Bendesa Adat Guliang Kangin, Ngakan Putu Suarsana, menceritakan terbangunnya Desa Wisata Guliang Kangin saat menerima kunjungan mahasiswa Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian Unud, Sabtu, (26/5).
Pada awalnya, ide I Ketut Sediyasa ditolak masyarakat.
Pada 2012 lalu, I Ketut Sediayasa mempunyai ide untuk mengembangkan tempat kelahirannya, Desa Adat Guliang Kangin, Desa Tamanbali, Bangli menjadi destinasi wisata. I Ketut Sediayasa menyampaikan ide itu pada forum adat.
Miris, idenya ditolak oleh masyarakat.
Meski ditolak, ide I Ketut Sediayasa disambut baik oleh beberapa tokoh masyarakat. Mereka menyadari ide yang ditawarkannya itu bukan tanpa alasan. Berbekal pengalaman dibidang travel agent, Sediayasa telah mengunjungi berbagai daerah yang berkembang menjadi destinasi wisata.
Dampak yang dilihatnya, daerah-daerah tersebut mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Atas dasar inilah I Ketut Sediayasa berkeinginan untuk mengembangkan tanah kelahirannya menjadi salah satu destinasi wisata di Pulau Dewata.
“Kebetulan beliau sering mengantarkan tamu. Kesimpulan yang beliau dapat, di manapun daerah berkembang menjadi daerah pariwisata, beliau melihat ada perkembangan ekonomi yang lumayan bagus,” kata Bendesa Adat Guliang Kangin, Ngakan Putu Suarsana.
Ngakan mengisahkan perjalanan terbentuknya Desa Wisata Guliang Kangin ketika menerima kunjungan mahasiswa Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian Unud, Sabtu, (26/5).
Suarsana menilai wajar apabila masyarakat pada awalnya menolak adanya gagasan membangun desa wisata itu. Secara umum masyarakat memang belum pernah melihat wisatawan berkunjung ke Desa Adat Guliang Kangin, terlebih berinteraksi secara langsung dengan mereka. Ia menilai hal inilah yang menyebabkan ide membangun desa wisata itu sempat ditolak oleh masyarakat.
“Mereka pesimis itu bisa dilakukan,” kisah Suarsana.
Sikap pesimis masyarakat ini juga didasari dari keberadaan Desa Adat Guliang Kangin yang lokasinya berada di daerah pinggiran. Letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Gianyar di sebelah selatan dan Kabupaten Klungkung di sebelah timur sehingga tidak dilalui oleh jalan raya.
Mengubah ‘Mindset’
Guna menampung ide dari I Ketut Sediayasa, para tokoh masyarakat melakukan berbagai upaya. Harapannya, ide itu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Selama kurung waktu enam bulan, masyarakat selalu diajak untuk berdiskusi mengenai pariwisata.
Diskusi itu dilakukan diberbagai kegiatan seperti paruman adat, diskusi kelompok maupun diskusi kecil, sampai pada diskusi melalui jalur perorangan. Diskusi itu menitikberatkan pada kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan desa wisata.
“Akhirnya sekitar bulan September (2012) kita sepakat bahwa mengambil peran dalam dunia pariwisata atau menjadi destinasi pariwisata,” terang Suarsana.
Suarsana menceritakan dalam upaya mengubah pola pikir masyarakat mengenai pariwisata memang tidak mudah. Berbagai upaya dikerahkan untuk melakukan proses tersebut. Bagi Suarsana, forum-forum adat memiliki peran strategis dalam menyampaikan pesan tersebut kepada masyarakat.
Desa Adat Guliang Kangin memiliki jadwal paruman adat setiap sebulan sekali. Paruman adat ini biasanya dipakai untuk melaksanakan berbagai pembahasan mengenai adat. Lewat kesempatan itu Suarsana dan tokoh masyarakat lain selalu menyelipkan pembahasan materi mengenai pariwisata dan desa wisata. Selain itu, inisiator dalam hal ini I Ketut Sediayasa selalu diundang dalam forum adat untuk memparkan ide-ide mengenai desa wisata tersebut.
Pada paruman adat biasanya hanya dihadiri oleh laki-laki. Meski demikian Suarsana dan para tokoh masyarakat tidak kehabisan ide. Demi edukasi sampai kepada para perempuan, mereka melakukannya melalui forum Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
“Sebelum odalan ada pesangkepan (rapat, red) istri namanya, di sana juga kita susupi materi ini setengah jam,” tutur Suarsana.
