Bisnis tidak harus semata urusan mencari keuntungan secara ekonomi.
Bagi Agung Alit, Direktur PT Teduh Mitra Utama, perusahaan sekaligus eksportir kerajinan di Bali, hal yang lebih penting adalah membangun kesadaran terhadap kemanusiaan. Agung Alit mengutamakan kejujuran.
Misalnya menyampaikan berapa harga yang dia beli dari produsen dan berapa keuntungan yang dia dapat. Usaha miliknya juga mengutamakan karyawan perempuan, tidak mempekerjakan anak-anak, peduli lingkungan, dan membuat sistem pembayaran di muka.
Prinsip tersebut adalah hal mendasar pada bisnis yang menerapkan sistem perdagangan berkeadlilan (fair trade). Menurut Gung Alit, panggilan akrabnya, fair trade bisa dilihat dari dua perspektif: sebagai gerakan dan sebagai model bisnis.
Sebagai gerakan, fair trade terwujud dalam bentuk organisasi International Federation of Alternative Trade (IFAT). Organisasi payung gerakan fair trade sedunia ini bermain di advokasi kebijakan internasional. Pada pertemuan tahunan World Trade Organisation (WTO), IFAT selalu muncul. Sejak di Cancun Mexico hingga di Hongkong tahun lalu mereka hadir sebagai suara alternatif untuk mewujudkan perdagangan yang lebih adil.
Perdagangan lebih adil itu berdasar pada sembilan prinsip. Di antaranya pengentasan kemiskinan, peduli lingkungan, tranparansi, pembayaran yang adil, kesetaraan gender, tidak menggunakan pekerja anak, dan keberlanjutan. Inilah prinisp yang tidak hanya dipegang teguh tapi juga dilaksanakan ketika fair trade menjadi model bisnis.
Menurut Gung Alit, free trade harus dilawan tak hanya dengan wacana tapi juga gerakan dan sistem alternatif. “Karena free trade hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka (pelaku perdagangan bebas) menentukan semua hal demi keuntungan mereka. Contoh di Bali adalah jaringan hotel internasional. Semuanya disesuaikan dengan standar mereka sehingga kita harus jadi orang lain,” tutur pria kelahiran Denpasar, 4 Juli 1961 ini.
Di tingkat lebih nyata, Gung Alit melihat praktik tidak adil itu terjadi pada perajin-perajin Bali. Perajin hanya menghasilkan produk dan dijual pada pengusaha yang menjualnya lagi pada konsumen. Perajin tidak pernah tahu berapa kerajinan mereka dihargai pembeli. Di sisi lain pembayaran pun sering terlambat.
Namun praktik paling menyedihkan bagi Gung Alit adalah potongan harga hingga 40 persen bagi pemandu wisata yang membawa tamu untuk membeli kerajinan tersebut. “Dengan potongan 40 persen, lalu perajin itu dapat apa?” tanya bapak dua anak ini.
Gairah pariwisata di Bali, bagi Gung Alit, juga menimbulkan dampak negatif bagi orang Bali. “Kalau memang pariwisata menyejahterakan orang Bali, kenapa makin banyak orang Bali menjual tanah?” ujarnya.
Melihat praktik tidak adil itu, Gung Alit kemudian mendirikan Yayasan Mitra Bali pada 1993. Sebelumnya sejak 1991 dia sebagai pekerja lapangan Yayasan Pekerti Jakarta di Bali. Pekerjaan itu membuatnya sering bertemu perajin dan tahu masalah yang mereka hadapi. Gung Alit juga pernah aktif di Kelompok Merah Putih, kelompok diskusi aktivis di Bali.
“Hal yang menarik saya adalah karena ada sisi kemanusiaan untuk kaum marjinal dalam pekerjaan ini,” kata Sekretaris Jenderal Forum Fair Trade Indonesia ini.
Bermodal Rp 7 juta, pemberian dari orang Jepang yang simpati dengan idenya, Gung Alit mendirikan yayasan pendampingan perajin tersebut. Dua tahun kemudian dia mendirikan PT Teduh Mitra Utama sebagai badan usaha di bawah Yayasan Mitra Bali agar lebih mudah melakukan perdagangan kerajinan. Usahanya sempat megap-megap antara hidup dan mati. Hingga 1997, Gung Alit hanya mendapat kerajinan dari lima perajin.
Ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997, Mitra Bali justru mendapat banyak keuntungan. Sebab pembayaran dari pembeli dalam bentuk dolar. Kurs rupiah yang melemah justru jadi berkah. Tujuan ekspornya pun tidak hanya Jepang, tapi meluas ke Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Spanyol, Austria, dan Kanada. Luasnya pasar itu didukung oleh jaringan Gung Alit di bidang gerakan fair trade.
Saat ini Gung Alit mendampingi 80 kelompok perajin yang bisa menghidupi lebih dari 2000 orang. Perajin ini tersebar di Bali serta sebagian Jawa Timur dan Yogyakarta. Hasil kerajinan mereka biasanya berupa pernak-pernik hiasan seperti gantungan kunci, bingkai foto, tempat lilin, patung, dan semacamnya. Selain itu dia juga membuat kerajinan sendiri di Desa Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali. Gianyar merupkan sentra kerajinan di Bali.
Sejak 2005 lalu, dia juga membuka toko di Centro, pusat perbelanjaan mewah di Kuta. “Itu adalah bagian dari politik image,” tuturnya soal kenapa Mitra Bali mendirikan toko di sana. Dari modal Rp 7 juta, kini omzet usaha Gung Alit mencapai Rp 5 milyar per tahun.
Gung Alit sangat tegas menerapkan fair trade sebagai model bisnis. Hal sepele seperti pembayaran misalnya sangat dia perhatikan. Dia selalu membayar uang muka 50 persen di muka ketika memesan produk dari perajin. Padahal, menurutnya, banyak pengusaha kerajinan yang bahkan sampai empat bulan setelah pembelian tidak juga membayar ke perajin. “Makanya banyak yang bilang Mitra Bali is the best in payment,” ujarnya yakin.
Tak hanya memperhatikan pembayaran, Gung Alit juga memberikan penjelasan detail pada produsen dan pembeli produk. Misalnya berapa harga yang dia beli dari perajin dan berapa harga yang dia jual pada pembeli. Kalau ada perubahan harga, hal itu didiskusikan bersama perajin maupun pembeli. Jadi harga yang didapat adalah kesepakatan bersama, bukan sepihak.
Ketika sudah bisa menerapkan fair trade sebagai model bisnis, Gung Alit juga masih terus menjaga spirit fair trade sebagai gerakan. Tak hanya sering ikut dalam aksi anti free trade bersama anggota IFAT lain, -dia misalnya ikut demo anti WTO di Hongkong tahun lalu-, Gung Alit juga menyebarluaskan gagasan itu pada perajin-perajin dampingannya. Tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami perajin. Menyebarluaskan ide fair trade itu dilakukan dengan menyentuh wilayah domestik para perajin. Misalnya melibatkan istri dalam pekerjaan sebagai proses keseteraan gender atau tidak mempekerjakan anak kecil sebagai bagian dari perlindungan anak.
Untuk mengukur keberhasilan praktik fair trade di perusahaannya maupun pada perajin dampingan, Gung Alit dengan stafnya di Yayasan Mitra Bali melakukan evaluasi rutin tiap tahun. Evaluasi itu antara lain laporan keuangan, self assesment, dan penilaian dari pihak luar. Nantinya hasil evaluasi itu akan dibawa ke kantor pusat IFAT. “Dengan cara seperti itu, kami bisa terus menjaga agar perdagangan yang kami lakukan memang masih pada jalur berkeadilan,” ujarnya. [b]
pak agung (gung alit)
saya nanko asisten produser untuk dokumenter yang sedang kami buat di bali (www.balithefilm.com). kami sedang mencari musik komposer untuk mengisi film tersebut, dari informasi yang saya kumpulkan pak gung alit dapat membantu saya. saya mencari musik yang bernuansa bali.
apabila pak agung berkenan, dapat menghubungi email saya nankojogja@gmail.com
atau di nomer bali saya +62 361 859 7226
saya harap kita dapat bekerja sama
atas bantuannya kami ucapkan terimakasih
nanko
website
http://www.gsproductions.com.my