Tak sampai 24 jam dipasang, instalasi seni Not For Sale itu pun dibongkar.
Pengelola kawasan wisata Desa Ceking, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar keberatan terhadap instalasi tersebut. Mereka merasa terganggu.
Instalasi dari bambu itu dipasang oleh seniman Gede Suanda yang lebih akrab dipanggil Gede Sayur. Bersama dua temannya dan pemilik sawah, Sayur memasang batang-batang bambu tersebut membentuk tulisan Not For Sale itu pada Sabtu pertengahan Oktober lalu dari pukul 9 hingga 3 sore.
Batangan bambu membentuk tulisan Not For Sale itu dipasang di persawahan Banjar Kebon, Desa Kedisan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Tapi, sawah ini justru menjadi pemandangan bagi Desa Ceking, yang berada di jalan raya antara Ubud, Gianyar – Kintamani, Bangli. Dari Desa Ceking, tulisan Not For Sale itu telrihat jelas di antara hijau dan anggunnya terasering sawah.
Esok paginya pengelola kawasan wisata Desa Ceking bersama polisi dan pengurus desa mendatangi pemilik sawah. Mereka meminta agar pemilik sawah membongkar seni instalasi tersebut. Hari itu pula, pemilik sawah yang dibayar Rp 500 ribu bersedia membongkar bambu-bambu tersebut.
Sekitar pukul 12 Wita, ketika saya ke sana, sebagian tulisan Not For Sale sudah hilang. Hanya tersisa tulisan For Sale. Siang itu, petani pemilik sawah sedang membongkarnya. Sekitar 30 menit kemudian, semua tulisan instalasi dari bambu itu pun hilang.
Tidak ada sisa sama sekali seni instalasi Not For Sale di kawasan terasering Desa Ceking.
Namun, Gede Sayur, pembuat seni instalasi tersebut mengaku tidak akan berhenti. Dia akan tetap membuat instalasi serupa di tempat lain meskipun mendapat tentangan. Lagian, menurutnya, tujuan pemasangan instalasi di Ceking juga sudah tercapai. Petani pemilik sawah sudah mendapatkan hak lebih tinggi, dibayar Rp 2 juta tiap bulan dari sebelumnya hanya Rp 500 ribu.
Seperti umumnya terjadi di Bali, pemilik sawah di Ceking memang semata objek. Keindahan sawah mereka dipromosikan lewat berbagai media untuk meminat turis. Hasil kerja keras mereka dinikmati turis dan pelaku wisata lain. Namun, petani berada di urutan paling bawah dalam piramida penikmat kue pariwisata.
Maka, petani Bali berlomba-lomba menjual sawah mereka. Apa boleh buat. Hasil jual sawah jauh lebih meyakinkan daripada hasil kerja keras mengolah sawah. Maraknya penjualan sawah terutama terjadi di pusat-pusat pariwisata termasuk Ubud, di mana Gede Sayur lahir, besar, dan tinggal sekarang.
Saya menemui Gede Sayur di Desa Junjungan, Kecamatan Ubud. Dari pusat keriuhan Ubud seperti puri dan pasar, desa ini berjarak sekitar 10 km. Vila dan art shop berjejer sepanjang jalan dari Ubud ke Junjungan. Begitu pula di sekitar galeri di mana Gede Sayur sekarang tinggal.
Menurut Sayur, hingga sekitar 1999, tak ada satu pun vila di desanya. Kini vila-vila bertebaran di kanan kiri jalan. Mereka menggantikan sawah-sawah yang semula menjadi tumpuan warga sebagai sumber penghidupan. Pada 1997 dulu, harga tanah hanya Rp 7 juta per are. Namun sekarang bisa sampai Rp 700 juta per are atau 100 meter persegi.
Desa Junjungan bisa menjadi gambaran betapa cepatnya alih fungsi lahan di Bali. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, saat ini hanya ada 1.612 unit subak dengan areal sawah 82.095 hektar. Padahal, pada 1997 jumlah Subak masih sekitar 3.000 unit dengan sawah 87.850 hektar.
Melihat sendiri cepatnya alih fungsi lahan di Bali, termasuk desanya, Gede Sayur pun menjadikan seni sebagai media untuk mengingatkan agar petani di Bali tidak menjual tanahnya. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sekaligus mengkritik kurangnya perhatian pemerintah terhadap laju alih fungsi lahan tersebut.
