Dulunya tanah pasir tak bernilai ekonomis. Tapi, seiring berkembangnya kebutuhan manusia, keberadaan tanah pasir kini mulai dicari-cari sampai ke pelosok. Dari aliran sungai, terdapat tanah pasir yang memiliki kadar berbeda-beda.
Salah satu sungai yang menjadi sumber ekonomi tersebut adalah sungai di Desa Semana, Mambal, Badung. Tanah pasir ini dikeruk Ketut Suki, Wayan Wiwik, Wayan Merta dan ibu-ibu lainnya di sekitar desa tersebut sejak dahulu.
Saya bertemu mereka Sabtu lalu. Ketiga ibu tangguh ini terlihat bersemangat naik turun tangga usai mengeruk pasir. Mereka menyunjung bakul pasir di atas kepala.
Mereka mengaku melakoni kegiatan ini sebagai pekerjaan sambilan selain sebagai petani maupun sebagai penyakap. Setiap harinya mulai pukul 05.30 – 10.00 Wita mereka naik turun tangga sebanyak 70 kali untuk mengeruk pasir di aliran sungai Desa Semana tersebut.
Satu hal yang tampak begitu unik adalah ketika mereka harus turun ke sungai. Mereka terlihat melompat dari pinggir sungai ke bawah dengan ketinggian 3 meter. Sungguh ibu-ibu yang tangguh.
Tak heran jika perawakan mereka terlihat sedikit kekar dibandingkan dengan ibu-ibu di kota besar, akibat dari setiap hari mereka harus memikul beban tanah pasir.
Pasir yang terkumpul langsung dibeli oleh pemasok dan setiap orang diberi imbalan sebesar Rp 50.000 per hari. “Setiap mengeruk pasir di sini, lewat dari jam 10 pagi pasti badan bisa menggigil,” ungkap Ketut Suki.
Ternyata begitu berat perjuangan ibu-ibu dari aliran sungai Semana ini, dalam mendapatkan uang. Untuk mendapatkan pasir pun setiap hari mereka harus menyelam berkali-kali mengeruk pasir di dasar sungai. [b]