Saya dan istri pernah punya warung masakan Indonesia.
Dalam hal penamaan, istri saya suka dengan kata Kita. Jadilah nama Warung Kita dengan diberi logo halal bulat. Segmentasi pasar warung itu adalah untuk semua orang. Semua agama, suku, ras ataupun golongan.
Maka kami tidak sematkan kata muslim di nama warungnya.
Kami beragama Islam dan bertanggungjawab penuh untuk kehalalannya. Mulai dari bahan, proses pembuatan hingga penyajian harus penuhi unsur halal, tentunya sesuai pemahaman kami.
Warung itu tidak bertahan lama dan diganti oleh Tuhan dengan bisnis catering bernama Catering Kita. Lagi-lagi tidak menggunakan kata muslim karena segmennya adalah nasional. Dari segi branding, kami paham itu terlalu sempit pasarnya bila berbisnis di Bali.
Sebelum berbicara tentang fenomena warung muslim di Bali, saya ingin beritahu tentang tanggungjawab kehalalan bagi penganut Islam. Mengonsumsi yang halal adalah perintah Tuhan. Itu bukti keimanan dan ketaqwaan umat Islam tanpa ada bantahan ataupun kritik sedikitpun kepadaNya. Kalau dilanggar, fatal, masuk neraka!
Untuk sediakan halal, tata caranya pun diatur sedemikian detail. Semisal penyembelihan hewan (ayam, sapi, kerbau, itik, bebek), harus ada doanya. Jika dibahas mendalam, itu salah satu berperi kehewanan juga. Cara manusia menjunjung tinggi hewan sebagai bahan makanan.
Saya berkeyakinan, tiap-tiap agama pasti mengatur tentang hewan dan makanan bagi manusia. Contoh Hindu, saya punya anak buah beragama Hindu tidak berani makan daging sapi. Artinya, area keyakinan itu biarkanlah sesuai ruangnya, tidak perlu diperdebatkan lagi dan tidak perlu bersentimen satu sama lain.
Tiap-tiap agama dan aturannya pasti dibela kebenarannya oleh pemeluknya masing-masing. Jika masih saja menggunjingkan soal babi dan sapi, halal dan ‘sukla’, artinya masihlah mencampuri urusan tetangga. Padahal aturan agama tetangga kan nggak berlaku di agamanya sendiri. Jadi kenapa harus sewot?. Kata ‘sukla’ saya gunakan hanya sebagai penyanding saja dan ada yang berpendapat itu bukan istilah resmi tentang status keamanan kuliner secara Hindu. Istilah ‘sukla’ muncul dari geliat seorang senator asal Bali yang katanya ingin menegakkan Hindu di Bali.
Kembali ke fenomena warung muslim yang dibahas pada artikel sebelumnya oleh Natalia, sahabat wisatawan domestik. Saya ditakdirkan lahir di tanah Jawa dan pada akhirnya memeluk Islam karena sebelumnya tidak bisa menggugat Tuhan untuk terlahir di daerah tertentu dan beragama tertentu pula. Tinggal di Bali sejak 1996 (sudah 20 tahun) pun takdir-Nya. Karena diterima kuliah di Universitas Udayana, Bali. Jadi saya di Bali bukanlah turis domestik.
Warung makanan yang gunakan kata muslim itu hanya secuil. Tidaklah banyak dan rata-rata warung-warung kecil. Bahasa kerennya adalah mereka itu kelas Usaha Kecil Mikro. Tingkat pendidikan pemiliknya pun belum menjangkau ilmu branding.
Mereka menggunakan kata muslim karena target pasarnya memang orang-orang muslim, yang tinggal di Bali ataupun turis domestik mancanegara yang muslim. Mereka ingin memberikan ketenangan dan kemudahan dalam penyediaan pangan bagi yang muslim. Itu poinnya. Walaupun ternyata yang makan adalan non muslim, bagi mereka itu berkah.
Kemudian, kata muslim itu hanya tambahan, bukan kata yang merepresentasikan nama resmi warungnya. Mereka tetap menambahkan ciri khas daerah ataupun masakannya. Semisal warung muslim Surabaya. Warung Muslim Banyuwangi. Warung Muslim Nasi Tempong Condong Raos, dan lain sebagainya. Tidak benar kalau cuma warung muslim saja. Semua warung pasti punya menu jagoan yang ditampilkan sebagai kata kunci nya. Jadi tidak akan buat bingung tentang ciri khas nya.
Warung-warung lain yang berlogo halal dan tanpa gunakan kata muslim pun banyak bertebaran di Bali. Lebih banyak malahan dari pada yang gunakan kata muslim. Misal warung Bu Sri di Kuta. Warung Ayam Kalasan Yogyakarta depan Kantor Camat Kuta. Warung Rene Bos, Warung Rawon Setan, Mie Ndower, Warung D’sambal dan lain sebagainya.
Pemilik warung muslim harus diberi edukasi tentang ilmu branding dan tentunya ilmu higienis (keamanan pangan). Hal ini bisa dilakukan oleh lembaga sertifikasi seperti MUI, LSM ataupun pemerintah.
Keberadaan warung muslim ini biasanya ditemukan di daerah penganut Islam minoritas seperti Bali, Manado, Nusa Tenggara Timur. Saya tidak menemukan nama warung muslim ini di Jawa Timur, Tengah maupun Barat sana. Bahkan nggak ada di Jakarta. Berasa aneh kan?
Jadi, opini saya tentang keberadaan warung muslim ini wajar-wajar saja. Sama halnya dengan warung ‘sukla’ milik sameton Hindu Bali. Saya kira tidak perlu digugat keberadaannya. Yang ilmunya tinggi, silakan memberikan edukasi branding. Itu saja sih solusinya.
Sangat kanak-kanak kalau kaitkan warung muslim atau warung sukla dengan sentimen keberagamaan. Mereka lho beda kitab! Bahkan beda nama Tuhan. Ngapain didebat? Sungguh lebay.
Begitulah kira-kira. Semoga tidak ada lagi kebingungan ya. Silakan para pakar menambahkan 🙂
Comments 1