Hari Raya Pengerupukan identik dengan ogoh-ogoh. Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ogoh-ogoh merupakan patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan sebagainya berbentuk raksasa dan lain-lain yang diarak keliling desa pada hari tertentu, yaitu sehari menjelang Nyepi.
Pengarakan ogoh-ogoh biasanya dimulai jam 18.00 WITA atau sandikala, yaitu waktu pertemuan sore dan malam hari. Menurut laman resmi Kabupaten Buleleng, sandikala merupakan waktu Bhuta Kala atau kekuatan negatif alam sedang berkeliaran.
Pawai ogoh-ogoh dimulai sejak tahun 1985, tetapi tradisi ini bukan ritual sakral Agama Hindu. Meski begitu, ogoh-ogoh menjadi ruang muda-mudi desa di Bali untuk menuangkan kreativitasnya. Seiring berjalannya waktu, ogoh-ogoh menjadi ajang perlombaan dan simbol unjuk gigi Sekaa Teruna Teruni (STT) di Bali.
Dari jurnal Telusur Sejarah Ogoh-ogoh sebagai Manifestasi Seni Rupa Bali dari Sudut Pandang Komodifikasi Budaya disebutkan bahwa ogoh-ogoh dibuat sebagai simbol Bhuta Kala yang ditampilkan dengan tubuh besar, kuku panjang, bertaring, dan rambut yang tidak beraturan. Namun, ogoh-ogoh juga kerap digunakan sebagai kritik sosial yang mengangkat isu-isu sekitar.
Pada Nyepi tahun baru saka 1947 atau Nyepi tahun 2025 ini ada beberapa ogoh-ogoh di Bali yang mengangkat isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai berikut:
Refleksi Penegakan Hukum Saat Ini

STT Cura Dharma di Banjar Serangan, Desa Mengwi memilih mengangkat penegakan hukum di Indonesia saat ini sebagai tema ogoh-ogoh. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan pembagian kategori ogoh-ogoh pada festival yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Badung.
Meski begitu, pada tahun-tahun sebelumnya STT Cura Dharma juga sudah mengangkat isu-isu sosial, terutama terkait tergerusnya budaya Bali dan masyarakat Bali yang kian tersingkirkan.
Dilansir dari Bali Viral News, Ketua STT Cura Dharma menyebutkan bahwa tema hukum dipilih karena belakangan ini penerapan hukum di masyarakat kurang memihak rakyat, khususnya rakyat kecil. Maka dari itu, ogoh-ogoh yang dibuat akan merefleksikan tentang kebebasan yang duduk di atas penderitaan rakyat.
Cegah Bunuh Diri

Berkaca dari isu yang tengah ramai di wilayah Karangasem, STT Kumuda Jaya di Banjar Adat Tampuagan membuat ogoh-ogoh terkait bunuh diri. Ogoh-ogoh ini bernama Ulah Pati Karma yang berarti karma bagi orang yang melakukan bunuh diri.
STT Kumuda Jaya melalui akun Instagramnya menjelaskan bahwa dalam ajaran Siwa Sogata atau Tantra Shiwa Buddha, cara kematian yang paling mengerikan adalah ulah pati atau bunuh diri. Orang yang mati bunuh diri akan langsung jatuh ke alam rendah atau asurya loka, tempat yang sangat gelap dan penuh penderitaan. Di sana roh-roh yang mengalami bunuh diri akan tersiksa dan mengalami penderitaan berat dan ekstrim selama ribuan tahun.
Ketua STT Kumuda Jaya dalam akun Instagramnya menjelaskan bahwa mereka ingin mengedukasi terkait bunuh diri. Ia menyebutkan bunuh diri bukan satu-satunya cara penyelesaian masalah.
Kebohongan Menyebabkan Pembodohan

Pada Nyepi Tahun Saka 1947 ini, STT Kembang Wijaya, Banjar Kembangsari, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal mengangkat tema kebohongan yang menyebabkan pembodohan masyarakat dalam ogoh-ogohnya.
Dilansir dari Balipost.com, ogoh-ogoh ini menjadi simbol perenungan terhadap kondisi sosial di era Kaliyuga atau zaman yang penuh intrik. Pada zaman itu kebenaran sering kali dikaburkan oleh kepentingan pribadi. Zaman Kaliyuga nyatanya tidak jauh berbeda dari kondisi saat ini, setiap individu berlomba-lomba meraih kekuasaan tertinggi untuk mencapai tujuan pribadinya dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Cerminan Sifat Kesombongan Manusia

STT Giri Kencana, Banjar Gunung, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi mempersembahkan ogoh-ogoh Premada Ikang Betara yang mencerminkan kesombongan dan kerakusan penguasa.
Dalam sinopsisnya, ogoh-ogoh ini mengisahkan Maya Denawa, raja sakti keturunan raksasa yang memerintah di masa lampau. Kesaktiannya membuat Maya Denawa lupa diri hingga menyamakan dirinya dengan Betara. Dengan tangan besinya, ia melarang rakyat memuja para Dewa dan membuat dirinya dipuja sebagai Tuhan.
Sama seperti ogoh-ogoh STT Kembang Wijaya, ogoh-ogoh ini juga berdasar dari fenomena sosial, yaitu banyak orang ingin berkuasa demi kepentingan pribadi sebagaimana yang dilakukan oleh Maya Denawa.
Terinspirasi dari Alih Fungsi Lahan

Isu lingkungan juga menjadi tema dalam ogoh-ogoh tahun ini. Tema ini diangkat oleh STT Wijaya Kusuma, Banjar Dlodpasar, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal dengan nama ogoh-ogoh Pertiwi Anggugat.
Dilansir dari Balipost.com, Pertiwi Anggugat melambangkan peringatan dari Ibu Pertiwi atau Bumi yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Perancang ogoh-ogoh dalam wawancaranya menjelaskan bahwa inspirasi utamanya adalah kondisi lingkungan di Bali saat ini yang banyak mengalami alih fungsi lahan. Lahan hijau semakin berkurang, digantikan oleh bangunan pariwisata maupun akomodasi pariwisata, seperti villa dan hotel.
Edukasi Pelestarian Lingkungan

Isu lingkungan juga diangkat oleh STT Abdi Yowana, Banjar Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. STT Abdi Yowana membuat ogoh-ogoh Ratu Wong Samar yang terinspirasi dari kepercayaan masyarakat Bali tentang Wong Samar atau makhluk tak kasat mata.
Dilansir dari Koranbuleleng.com, ketua panitia ogoh-ogoh STT Abdi Yowana mengungkapkan bahwa pemilihan tema ini bertujuan mengingatkan masyarakat agar hidup selaras dengan alam dan dunia gaib. Selain itu, juga mengingatkan manusia agar tidak sembarangan bertindak di tempat yang dianggap sakral. Ini juga erat kaitannya dengan menjaga lingkungan, terutama tidak membuang sampah sembarangan.
vanujacoffee.com kampungbet




![[Cerpen] Menyepi di Desa](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2019/03/Nyepi-Caka-1941.jpg)