Berikut obrolan dengan Gede Sayur di Luden House, galeri kecil sekaligus tempat kumpulnya bersama warga setempat akhir Oktober lalu. Obrolan selama sekitar 1 jam ini ditingkahi suara pindekan, semacam kitiran, di sawah samping galeri selama kami ngobrol.
Bagaimana bisa muncul ide bikin seni instalasi Not For Sale?
Awalnya saya kuliah di Jogja. Pas saya pergi ke Jogja, belum ada satu pun vila. Masih penuh sawah. Sesekali saya pulang, misalnya pas akhir semester, kok semakin banyak tanah dijual. Kok makin banyak vila dibangun.
Setelah selesai kuliah di ISI Jogja pada 2006, saya kembali ke kampung. Ada juga beberapa teman yang pulang, si Nano. Pagi-pagi saya ajak ngobrol bersama teman lain, Pande Setiawan untuk bikin seni instalasi. Tercetus ide ini. Tempat di sawah saya. Awalnya kami tidak sampai berpikir akan seperti ini. Ketika itu niat kami hanya sebagai cermin untuk diri kita sendiri. Bukan orang lain. Intinya ke kita sebenarnya, bukan ke orang lain.
Daerah ini satu desa?
Ini sebenarnya perbatasan Junjungan dengan desa sebelah.
Maraknya penjualan sawah itu hanya di sini?
Tidak juga. Terjadi hampir di semua wilayah di sekitar desa.
Rata-rata siapa yang beli?
Bermacam-macam. Ada warga Indonesia. Ada warga asing. Cuma ada juga warga lokal yang pakai atas nama.
Siapa yang punya?
Sekarang yang paling banyak orang kita juga yang punya vila. Banyak orang bule istrinya orang Indonesia. Semuanya vila. Pemiliknya mengontrakkan ke tamu.
Di balik itu ada apa sebenarnya dengan maraknya penjualan sawah?
Tidak tahu ya. Kenapa pola pikirnya sangat mudah menjual tanah. Mungkin karena perubahan pola pikir. Kita dulu orang produktif tapi sekarang menjadi konsumtif. Kita terlena di arus global yang kita tidak bisa setir. Justru kita yang disetir globalisasi.
Kita yang rentan membawa Bali. Kita yang terlena.
Sebagai orang Bali, tanah itu apa menurutmu?
Intinya tanah itu sakral. Kesakralannya itu harus dijaga. Tanpa tanah kita tidak bisa ngapa-ngapain. Kita tumbuh dari tanah. Kita hidup dari tanah.
Waktu bikin instalasi dulu bagaimana sikap keluarga?
Saya hanya bergerak dengan tiga orang. Tidak ngomong dengan keluarga. Setelah jadi baru ngobrol dengan bapak ibu tentang kira-kira bagaimana nanti ke depan kondisi di sini.
Bagaimana reaksi dari warga desa?
Dari orang terdekat dulu ya, keluarga. Mereka mempertanyakan juga hal-hal kecil. Misalnya banyak turis ke sana, kenapa tidak disediakan kotak donasi. Saya bilang arahnya bukan ke sana tapi untuk penyadaran.
Setelah itu kami kadang-kadang jual merchandise. Beberapa hasilnya dikasih ke keluarga petani. Biar mereka senang.
Kepala lingkungan saya, menurut gosip, mempertanyakan. Dia bertanya kalau memang Sayur berani tanggung jawab, menolak menjual tanah, memang dia bisa menjamin hidup warga. Saya bilang, instalasi itu kan untuk saya sendiri, bukan yang lain. Saya murni berkesenian.
[Ketika lagi ngobrol, datang adik sepupu Sayur. Dia ikut bantu bikin seni instalasi di Ceking.]
Bagaimana bisa bikin instalasi di Ceking?
Kita biasa jalan ke Ceking. Karena di situ enak. Lihat orang membuat patung Garuda. Ngobrol dengan petani. Jadi dapat ceritanya, termasuk keluh kesah mereka.
Apa keluh kesahnya?
