Seperti sebuah pohon/ begitulah pasti manusia.
Dari sebuah kitab dan buku nukilan itu dipinjam. Tak dimaksudkan untuk berkhotbah tentang ajaran suci. Tetapi kadang kita luputkan, bersyukur pada yang begitu dekat yang banyak memberi; pepohonan.
Saat siang yang terik ia peneduh karena kerindangan tajuknya. Namun, pada musim tertentu, terutama bulan-bulan ini, pepohonan tinggi ini juga memberi warna lain di Denpasar atau Bali dengan penampilannya. Dahan-dahan meranggas pada batang pohon yang bahkan mencapai puluhan meter tingginya memberi warna tersendiri. Terlihat anggun.
Pohon-pohon besar ini ada di beberapa tempat. Semisal di beberapa ruas jalan di Renon, Tanjungbungkak, Waturenggong, sekitar lapangan Puputan Badung dan lainnya. Salah satu cirinya, dia akan berada di setra (kuburan) atau tempat lain yang dikeramatkan oleh umat Hindu Bali.
Karena itu, ia juga menjadi penyelamat. Apalagi setelah didaulat sebagai elemen penting dalam kampanye lingkungan atas kenyataan hari ini. Ia juga dekat, sebagai perekam dan kilas balik tentang suatu masa.
Di pertigaan Tanjung Bungkak, jalan Hayam Wuruk menuju jalan Merdeka misalnya. Di sana ada pohon beringin dan beberapa pule mendiami kuburan adat desa tersebut. Ketut Suweden, warga yang tumbuh besar di sana, bercerita singkat tentang daerahnya dulu. Lewat obrolan di balai dalam pura Dalem desa adat Tanjungbungkak, ia bertamasya ke masa silamnya.
Diingatnya, beringin dan pule itu telah di sana sejak zaman buyutnya. Tidak ada yang berbeda, kecuali batangnya yang meninggi dan akar-akarnya yang membesar. Jejalan pun agak berbeda. Jalan utama, Hayam Wuruk memang telah ada sejak dulu, masih bertanah. “Jalan Merdeka itu dulu jalan air,” cerita Suweden.
“Hanya berupa selokan yang agak besar, kanan kirinya masih berupa tegalan,” tambahnya.
Suweden dan keluarga turun temurun tinggal di timur kuburan. Ia sekarang menjadi bendesa adat di sana. Desanya dulu masuk dalam wilayah Desa Sumerta. Karena pertambahan penduduk, desa ini dimekarkan menjadi Sumerta Kelod. ”Pura Pusehnya masih di Sumerta, di dekat Kenyeri,” ceritanya. Di tempat kami berbincang, ada paling tidak 4 pura berdekatan.
Jalan Hayam Wuruk, sering dilalui oleh orang-orang yang membawa gerobak ikan dari pantai Sanur. Tempat berjual beli, pasar dulunya ada di dekat Pengrebongan. “Orang gelar-gelar kain untuk berjualan. Kira-kira pukul 9 siang, pasar sudah hilang,” kisahnya.
Suweden meriwayatkan cerita di sekitar tempat tinggalnya era 1970an, ketika ia menjelang remaja. Di usia 17 tahun, pernah ada yang meminta batang pohon pule ntuk bahan pembuat ketapel. Pohon tersebut mesti diupacarai karena tidak bisa sembarang ditebang.
Istimewa
Beringin, pule, kepuh dan beberapa pohon besar bermarga Ficus memiliki nilai istimewa di Bali. Sebagai pemeliharaan lingkungan, ia juga diperlakukan unik secara sosial budaya.
Ada perlakuan preservasi. Ada atribut yang dikenakan padanya, seperti kain poleng, hitam putih. Ada juga penghormatan yang dilekatkan padanya. Mereka, umumnya bisa ditemui di tempat-tempat yang lapang, di antaranya hutan, alun-alun, pekarangan yang luas, dan kuburan.
“Sifatnya itu kosmopolit. Habitatnya bisa tumbuh di mana-mana. Bisa karena angin, bisa karena dibawa oleh burung, lalu terjatuh. Bila sudah kering bijinya ringan dan mudah diterbangkan,” jelas Dosen Pencemaran Lingkungan dan Ekologi Tumbuhan Universitas Hindu (Unhi), Putu Sudiartawan.
Pohon-pohon jenis Ficus ini pun, kebanyakan kayunya tidak bernilai ekonomis. “Pamalinan kalau orang Bali, seperti pamali, pantangan,” tambahnya.
Beringin, salah satu marga Ficus ini memiliki tajuk pohon yang besar. Cocok sebagai tempat peneduh. “Dinas kehutanan juga mulai menggalakkan penanaman pohon jenis Ficus ini, terutama beringin. Di sana bisa minta bibitnya,” ujarnya.
Dari ketahanan fisik, resistensinya bagus. “Akarnya bisa menyimpan air, sebagai resapan air bagus,“ imbuh I Gede Ketut Adiputra dosen Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) Unhi. Penguapan air tidak terjadi kalau tidak ada pohon. Tidak ada penyerapan yang ditangkap oleh akar pohon.
Pohon – pohon jenis ini di Bali, terlebih yang telah ditandai, dipercaya bertuah. Mereka bernilai istimewa, karena dipercaya ada yang tak kasat yang menjaga. Mereka pun punya kisah, tertulis dalam risalah – risalah kuno. Seperti pohon Bodhi dalam cerita hidup Siddharta. Pohon Bila dalam cerita Lubdaka.
Tradisi Terunyan di Bangli menjadi istimewa karena nilai pohon menyannya. Pohon ini ditaksir yang menghela bau tidak sedap mayat. Pohon ini yang menjadi pasak dari pengawetan tradisi di sana.
Sikap menghormati dan permisif, ditambah dengan mitologi dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat adalah sebentuk lain preservasi yang menjaga pepohonan ini. [b]