
Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu artikelnya yang menggugah Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981) menuliskan salah satu istilah yang mencengangkan: intelektual blangko. Istilah ini merujuk kepada posisi intelektual yang hanya berkutat dengan upayanya memahami kebenaran dengan penalaran atau pengetahuan yang mereka miliki. Mereka ini, kaum cerdik pandai yang menyebut diri mereka cendekiawan, hanya memikirkan diri mereka sendiri dan pengetahuan itu sendiri, tanpa adanya rasa tanggung-jawab tentang apa yang mereka pelajari dan kaitannya dengan diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya, terutama umat manusia lainnya.
Inilah yang disebut dengan orang yang mendaku dirinya intelektual, tapi sebenarnya “kosong”. Dari dalam dirinya yang ada hanyalah memikirkan dirinya sendiri, jabatan, status, dan segala hal yang berkaitan dengan eksistensi dirinya. Lingkungan sekitar dan masalah “bumi manusia” yang begitu kompleks bagi mereka tidaklah penting dan kalaupun diperhatikan hanya sebatas dimanfaatkan untuk kepentingan dan keuntungan dirinya. Mereka yang tidak memiliki kepedulian dengan kemanusiaan dan lingkungan sekitar inilah yang oleh Pramoedya disebut dengan intelektual blangko alias intelektual kosong tanpa keterlibatan diri apapun yang berkaitan dengan persoalan kemanusiaan di sekitar lingkungannya.1
Orang yang (berusaha) memerankan diri sebagai intelektual adalah yang memiliki akses pendidikan yang baik, sebuah keistimewaan yang semestinya tidak hanya memikirkan diri dan pengetahuannya saja, tapi membuka mata dan hati untuk kemanusiaan di sekitarnya. Inilah yang disebut dengan fungsi intelektual di tengah masyarakat yang tidak serta merta dilakukan oleh semua yang mendaku dirinya intelektual. Memerankan fungsi sebagai intelektual menuntut tanggung-jawab moral untuk terlibat dalam problem-problem kemanusiaan yang tengah terjadi di lingkungan sekitar. Semuanya digerakkan karena tanggung-jawab dan moralitas yang melampaui kepentingan diri, bahkan pengetahuan itu sendiri. Kata kuncinya adalah pelibatan sosial.
Bagaimana sikap tanggung-jawab pelibatan sosial itu bisa terbentuk pada diri intelektual? Salah satu pintu masuknya adalah seperti yang ditawarkan Dhakidae (2003) bahwa yang dinamakan intelektual, cendekiawan, kecendekiaan, atau kaum cendekiawan adalah relasi dan bukan definisi, yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan dan kebudayaan. Perhatian utama diberikan kepada relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak, dan peran yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang dihasilkan untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum intelektual atau cendekiawan ini.
Intelektual dan Sikap
Pramoedya melanjutkan, intelektual blangko yang “kosong” ini bukan seperti mesin yang bisa dihidupkan dan digerakkan untuk berbagai kepentingan. Intelektual dituntut kejelian (keelokan) dan kepiawaiannya untuk melihat perannya dalam situasi nasional yang tengah terjadi dan kemampuan untuk melihat hari depan. Pada momen inilah intelektual bukan hanya sekadar bagian dari nasionnya (bangsanya), tetapi juga nurani nasionnya.
Intelektual bukan hanya sekadar gudang ilmu dan pengetahuan, tetapi ia juga dapat memilih yang baik dan terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak. Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri, bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di depan yang akan ditempuh.
Berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual kerana tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskan. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya kerana keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia (Ananta Toer, 1981).
Beberapa sikap yang sepatutnya dambil oleh intelektual Indonesia dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer diantaranya adalah: pertama, meninggalkan apa yang disebutnya dengan “budaya kuburan”2 dan mengambil penalaran/pengetahuan/analisis keilmuan sebagai satu-satunya jalan membina hari depan. Sikap kedua adalah tetap kritis terhadap potensi pengaruh budaya masyarakat atau komunitas yang kalah dan mengajak kalah. Sikap ketiga, adalah berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual kerana tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskan.
Sikap keempat yang diungkapkan Pramoedya adalah kesadaran intelektual Indonesia atas pijakannya dan konteks negaranya yang berada dalam jajaran Dunia Ketiga yang tidak terlepas relasinya dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas relasinya dengan dunia Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya dan tanpa sadar akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.
Sikap kelima adalah kesadaran para intelektual Indonesia untuk selalu mengkritisi Barat yang memiliki kekuasaan untuk menentukan segalanya. Kaum intelektual Indonesia kerananya diajak pertanggungan jawaban historis. Atas dasar ini, Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan menggantinya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula, bisa diharapkan Barat melepaskan pandangan. Baratnya dan standar Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.
Sikap keenam adalah kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna.
Sikap ketujuh adalah kesadaran bagi kaum intelektual Indonesia harus menata kembali dan mengorganisasi secara sedar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya. Hal ini sejalan dengan sikap kedelapan yaitu kekuatan peradaban barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis oleh kaum intelektual Indonesia. Sikap kesembilan, kaum intelektual Indonesia sebagai bagian dari Dunia Ketiga semestinya mempercepat lahirnya kesatuan bahasa. Sikap kesepuluh adalah keyakinan bahwa peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kepiawaiannya tentang peran bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Sikap kesepuluh adalah kaum intelektual Indonesia sebagai nalar dan nurani bangsanya memiliki kemampuan untuk bernalar, berpikir dengan inteleknya secara alami. 3
DAFTAR PUSTAKA
Ananata Toer, Pramoedya (1981). Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga. Makalah dalam seminar Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di Jakarta tahun 1981
Dhakidae, Daniel (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gremedia.
1 Bagian ini adalah petikan teks ceramah Pramoedya Ananata Toer di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta atas undangan Senat Mahasiswa UI tahun 1981. Setelah ceramah ini disampaikan, beberapa pemimpin mahasiswa telah ditahan selama beberapa hari.
2 Pramoedya menggunakan istilah “budaya kuburan” merujuk kepada kebudayaan pada masa purba yang sudah dikebumikan/dikuburkan, dan sudah tidak hidup dan dianut lagi oleh masyarakat.
3 Seluruh bagian ini disarikan dari teks ceramah Pramoedya Ananata Toer di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta atas undangan Senat Mahasiswa UI tahun 1981. Setelah ceramah ini disampaikan, beberapa pemimpin mahasiswa telah ditahan selama beberapa hari.
uc3mun.anudi.org sangkarbet sangkarbet