai bentuk kreasi yang baru, baik puisi, maupun karya rupa. Ia mencontohkan, di tangan seorang perupa, sebuah foto mungkin dapat menghasilkan sebentuk karya lukis, dan bagi seorang dramawan, foto bisa menjadi sebuah karya teater.
Fotografi di sini bukanlah sebuah penyampaian foto secara sempurna, akan tetapi, apakah fotografi mampu memantiknya untuk menghasilkan ciptaan puisi. Darmasuta ingin menangkap sesuatu dari foto yang ia jadikan puisi, terlepas dari apakah foto tersebut secara teknis terlihat begitu estetik atau bahkan memiliki kekurangan.
“Dari foto yang secara teknis fotografi ada kekurangan, justru ada sesuatu di dalamnya yang ingin saya tangkap dan jadikan sebuah puisi,” jelas Darmasuta.
Lantas, apa saja yang mampu memantiknya untuk mentransformasi karya fotografi ke dalam kata-kata? Darmasuta mengakui bahwa ia mengamati apa yang dilakukan oleh seniman-seniman dalam berkesenian, mengapa mereka berkesenian, dan apa kesenian bagi mereka. Kemudian, berdasarkan hal ini, ada satu-dua hal yang memantiknya untuk membuat puisi.
Puisi yang dibuat dasarnya adalah foto, tidak menjelaskan foto. Peraih Penghargaan Sastra Rancage 2007 tersebut menerangkan, “Puisi ini tidak menjelaskan foto, foto ini tidak menjelaskan puisi, hanya lahirnya puisi karena saya melihat foto. Foto itu lahir karena saya melihat fenomena, dan ketika melihat fenomena, tidak ada puisi. Jadi itu prosesnya.”
Sebuah foto yang estetis akan menimbulkan impresi estetis saja, tanpa memantik “sesuatu” untuk dituangkan dalam puisi. Namun Darmasuta tidak bisa mengkualifikasikan foto mana yang bisa menimbulkan puisi, karena itu merupakan proses reseptif dalam diri yang berdasarkan kemampuan masing-masing individu untuk menangkap. Baginya, foto yang memiliki karakter, memiliki rasa, dan memadukan rasa dan teknik dapat menciptakan karya-karya yang sangat menyentuh.
“Sebuah foto tidak harus diterima seperti sebuah puisi, karena setiap orang memiliki impresiberbeda,” ujarnya.
Dalam buku Jejak Kanvas: Puisi-Fotografi yang diterbitkan Balai Bahasa Denpasar, Darmasuta menghadirkan 70 foto yang diambil di berbagai tempat di Indonesia, seperti Bali, Makassar, Jogja, Solo, Baduy, Jakarta, dan beberapa tempat lain yang ia singgahi.
Sebanyak 70 foto disandingkan dengan 70 puisi yang merupakan hasil eksplorasi Darmasuta dalam menangkap sesuatu di dalam foto-foto tersebut. Tidak ada tema khusus yang menjadi benang merah buku; Darmasuta hanya memotret hal-hal yang terjadi di sekelilingnya ketika ia mengunjungi tempat-tempat berbeda di pelosok negeri.
Foto-fotonya menunjukkan fakta sosial, perhelatan kesenian, upacara religi, lanskap alam, dan sebagainya, yang bernuansa kritik sosial, kritik lingkungan, rasa kepedulian, bahkan kepolosan.
Bahkan beberapa foto tertangkap dengan tidak sengaja, yang justru menggambarkan sesuatu yang menggelitik; seperti foto ibu-ibu yang tengah berjalan dan salah satu dari mereka tiba-tiba mengangkat sepatu bertali rafia.
“Karya-karya Darmasuta, baik puisi maupun fotonya yang penuh kejujuran, kemurnian, kepolosan, berhasil menghidupkan objek maupun subjek, yang didekatinya lewat kamera maupun kata, menjadi sesuatu yang sangat menyentuh hati kita,” ungkap Wayan ‘Jengki’ Sunarta selaku moderator diskusi. Ia menyandingkan karya Darmasuta dengan puisi-puisi Kirjomulyo yang bernuansa sederhana, di mana Kirjomulyo menuliskan puisi untuk setiap tempat dan objek.
Jengki juga menyimpulkan, “Di tangan seniman yang kreatif, kesenian terus menggelinding. Itulah yang dilakukan Darmasuta, yang menggelindingkan kegelisahannya (lewat foto, puisi, kanvas) sehingga menemukan jalan akhir yaitu kemurnian batin.”
Darmasuta menyebutkan, “Bagi saya, karya-karya ini hanya jejak-jejak saja, dan jejak-jejak itu kita tinggalkan, bukan tujuan.” [b]