Kata pertama ketika mendapat buku ini adalah, “Gila!”
Ungkapan tersebut campuran antara rasa kagum dan jengah. Kagum karena ternyata ini ada anak baru gede alias abege yang masih SMA tapi sudah menulis buku tentang Bali. Ketika anak-anak seumurannya lebih banyak menggalau dan menggaul, Nilam Rahma Hanjayani, lahir pada 8 Maret 1996, sudah menulis buku ini.
Kerennya lagi, Nilam ini bukan orang Bali ataupun Hindu. Dia juga tidak tinggal di Bali. Tapi, ternyata dia bisa menuliskan tentang hal amat penting bagi orang-orang Hindu di Bali, jejak sejarah pura-pura di sepanjang Sungai Pakerisan, Bali.
Bagi saya sih keren karena Nilam tak hanya melintas batas tapi juga mau membagi pengalamannya tersebut pada orang lain. Berapa banyak sih anak-anak muda, atau dewasa sekalipun, yang mau belajar tentang agama orang lain dan dengan senang hati menuliskan hasil belajarnya tersebut?
Penulis buku yang memakai nama lain Nilam Zubir ini termasuk pengecualian.
Tak hanya kagum, saya juga jengah. Kok saya yang tinggal dan menggeluti banyak isu di pulau ini sejak 16 tahun lalu malah belum bisa menulis buku tentang Bali? Kenapa anak-anak muda di Bali sendiri belum banyak yang mau menulis, apalagi dalam bentuk buku, tentang isu tertentu di tanah kelahirannya sendiri?
Karena itulah, buku berjudul The Other Side of Bali, Jejak Sejarah di Pakerisan ini layak diapresiasi. Ketika tak banyak buku tentang sejarah Bali, apalagi di kaca mata anak-anak muda, Nilam yang baru kelas 2 SMA ini sudah menuliskan buku tentang sejarah pura-pura yang ada di sepanjang Tukad Pakerisan.
Jeli
Dengan jenis kertas art paper agak glossy dan semuanya berwarna (full colour), tampilan buku ini juga menarik. Cocoklah buat target utama pembacanya, anak-anak muda. Apalagi buku ini juga memberikan foto masing-masing lokasi tersebut.
Namun, ide tema buku ini juga asyik, mencatat berbagai pura yang ada di sepanjang Tukad Pakerisan, Bali. Nilam jeli mengambil fokus tulisan sehingga tidak melebar ke banyak tempat.
Tukad Pakerisan termasuk salah satu bagian dari Kesatuan Sistem Subak Bali yang tahun lalu disahkan Badan Kebudayaan dan Pendidikan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia. Di sepanjang sungai 45 km di Kabupaten Gianyar ini terdapat berbagai situs bersejarah bagi Bali, seperti Pura Alas Jagasari, Pura Alas Paiguman, Pura Pegulingan, Candi Tebing Gunung Kawi, Pura Mangening, dan lain-lain.
Sumpah. Saya sendiri tidak tahu di mana saja pura-pura tersebut. Selama ini saya cuma tahunya Pura Gunung Kawi. Itu pun belum kesampaian untuk berkunjung ke sana.
Dengan gaya orang jalan-jalan, Nilam yang memang sudah menerbitkan lebih dari lima buku ini menceritakan apa, di mana, dan bagaimana pura-pura yang dia kunjungi tersebut. Tak hanya dari sisi fisik, misalnya arsitektur, tapi juga sejarah di baliknya. Dia menyebutnya petualangan jejak sejarah.
Nilam tak hanya mengamati dan memotret ornamen-ornamen, pahatan-pahatan, atau relief-relief pada pura-pura tersebut tapi juga belajar tentang tata krama, ritual, dan makna di balik tempat sembahyang tersebut. Selain bertanya kepada pemandu, dia juga bertanya kepada pemangku ataupun warga di lokasi yang dia kunjungi.
Waspada
Hasilnya, jadilah 18 tulisan tentang purapura di sepanjang Tukad Pakerisan ini. Di bagian awal, Nilam juga masih menuliskan tentang sejarah Bali meskipun hanya satu bab. Tulisan berjudul Bali Jadul dan Bali Gaul ini menjelaskan sejarah singkat Bali dari zaman Bali mula, masuknya agama Hindu, masa Majapahit, masa kolonial, hingga Bali saat ini.
Setelah bab sepanjang 17 halaman ini, mulailah Nilam menjelajahi tiap-tiap pura di sepanjang Tukad Pakerisan. Total ada 13 pura ditulis di buku ini. Beberapa contoh pura besar yang saya kenal selain Pura Gunung Kawi adalah Pura Tirta Empul, Pura Samuan Tiga, dan Pura Kebo Edan.
Tiap pura ditulis dengan gaya sama, lokasi, bentuk, dan sedikit sejarahnya. Panjang tiap tulisan hanya 2-3 halaman. Lalu, 5-7 halaman selanjutnya di tiap cerita tersebut adalah foto-foto berwarna.
Begitu pula jika berharap tulisan yang serius dan membuat kening berkerut atau untuk berpikir sekali pun. Karena ditulis oleh abege dan ditujukan untuk abege, maka gaya bahasa buku ini pun abege banget. Nyaris tiap halaman bisa berisi 10-15 istilah gaul yang dicetak miring sebagai tanda banyaknya bahasa gaul ala remaja di buku ini.
Namun, menurut saya, catatan terpenting yang harus diwaspadai dalam buku ini adalah soal campur aduknya antara fakta dan fiksi. Nilam ini menulis sesukanya, dan itu sah saja, sehingga kadang-kadang terkesan ngeloyor memasukkan imajinasi (tentu saja itu fiktif) ke dalam sebuah fakta sejarah.
Campur aduk ini terutama pada bagian prolog dan sejarah meskipun pada semua tulisan nyaris selalu ada.
Karena gaya tulisan yang teramat santai plus campur aduk antara fakta dan fiksi itu, maka cocoklah buku ini sebagai panduan saat jalan-jalan, bukan sebagai materi sejarah yang berat.
Tak usah berharap mendapatkan pengetahuan mendalam tentang sejarah ataupun makna-makna tiap pura yang ditulis. Buku ini memang tidak ditulis untuk itu. [b]
Informasi Buku
Judul: The Other Side of Bali, Jejak Sejarah di Pakerisan
Penulis: Nilam Zubir
Penerbit: Pustaka Bestari, Jakarta, April 2013
Tebal: 196 halaman
ISBN: 978-979-152784-2
glekkk!!!!