Secara perlahan, Nusa Penida berkembang menjadi destinasi top dunia.
Tidak berlebihan jika masyarakat menerbangkan asa dan bermimpi maju. Sekian tahun warga terisolasi dengan berbagai persoalan pelik yang mendera.
Namun, di balik arus deras perkembangan pariwisata, sisi gelap juga tak kalah sigap menguntit. Marak perpindahan kepemilikan lahan dan ketidaksiapan sumber daya manusianya.
Lalu, seberapa siap masyarakat bertahan akan bujuk rayu investor dan calo tanah agar lereng-lereng kebunnya tidak habis dilahap?
‘Sugih nadak’ (red; kaya mendadak). Itulah gambaran tepat bagi sejumlah warga yang sedang mabuk menjual tanah di Nusa Penida. Aroma perselisihan antar keluarga pun kerap mewarnai aksi jual warisan baik yang pro dan kontra termasuk yang tidak kebagian hingga berujung konflik.
Setelah ditelusuri lebih jauh, warga mengakui ada beberapa alasan yang menggelitik mereka jual tanah.
Pertama, meroketnya harga tanah dan iming-iming dipekerjakan membuat warga gusar dan memilih menukar lahannya dengan lembaran rupiah yang dirasa memberi harapan ketimbang lahan tandus tanpa hasil. Lahan yang dulunya terbengkalai, kini dihargai sampai Rp 100 juta per are, angka yang cukup fantastis.
Kedua, lahan dinilai tidak produktif ditengah himpitan ekonomi dan dirasa justru sebagai beban. Ketiga, pajak yang dibayar semakin besar sementara hasilnya sangat minim. Keempat, rata-rata warga memiliki tanah warisan lebih dari 1 hektar sehingga mereka merasa aman-aman saja untuk menjual.
Alasan lain, minat generasi penerus untuk bertani nyaris tidak ada. Berikutnya, dorongan untuk mendapat pengakuan status sosial sebagai kelompok berduit juga ikut andil. Tanpa ragu, tanah pun dijual bak kacang goreng dengan minim pertimbangan. Tanpa disadari, ini merupakan aksi bunuh diri perlahan.
Semua alasan memang memiliki dasar masing-masing. Petani desa yang awam pun tidak bisa langsung disalahkan. Keluguan mereka dimanfaatkan segelintir oknum termasuk orang lokal sendiri. Sejumlah putra daerah yang seharusnya menjadi pelindung ditengarai turut bermain demi keuntungan pribadi.
Ini menunjukkan integritas dan rasa mebela pati terhadap tanah leluhur berada di titik terendah terkalahkan gemercing dolar. Dari sisi bisnis, memang cukup menggiurkan dan dianggap wajar namun sebagai putra daerah sudah seyogyanya menjaga titipan bukan justru menjadi calo yang menjual kepada calo yang berkedok investor.
“Dulu waktu beli katanya mau bangun hotel tetapi sampai sekarang juga belum. Dengar-dengar, katanya dijual lagi ke pihak ketiga,” ungkap warga dalam obrolan santai.
Badan Pertanahan Kabupaten Klungkung beberapa waktu lalu sempat menyebutkan ribuan hektar lahan sudah berganti kepemilikan. Itu hanya data yang sudah masuk pada 2013. Belum lagi yang sedang dan akan berganti kepemilikan.
Mayoritas pemilik adalah warga luar pulau termasuk sejumlah pengusaha dan pejabat teras di Pulau Dewata serta investor asing.
Isu hangat juga sempat merebak, tanah desa disertifikatkan untuk dijual termasuk beberapa sisi tebing dekat pantai bagian barat. Sudah sedemikian parah dan miris rasanya tetapi itulah realita.
Hasil penelusuran di sejumlah titik, nyaris semua lahan di sisi tebing dari sisi utara Banjar Karang ke arah selatan melingkar dan berakhir di bagian barat Pantai Crystal Bay, semua lahan sudah berpindah kepemilikan. Hanya tersisa beberapa titik, salah satunya di daerah Teba yang merupakan tanah pelaba Pura Tunjuk Pusuh.
Cerita pahit juga muncul dari Pura Masari yang dimiliki Krama Banjar Dlundungan, Desa Sekartaji yang terletak di sisi tebing sebelah timur Shoes Point. Lahan di sekitar pura yang berdiri di bibir tebing ini sudah semua terjual. Bisa dibayangkan, jika akomodasi sudah terbangun, bukan tidak mungkin permasalahan akan muncul mengingat akses sepanjang 1 kilometer menuju pura bukan lagi milik warga.
Informasi ynag beredar juga menyebutkan beberapa sisi tebing yang seharusnya milik negara ikut disertifikatkan dan dijual. Sungguh aneh bin ajaib.
Selain maraknya kasus jual beli tanah, keprihatinan lain juga muncul terkait kesiapan sumber daya manusia pada perkembangan berikutnya, terutama tenaga andal bidang pariwisata.