Mereka kayak ditekan oleh pengelola. Ini kan dua desa. Desa Kedisan Banjar Kebon dan Desa Tegalalang. Sebelum mereka keluh kesah, saya lihat juga cara kerja mereka. Kok mereka minta donasi tersebut ke turis. Orang-orang asing yang turun dimintai donasi. Mereka minta-minta. Ada kotak donasi di tiga tempat.
Turisnya bingung. Kadang-kadang mereka sampai balik.
Wah, kalau ini diteruskan kan jelek imagenya. Jadinya kayak ngemis. Itu yang punya tanah. Kok begini, minta-minta? Ya, kalau tidak begini gimana caranya. Masak hanya mengandalkan Rp 500 ribu per bulan dari atas sementara sudah tiga bulan nunggak.
Dari situ pendekatan sekitar tiga bulan. Ngobrol untuk tahu apa yang terjadi. Saya punya keinginan besar bagaimana menghilangkan image (ngemis) meski ada donasi ke petani. Kemarin saya titipin stiker dan merchandise tentang Ceking. Tapi belum kontrol lagi bagaimana hasilnya.
Mereka deal setelah pendekatan tiga bulan. Mereka setuju bikin instalasi. Ya sudah kita bikin. Dari pihak pemilik semua mengerti. Itu untuk keperluan mereka. Dulu mereka pernah berontak juga. Cuma kemasannya dengan seng, bukan berkesenian. Yang sekarang intinya kesenian.
Sabtu pagi kami pasang. Pelan-pelan. Dari jam 9 sampai 3 sore. Kami art camp di sana selama dua minggu. Ambil bambu di sana, kami cat di sana. Kami kemah di sawah.
Pada hari pemasangan, pukul 12 kita dihampiri petugas dari polisi. Dia ngajak ngobrol. Saya bilang ini murni untuk berkesenian. Saya bilang Bapak tahu kan keluh kesahnya petani. Dia intel polisi. Hanya mengamankan. Dia bilang tidak apa-apa meskipun sempat tanya sampai kapan.
Saya bilang sampai instalasinya roboh. Oh begitu, begitu katanya. Saya pasang lagi terus. Pasang. Kurang sedikit lagi, datang Kelian Tegalalang. Mengajak ngobrol juga. Intinya mereka tidak terima tapi tidak punya wewenang untuk melarang karena ini murni berkesenian dan pemilik sudah kasih izin.
Dia kembali ke pemiliknya. Tapi tidak bisa ngobrol.
Jam 3 selesai. Sudah save semua gambar. Pulang. Besoknya sekitar jam 11 dicari sama dari pihak pengelola pariwisata di Ceking. Dia orang arsitek. Dia mengaku Ceking memang gabeng dari dulu. Saya bilang itu murni berkesenian. Saya juga peduli wisata Ceking. Nilai-nilia kesakralan Ceking harus tetap dijaga. Konsepnya sebagai tempat wisata edukatif.
Setelah itu?
Kami ngobrol. Ternyata pas kami ngobrol di sini (di Luden House), instalasi sudah diturunkan. Mereka datang ke pemilik sawah dan membongkarnya. Intinya waktu itu kenapa bisa turun katanya uang insentif yang ditunggu sudah dibayar. Sekarang juga jadi Rp 2 juta per bulan.
Saya tanya ke pemilik sawah kenapa dibongkar. Katanya karena disuruh dan dibayar Rp 500 rb. Tuntutan juga susah dipenuhi. Tidak apa. Yang penting sudah ada perubahan. Kalau dibongkar juga tidak apa. Ke depannya perlu membuat sesuatu untuk menjaga pariwisata di situ. Misalnya festival.
Tegalalang itu bahaya. Mereka tidak punya kekuatan apa-apa selain sawah milik desa lain.
Ada rencana bikin instalasi di tempat lain?
Ada satu. Sempat ada teman menawarkan tempat di Baturiti. Katanya di sana juga mau dibangun vila bintang lima. Nanti kami lihat sendiri.
Not for Sale itu jadi brandmu?
Iya. Jadinya begitu. Tapi fokusnya di sawah-sawah. Karya utama tetap lukisan. Karya terakhir tentang alih fungsi sawah jadi kolam renang demi pariwisata.
Berarti pariwisata sudah menjadi sesuatu yang harus diwaspadai?
