Ini bukan soal uang, tapi empati dan solidaritas.
Lingkara Photography Community kembali menggelar seri diskusi Photo Coffee, Rabu lalu. Awalnya seri diskusi ini untuk membicarakan foto sambil ngopi. Seiring berjalannya waktu, tema diskusi Photo Coffee juga beragam. Seperti Rabu malam lalu, tema yang dibahas adalah Fair Trade atau perdagangan yang adil.
Mitra Bali, usaha Fair Trade yang pertama meraih label Fair Trade Guaranteed di Indonesia. Sejak tahun 2000, Mitra Bali menjadi fasilitator pasar yang fokus pada barang kerajinan. Pemilik Mitra Bali hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini, yaitu Agung Alit dan Hani Duarsa. Selain itu, Komang Adi, perancang produk dari Mitra Bali pun turut serta.
Lingkara yang baru saja membuka toko khusus produk upcycle pada 15 Juni lalu, menjadikan kesempatan ini sebagai ajang belajar wirausaha. Namun sesungguhnya tak hanya Lingkara, peserta yang hadir hari itu juga ikut berdiskusi tentang sistem perdagangan adil.
Agung Alit menceritakan awal mula Mitra Bali dengan mengaitkannya dengan tragedi pembunuhan massal tahun 1965. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1968, penanaman modal asing dimulai di Indonesia. Sejak saat itu, kapitalisme asing menyerbu Indonesia hingga melahirkan pariwisata massal.
“Indonesia kaya sumber daya alam, tapi hampir semuanya sudah dikuasai oleh negara lain,” ungkap Agung Alit.
Penguasaan kapitalisme yang semakin meluas rupanya tak berbanding lurus pada kesejahteraan masyarakat. Para petani, perajin, serta kelompok usaha kecil seringkali menambah piutang karena distributor atau tengkulak tidak membayar produk mereka secara langsung.
Agung Alit mengumpamakan seorang petani yang menjual hasil tani kepada tengkulak atau pengusaha besar. Pembayaran baru dilakukan setelah tiga bulan, bahkan lebih. Padahal, para petani ini harus menyediakan makanan untuk sarapan, makan siang hingga makan malam. Tiga kali setiap hari.
Situasi ini mendorong Agung Alit bersama Mitra Bali menggerakkan sistem perdagangan yang adil atau Fair Trade.
Gerakan perdagangan yang adil ini berkumpul dalam beragam organisasi. Wadah para pengusaha Fair Trade di tingkat internasional bernama World Fair Trade Organization (WFTO). Organisasi tersebut memiliki cabang di setiap regional, salah satunya Asia. Di Indonesia, para pengusaha Fair Trade bernaung di bawah Forum Fair Trade Indonesia (FFTI).
Hani Duarsa menyebutkan saat ini anggota FFTI masih dapat dihitung jari. Sedangkan negara lain di Asia telah memiliki ratusan usaha Fair Trade. Contohnya India memiliki 185 anggota pengusahan Fair Trade.
“Kita (di Indonesia-red) masih jauh tertinggal,” ujar Hani Duarsa.
Tak hanya gerakan, Fair Trade tetaplah bisnis. Seperti bisnis pada umumnya, Fair Trade juga memiliki model bisnis yang mengarah pada wirausaha sosial. Dalam Fair Trade, pengusaha wajib membayar lunas kepada penyedia produk. Dalam hal ini, Mitra Bali berhubungan secara intens dengan para perajin.
“Setiap perajin menyetorkan produknya ke kantor kami, langsung dibayar lunas,” kata Agung Alit.
Dalam sistem perdagangan yang adil, maka seluruhnya harus transparan. Utamanya soal pembayaran. Namun, Agung Alit tak ingin bicara soal pembayaran ataupun uang saja. Ia menegaskan bahwa roh dari Fair Trade adalah empati dan solidaritas. Sejahtera bukan hanya milik pengusaha, juga milik perajin.
Fair Trade juga merupakan bisnis yang peduli lingkungan. Sebagai produsen barang kerajinan, bahan baku utama yang digunakan oleh para perajin Mitra Bali adalah kayu. Mereka menetapkan jenis kayu belalu atau albesia sebagai bahan baku utama karena sifatnya cepat tumbuh. Selain itu, jenis kayu ini adalah tumbuhan asli Indonesia.
“Kita upayakan semuanya lokal. Perajin lokal, bahan baku lokal,” ungkap Hani Duarsa.
Produk Berkualitas
Sekalipun wirausaha sosial, produk juga harus bermutu dan unik. Begitulah persaingan usaha yang berlomba menawarkan produk terbaik. Hani Duarsa menjelaskan persaingan ini bukan hanya antarprovinsi dan di dalam negeri, melainkan persaingan dengan negara lain. Maka dari itu, kualitas produk harus dijaga.
Lalu, kesiapan produsen dalam memenuhi permintaan turut menjadi perhatian. Menurut Hani Duarsa, pengusaha Fair Trade perlu memahami ketersediaan bahan baku produknya. Jika suatu saat permintaan membludak, produksi akan tetap berjalan lancar. Untuk itu, Hani mendukung bahan baku lokal agar lebih mudah dicari.
Bicara soal tren produk, Komang Adi menjelaskan bahwa hubungan baik dengan pembeli sangat penting. Pembeli dapat menyampaikan tren warna yang sedang diminati dan jenis produk yang laku. Dari diskusi kecil itu, Mitra Bali perlahan mulai mengembangkan produknya. Mulanya, Mitra Bali mendistribusikan barang kerajinan yang bersifat dekoratif. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, barang kerajinan dari Mitra Bali kini lebih fungsional.
“Para pembeli kami boleh mengunjungi kantor kami dan para perajin. Mereka juga ingin tahu siapa yang mengerjakan produk yang mereka beli,” jelas Komang Adi.
Hal menarik lainnya, Mitra Bali tak hanya menjual produk, tapi menceritakan sesuatu di balik produknya. Hani menambahkan, setiap produk mempunyai ceritanya sendiri. Cerita itu boleh jadi tentang perajinnya atau bahan baku produk itu sendiri.
Hani Duarsa pun berpesan sebuah usaha memerlukan totalitas. Apapun jenis usahanya, termasuk Fair Trade. Bisnis yang adil ini juga pasti memiliki pasang surut. Maka, pada tahap permulaan usaha, pengusaha harus mengeksplorasi produk apa saja. Setelah setahun, pengusaha wajib mereview produk mana yang laku.
“Kalau kita sudah tahu produk mana yang jadi best seller, kita dapat mengembangkannya lagi,” tegas Hani Duarsa.
Bisnis memang tetaplah bisnis. Di sana tetap ada keuntungan yang dicari. Bedanya dalam Fair Trade, keuntungan dicari bersama dan dibagi secara adil. Sebab, sejahtera patut dinikmati bersama. [b]