Sajak seorang penyair muda dimuat sekaligus di dua koran nasional.
Puja-puji berdatangan, tetapi ada juga yang mencemooh. Sang penyair pun sampai harus menjelaskan di sebuah grup Facebook bahwa dia telah mengirim surat elektronik ke salah satu koran dan menarik naskah puisi yang dikirimkan. Klarifikasi itu lengkap dengan cuplikan layar (screenshot) surat elektronik tersebut.
Kasus pemuatan ganda baik puisi atau cerpen memang beberapa kali terjadi. Kesalahan biasanya diarahkan pada penulis yang dianggap tak mengerti etika, mengirim karya ke lebih dari satu media.
Saya melihat ini disebabkan karena kurangnya komunikasi antara penulis dan redaktur. Seperti penggambaran di atas sang penulis (penyair) telah menyampaikan penarikan naskah puisi tetapi terlewatkan. Akibatnya, karya pun tetap dimuat di media bersangkutan dan media lain yang juga dikirimi naskah oleh penyair.
Kelihatannya memang sepele tetapi ini patut menjadi perhatian bersama karena menyangkut profesionalisme kepengarangan dan kerja redaksi sebuah media. Dari pengalaman saya sebagai penulis, tak semua redaktur mau berkorespondensi dengan penulis. Jangankan menyampaikan bahwa naskah telah diterima dan sedang diproses, menjawab surat elektronik saja tidak mau. Tak ada komunikasi dan human touch antara penulis dan redaktur.
Beberapa redaktur begitu ‘dingin’. Mungkin karena terlampau sibuk atau bisa jadi karena merasa mempunyai posisi penting sehingga jaim (jaga image). Tak mau mengabarkan penulis sekadar memberi tahu bahwa naskah diterima, telah dimuat atau ditolak dengan alasan tertentu sehingga bisa terjadi pemuatan ganda.
Hubungan penulis-redaktur di masa sekarang begitu berbeda dengan dulu. Kita sering membaca bagaimana hubungan Chairil Anwar dan HB Jassin. Mereka begitu dekat. Chairil bahkan dikabarkan saat mengirim puisi ke Panji Pustaka di mana Jassin menjadi salah satu redakturnya meminta honor terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan Jassin memahami keadaan Chairil.
Di saat Jassin mengetahui beberapa sajak Chairil merupakan terjemahan dari karya asing yang diakui sebagai miliknya, ia tak segan-segan memarahi Chairil. Namun, hal itu tak mempengaruhi persahabatan mereka. Jassin tetap menunjukkan integritasnya sebagai kritikus sastra yang berpijak pada karya sastra itu sendiri tanpa terlalu mempersoalkan moralitas sang penyair.
Kedekatan Chairil dan Jassin sebagai penulis dan redaktur sepertinya sulit ditemukan di zaman sekarang. Meskipun masih ada redaktur yang dekat dengan penulis namun itu sangat jarang. Di Bali kita mengenal Umbu Landu Paranggi yang begitu intens sebagai redaktur sastra sebuah koran harian yang terbit sejak 1948, semenjak koran itu digawangi pendirinya hingga kini berganti manajemen. Tak hanya memuat karya para penulis senior ia juga memuat karya penulis pemula dan mengikuti perkembangan mereka dengan cara yang ‘misterius’.
Umbu bahkan mengingat hari ulang tahun para penulis dan kerap memberi hadiah ulang tahun berupa buku kepada mereka. Ia juga merawat bibit potensi yang dimiliki penulis yang rata-rata berusia muda. Sejak mereka SMP atau SMA Umbu dengan tekun menularkan spirit sastra. Dia bahkan terjun langsung membuat acara diskusi atau baca puisi seperti yang beberapa tahun terakhir dilakukanya di Jatijagat Kampung Puisi. Komunitas sastra dan budaya di Denpasar ini anggotanya tak hanya penyair dan seniman tapi juga mahasiswa dan siswa beberapa universitas dan sekolah di Denpasar.
Adanya hubungan dekat antara penulis dan redaktur yang tak hanya dilihat dari materi, nama besar redaktur atau penulis, kedekatan berdasarkan citra dan ide yang sama atau jaringan yang hendak dibangun saya yakin mampu menciptakan budaya kepengarangan yang sehat. Tidak lagi ada ‘klik-klik-an” atau blok yang justru memisahkan bukan mempersatukan.
Bagaimana sastra Indonesia bisa maju bahkan mendunia jika pelaku sastra tak bersatu, meributkan hal remeh-temeh dan melupakan esensi kepengarangan yakni menumbuhkan buddhi atau intelejensia serta menajamkan rasa yang diterjemahkan dengan tumbuhnya empati dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar? [b]
Kita perlu orang seperti Chairil Anwar atau Umbu Landu Paranggi yang mengabdi sepenuh hati pada dunia sastra.
Kampung Puisi perlu ada dengan berbagai macam kegiatan yang membuat mereka bisa tumbuh secara organik.
Ingatlah ujung pena lebih ampuh dari ujung senjata.
Penyair bisa mati tapi puisi hidup seribu tahun lagi.