Empat penari Legong Lanang duduk terlentang.
Napas ketiganya memburu. Keringat membasuh wajah penari legong pria ini. Gelungan legong segera dicabut. Korset dan pakaian yang menekan tubuh segera dilonggarkan.
Para penari yang disambut aplause sangat meriah ini adalah Ade Kamandanu berperan sebagai Condong, A.A Gde Iswara sebagai Jaya Pangus, Kadek Jaya Artha sebagai Kang Ci Wi, dan Dewa Nyoman Irawan sebagai Dewi Danu.
Mereka menarikan Legong dengan lakon Jaya Pangus. Menari dengan pakaian khas penari perempuan, make up, dan lenggak lenggok perempuan. “Zaman dulu Legong kan banyak ditarikan laki-laki, kami ingin mengingatkan kembali,” sahut Artha.
Ia adalah pemuda Desa Peliatan yang juga terkenal dengan pakem Legong yang khas. “Kalau ngagem ada kayang sedikit. Gamelannya juga beda,” tambah mahasiswa Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) ini.
Artha dan kawannya balajar menari sejak kecil. Mereka tergabung dalam Sanggar Sri Loka Pala di Desa Peliatan, Ubud.
Mereka sejak kecil belajar tari khas laki-laki seperti Baris dan Kebyar duduk. Selama setahun terakhir berlatih menarikan Legong.
Semua penari terlihat sangat serius mempersiapkan diri di belakang panggung. Mereka pemanasan dengan merenggangkan tangan dan kaki. Duduk dengan konsentrasi penuh mendengarkan gamelan menanti saat tepat keluar untuk menari perannya. Mereka tak memedulikan penonton yang juga antusias melihat para penari Legong pria ini di belakang panggung.
“Legong Lanang baru pertama kali dipentaskan di PKB,” kata A.A Gede Oka Dalem, pelatih dan pembina sanggar.
Anak dari alm A.A Gede Mandra perintis sanggar tari dan tabuh dari Puri Kaleran, Peliatan ini mengatakan Legong yang ditarikan penari pria sangat penting untuk mengingat sejarah dan juga bagi penarinya.
Zaman dulu, Legong Lanang oleh pria ini dalam pamentasan Nar Nir yang disebut sudah tak ada dipanggungkan lagi.
“Sebagai penari mereka mendapat skill baru bagaimana berekspresi dan berlatih kekuatan tubuh karena menarikan gerakan perempuan,” terang Oka yang menata tarinya.
Selain itu secara sosial, Ia ingin masyarakat memahami kebudayaan tak hanya melihat fisik penari saja. Ia mencontohkan sikap mental untuk mengapresiasi pertunjukkan dan penarinya sendiri.
Dipilihnya Legong menurutnya karena tari ini adalah dasar bagi penari untuk menguasai gerak dan ekspresi. Oka mengaku menyiapkan diri sekitar dua bulan untuk berlatih lakon dan penabuh gamelannya.
Kisah Jaya Pangus banyak digunakan dalam sendratari atau drama. Tentang kejayaan dan juga kehancuran Kerajaan Jaya Pangus yang konon memerintah antara 1181-1269 Masehi. Ia memiliki dua istri yakni Dewi Danu dan Kang Ci Wi. Perkawinannya dengan Dewi Danu melahirkan putra dengan nama Mayadenawa yang bertahta di Kerajaan Bedahulu.
Babak yang diambil adalah kemarahan Dewi Danu setelah mengetahui Jaya Pangus memiliki istri lain Kang Ci Wi. Dengan penuh amarah, Dewi Danu melapor pada ayahnyasehingga Jaya Pangus dikutuk menjadi Barong Landung yang akan menjaga setiap perempatan Agung di Bali.
Pada babak akhir ini, penonton bersorak sorai. Keempat penari pria ini mengenakan topeng termasuk Jaya Pangus yang topengnya mirip dengan barong-barong Landung yang disakralkan ini.
Jika ingin menonton pementasan ini, bisa datang ke panggung Balerung, Banjar Teruna, Peliatan, Ubud. Telp 0361 970503. [b]