Tidak hanya itu, untuk mengedukasi kalangan generasi muda, Suarsana melakukannya lewat forum rapat Seka Teruna-Teruni dan pasraman remaja. Sedangkan untuk anak-anak diedukasi melalui pasraman anak-anak. “Nah untuk anak-anak selain kita masuk dari situ, kita juga masuk melalui sekolah,” tuturnya.
Melalui jalan ini, menurut Suarsana telah terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan desa wisata yang sudah sampai 80 persen. Dicontohkan Suarsana, masyarakat selalu aktif dalam kegiatan wisata seperti ada penjemputan tamu di Pelabuhan Benoa, pelibatan dalam berbagai atraksi dan berbagai hal lainnya.
“Kalau ada wisatawan yang mengambil paket dari penjemputan di Benoa, kita bisa kerahkan masyarakat sampai 60 orang. Dari penari, tukang gambel dan sebagainya,” terang Suarsana.
Meski demikian, Suarsana juga tidak menampik masih ada masyarakat yang belum bisa disentuh dengan edukasi yang demikian.
Lebih lanjut Suarsana menilai, meski masih ada masyarakat yang belum berpartisipasi dalam kegiatan desa wisata dirinya tetap bersyukur. Ia berkaca dari daerah lain yang masyarakatnya enggan berpartisipasi biasanya mengganggu aktivitas wisata. Kejadian semacam ini, menurut Suarsana, tidak terjadi di Desa Wisata Guliang Kangin.
Fokus pada Atraksi
Meski telah disetujui oleh masyarakat untuk terjun ke dunia pariwisata, nyatanya tidak mudah bagi Desa Adat Guliang Kangin untuk mengembangkan diri.
Pada tahap awal, mereka belum menemukan hal unik yang harus ‘dijual’. Kawasan Desa Adat Guliang Kangin tidak memiliki sebuah view yang bagus dan unik, pun sesuatu yang menantang untuk ditawarkan kepada wisatawan. Mereka bercermin pada desa wisata lain seperti Penglipuran yang mempunyai ciri khasnya yang memikat.
Namun, di tangan I Ketut Sediayasa, hal semacam ini dapat diselesaikan. Seperti yang diceritakan Suarsana, Sediayasa mengonsepkan pengembangkan wisata Desa Adat Guliang Kangin bertumpu pada aktivitas atau atraksi. Kegiatan metekap, masak, yoga, dan kini sudah bertambah dengan melukat menjadi atraksi andalan yang ditawarkan Desa Adat Guliang Kangin.
“Yang paling laris itu (atraksi) masak. Wisatawan, terutama Eropa, suka sekali kegiatan memasak seperti membuat klepon. lawar dan lain sebagainya,” tambah Suarsana.
“Terbangunnya desa wisata Guliang Kangin memang muncul dari masyarakat dan hampir tidak ada inisiasi dari pemerintah. Oleh karena itu, kami sering disebut sebagai community based tourism,” tuturnya lagi.
Diakui Pemerintah
Bukan hanya itu, kendala berikutnya dalam pengembangan desa wisata yakni masyarakat kebingungan ketika sudah terdapat wisatawan yang berkunjung. Dilihat oleh Suarsana, hal itu dikarenakan masyarakat belum mengerti mengenai standar operasional prosedur (SOP) atau tata cara menerima wisatawan dengan baik. Ditambah lagi masyarakat masih banyak yang belum fasih dalam berbahasa asing serta belum mengetahui mengenai adanya Sapta Pesona dalam pariwisata.
“Atas dasar inilah kita mulai menghubungi Dinas Pariwisata (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli, red) agar mendapat pembinaaan. Kita juga melakukan kursus bahasa Inggris dengan modal sendiri,” kata Suarsana.
Melalui jalan itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli membina Desa Adat Guliang Kangin dalam pengembangan kelompok sadar wisata (pokdarwis). Atas dasar ini pula Desa Adat Guliang Kangin pada akhirnya ditetapkan menjadi desa wisata berdasarkan SK Bupati Bangli. [b]
Desa wisata perlu 100% mengikutkan rakyat desa yang masih kampungan.
Berikan mereka sarapan/harapan /masa depan.
Sebelumnya sering terjadi, desa jadi seperti ClubMed di Tahiti, sementara orang desa tak tahu apa yang terjadi.
Life was not mean to be easy but can be sweet. Somewhere over the rainbow always good news.
Selamat bekerja keras untuk mencapai kesuksesan.