Hal ini diungkapkan akademisi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Drs. I Wayan Suarnajaya, MA., Ph.D. Dosen lulusan The University of Sidney dan La Trobe University Australia ini menilai perlu langkah strategis untuk mengontrol penjualan lahan. Misalnya dengan sosialisasi penetapan aturan berupa zonasi atau perda.
Dengan demikian ada kejelasan wilayah yang masuk kategori boleh dan tidak diperbolehkan membangun akomodasi yang disesuaikan dengan kearifan lokal berikut sanksinya.
Menurutnya, membuka kran investasi tidak selamanya harus diterjemahkan dengan menjual tanah kepada investor. Suarnajaya mengaku tidak menginginkan warga di tanah kelahirannya mengikuti jejak warga Nusa Dua atau Kuta. Ketika hotel berbintang berdiri, warga hanya bisa pasrah terjepit bahkan angkat kaki karena tanahnya sudah berpindah tangan.
“Harus ada sosialisasi dari aturan tertulis mengenai konsep zonasi wisata sehingga masyarakat tidak menebak-nebak dan menjual kawasan seenaknya. Demikian juga sanksinya mesti jelas,” terang Suarnajaya yang berasal dari Banjar Sentah Kauh, Desa Ped.
Dari sisi pendidikan, Suarnajaya menilai kualitas pendidikan putera Nusa Penida tidak kalah saing. Pembuktian merujuk pada putera daerah berhasil memiliki posisi strategis di berbagai bidang meski hal itu tidak lantas mewakili kesiapan SDM secara keseluruhan.
Menurutnya, sumber daya manusia tetap menjadi fokus pembangunan kedepan selain pengendalian alih lahan dan perbaikan infrastruktur.
Suarnajaya menambahkan, Nusa Penida memang memerlukan sentuhan tangan-tangan investor untuk memajukan daerah. Meski begitu, masyarakat jangan sampai bersikap serba dadi (red; boleh) hanya untuk melicinkan laju investasi. Tetap harus dikendalikan.
“Ketika ingin secepatnya ada investor, lalu tanah dijual murah-murah. Itu keliru besar,” katanya.
Menurut Suarnajaya, kalau memang tidak punya modal membangun lebih baik tanah dikontrakkan saja. Jadi tanah itu tidak sampai berganti status kepemilikan. Investasi tetap bisa berjalan untuk menggerakkan ekonomi, sementara warga juga masih memiliki tanahnya secara utuh.
“Jangan sampai kita jadi ‘krama tamiu’ (pendatang) di tanah kelahiran sendiri,” katanya mengingatkan.
Kunci
Secara tidak langsung, pariwisata Nusa Lembongan lebih dulu berkembang ketimbang pulau induknya. Namun pengaturan tata ruang masih menjadi persoalan. Untuk mencegah hal serupa terjadi pada pulau lainnya diperlukan tindakan preventif berupa pemetaan atau zonasi kawasan wisata. Selain itu harus ada kepatuhan perizinan bagi pembangunan akomodasi wisata.
Bappeda Provinsi Bali saat rapat di ruang camat beberapa waktu lalu yang diwakili Ngakan Made Putu Kirim mengatakan Nusa Penida ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata bersama 21 daerah di Bali. Penetapan kawasan membutuhkan master plan, agar kearifan lokal tetap terpelihara.
Menurut Kirim, perizianan memegang fungsi strategis sebagai filter dalam pembangunan. “Untuk menekan alih fungsi lahan, kuncinya ada pada perizinan. Pengendalian ini sangat perlu agar sesuai dengan peruntukan. Semua harus jelas pembagian zonasi-zonasinya agar pelanggaran bisa diminimalisasi,” terang Kirim.
Pendapat berbeda dilontarkan oleh Perbekel Desa Batukandik, I Wayan Katon. Selain penetapan zonasi, imbas pariwisata juga harus bisa dinikmati masyarakat dan ada ruang berbudaya bagi masyarakat.
“Masyarakat juga diberikan ruang berbudaya untuk bisa dipertontonkan bagi wisatawan,” ujarnya.
Sementara tokoh masyarakat I Wayan Karnata meminta pembangunan akomodasi pariwisata jangan sampai melabrak aturan. Ia mencontohkan banyak kawasan atau tanah negara yang menjadi kawasan publik justru berdiri bangunan.
“Sebenarnya Nusa penida sudah lengkap dimiliki tampat pariwisata baik periran laut yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Koservasi Periaran (KKP), pantai berpasir putih, tebing yang tinggi serta tempat suci cuma bantaran atau sempadan pantai yang sebetulnya tanah negara harus seteril dari pemanfaatan akomodasi pariwisata,” pintanya. [b]
Artikel ini merupakan hasil kerja sama BaleBengong dengan Nusa Penida Media.