Sangat. Kalau melihat kelemahan-kelemahan kita yang belum siap dengan pariwisata, maka kita harus waspada. Itu tidak hanya di Ubud tapi di tempat lain.
Dulu di sini kosong. Sampai 2 km memandang tidak ada bangunan sama sekali. Sampai 1998 itu masih kosong. Sekarang rata-rata Rp 500 juta per are. Ini sudah masuk titik incaran.
Dulu saya SMA Rp 7 juta per are. Sekarang bisa sampai Rp 700 juta.
Warga lokal sekarang bekerja di mana?
Ada alih fungsi pekerjaan. Dulu petani fokus pada bertani. Sekarang anak-anak muda kerja di vila karena tergerus pariwisata. Paling lucu mereka yang tidak bisa bahasa Inggris bekerja menjaga anjing milik pemilik vila.
Yang bikin cepat karena dijual setengah, dipake membangun untuk setengah. Makanya cepet.
Apa yang kalian bayangkan 10 tahun lagi?
Kontrol terhadap pariwisata ini kurang. Seharusnya desa pekraman bisa. Untuk saat ini tidak berdaya. Akibatnya tidak tahu akan seperti apa. Intinya, anak muda saja sekarang sudah bekerja sebagai pegawai vila.
Bagaimana pengaruh dalam kehidupan sosial?
Sangat. Jadi kalau kita kan berpegang teguh pada budaya. Dari sikap kita yang konsumtif itu sih yang perlu kita pikirkan. Nanti malah akan menjadi penonton. Kita jadi turis di negeri sendiri. [Sayur menunjukkan lukisan Judul Habitat Baru. Dalam lukisan ada kodok berjemur layaknya turis. Tom dan Jerry sedang berenang. Di latar belakang terlihat terasering sawah berganti jadi kolam renang]. Seperti kodok. Karena dia pemilik sawah. Tom and Jerry itu sentuhan kapitalisme. Sedangkan sawah sudah jadi kolam renang. Kontur saja sawah.
Dampak alih fungsi lahan di sini terhadap subak?
Ke lingkungan yang pasti. Sawah merintih. Kadang sampah vila. Mereka tidak peduli terhadap sawah. Hasil vila kan jauh dibandingkan sawah.
Upayanya apa untuk mengantisipasi?
Kalau dari penyadaran agak sulit. Memang untuk saat ini kita sulit untuk masuk agar mereka sadar. Ya gimana ya. Desa Pekraman dan pemerintah yang bisa membuat kebijakan, misalnya perlindungan terhadap sawah. Izin bangunan lebih sulit. Di sini malah banyak yang tidak pakai izin.
Hasil jual tanah untuk apa?
Untuk upacara seperti menikah. Karena budaya konsumtif jadi upacara harus terlihat mewah sampai jual sawah.
Kamu sendiri kenapa memilih jadi pelukis?
Sudah panggilan jiwa. Jodohku memang harus mencintai seni lukis. Sudah sejak kecil melukis. Sudah membayangkan akan jadi seperti ini. Bagaimana saya bisa saya tidak tahu. Di kampung dulu belum ada vila. Pematung yang banyak. Pulang sekolah sudah bergelut dengan patung.
SMA jurusan seni. SMSR Batubulan. Sekaran jadi SMK. Memutuskan ke Jogja karena fokus ke seni juga karena iklim lebih bagus.
Bagaimana membandingkan Bali dan Jogja?
Jogja enak. Bali sedap. Aku menyikapinya di manapun harus menikmati. Satu hal di Bali, jangan takut dengan adat dulu. Banyak teman tidak mau pulang karena takut dengan adat. Misalnya melukis tiba-tiba diajak ngayah. Bagi saya, adat itu jadi kekuatan. Seni di Bali kan tidak bisa dilepaskan dari nilai budaya yang ada.
Di mana posisi seniman di antara pariwisata Bali?
Saya pikir dia sebagai cermin. Sebagai penyampai apa yang terjadi saat ini. Cuma belum banyak yang berpikir begitu. Seni bisa menjadi media penyadaran.
Itu sudah terjadi?
Perhitungannya masih persentase. Seni sebagai komoditas. Prinsipnya semua perlu makan. Padahal seni tak hanya itu. Seni juga panggilan. [b]