
Ajeg Bali, sebagai slogan dan gerakan menjaga Bali, seolah terbata-bata merespon perubahan Bali akhir-akhir ini. Dari mulai terampasnya ruang-ruang hidup manusia Bali hingga kontroversi gambar Dewa Siwa di sebuah tempat hiburan.
Lalu, dimana lagi kita temukan semangat menjaga Bali yang menggebu-gebu itu? Saking semakin sumirnya, dibicarakan saja semakin berkurang, dan jikapun dibicarakan maknanya sangat kontradiktif dengan situasi yang tampak dalam pergulatan manusia Bali sehari-hari. Orang Bali harus bergulat dengan perjuangan hidup mereka, mengatasi keterbatasan-keterbatasan hingga tetap menegakkan kedaulatan dirinya.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bali mulai kehilangan spirit? Atau spiritnya sudah luntur karena kemunafikan yang dipraktikkan para elit dan ditiru oleh masyarakatnya sehari-hari sehingga menjadi dianggap sebagai pembenaran? Entahlah, tapi ada baiknya saya nukilkan catatan yang ditulis oleh Henk Schulte Nordholt soal Ajeg Bali ini dalam bukunya, Bali Benteng Terbuka 1995-2005 (2007) mengenai hal-ihwal munculnya wacana Ajeg Bali ini.
Cikal-bakalnya adalah perayaan ulang tahun Bali Post yang ke-55 pada 16 Agustus 2003, diterbitkanlah edisi khusus yang memuat laporan panjang lebar sebuah seminar yang bertajuk “Menuju Strategi Ajeg Bali”. Wacana yang mengemuka dari seminar ini adalah bahwa Bali terancam oleh aneka pengaruh negatif dari luar, dan bahwa kebudayaan Bali harus diselamatkan.
Wakil-wakil dari sektor pariwisata, ekonomi, dan pakar dari berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan, seni pertunjukan dan arsitektur, menyuarakan keprihatinan bersama bahwa kegiatan pembangunan fisik yang tidak terkontrol dan pesatnya perluasan sektor pariwisata menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran. Mereka juga takut terhadap pengaruh Barat yang menyuburkan kriminalitas, penggunaan narkoba, dan sikap hedonistis-materialistis, yang merugikan nilai-nilai religius tradisional Bali.
Pada saat yang bersamaan, serbuan ribuan pekerja migran dari berbagai pulau tetangga yaitu Jawa dan Nusa Tenggara menimbulkan perasaan tidak nyaman bahwa orang Bali akan menjadi minoritas di pulau sendiri. Berbagai tindak kriminal dan dampak migran ini semakin hari semakin terasa mengganggu. Semuanya itu seolah terjadi kini di Bali. Kriminalitas, serbuan migran, membuladaknya wisatawan, sampah, kemacetan, hingga kerusakan lingkungan yang selalu menghantaui Bali di tengah penawar sebagai pulau eksotik tempat berlibur dan healing.
Guna menangkal serbuan pendatang dan juga dampak modal asing dan komoditisasi serempak kebudayaan Bali, di kalangan cendekiawan Bali muncullah kebutuhan akan revitalisasi spiritual dan penguatan rasa percaya diri kultural, sambil menekankan pentingnya pengetahuan lokal dan peran sentral lembaga adat.
Ajeg Bali menjadi kata kunci dalam pencarian suatu strategi kebudayaan yang berkeinginan untuk bersandar pada keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan yang familiar disebut dengan Tri Hita Karana. Sebuah konsep yang selalu nampak indah dan menjadi mimpi bagi harmoni kehidupan. Tapi akumulasi pengetahuan dan diskusi soal konsep ini malah semakin jauh dari realitas sehari-hari yang dihadapi Bali. Situasi yang sama sekali tidak harmonis dan menjadi keprihatinan orang Bali, khususnya dari kalangan kelas menengah urban yang rajin bertemu di seminar-seminar yang digelar di hotel bintang lima. Dari lokus inilah utak-atik menjaga kebudayaan Bali muncul dan
Sejak tahun 1970-an, pariwisata telah menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Faham pariwisata budaya, yang dikembangkan pada masa itu, bukan saja menyiratkan komoditisasi kebudayaan, tetapi juga turistifikasi masyarakat, yang mengaburkan tapal-batas artifisial antara kebudayaan (bagian dalam) dan pariwisata (bagian luar). Dengan demikian pariwistaa ikut menciptakan sebuah kebudayaan Bali sebagai objek yang dapat dipasarkan. Menginjak akhir tahun 1980-an, Bali semakin tertekan oleh serbuan investor dari Jakarta serta membludaknya wisatawan dan pekerja pendatang. Pertanyaannya adalah apakah orang Bali masih memegang kendali atas kebudayaan mereka sendiri, yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian mereka?
Konteks ini mengingatkan bahwa Ajeg Bali menjadi semboyan yang menginsyaratkan kebutuhan akan suatu pertahanan diri sosial budaya. Ujungnya adalah dua dilema yang mengemuka. Pertama, bagaimana meraih otonomi daerah yang lebih besar vis a vis Jakarta, mengingat bahwa desentralisasi telah menimbulkan perpecahan administratif, yang membuat tindakan koordinasi di tingkat provinsi menjadi ilusi belaka. Kedua, bagaimana menangkal pengaruh luar yang berbahaya dan pendatang yang tidak diinginkan, tanpa mencederai perekonomian Bali yang membutuhkan wisatawan (nusantara maupun asing), investor, dan tenaga kerja murah agar dapat bertahan (Nordholt, 2010: 1-4).
Sumirnya Pengetahuan Lokal?
Ajeg Bali termasuk juga Tri Hita Karana adalah beberapa di antara yang sering disebut dengan pengetahuan lokal yang berbasis komunitas. Pengetahuan lokal bersama praksis kebudayaan menjadi modal sosial yang penting untuk proses kapitalisasi dalam laju pengembangan pariwisata. Pertanyaannya adalah pengetahuan lokal sering menghadapi tantangan seiring perubahan komunitas.
Saya sering mempertanyakan, apakah masih percaya kita akan adanya pengetahuan lokal yang mampu menjadi “jembatan” untuk menjaga keselarasan atau keharmonisan Bali ke depan? Saya melihat kecenderungan adanya karater menjadikan kearifan lokal hanya sebagai topeng dan dalih kerakusan.
Para kelas menengah Bali menjadikan kearifan lokal, dalam imajinasi mereka, sebagai pelumas untuk “menjual” citra budaya Bali (adat, tradisi, dan agama) yang justru digerakkan oleh rakyat biasa. Sementara pada sisi lain, rakyat Bali biasa “menghidupi” tradisi dengan imajinasinya sendiri. Keduanya saling berkelindan, bahkan seringkali bertubrukan.
Kembali membaca esai Putu Wijaya (2011) berjudul “Kebalian dalam Ruang Kosmopolit” (h. 59-74), saya sesungguhnya ragu dengan daya tahan kearifan lokal tersebut untuk mendamaikan antara kerakusan dan keselarasan (baca: harmoni). Kearifan lokal tidak bisa menyenangkan semua pihak. Pasti ada tipu muslihat dibaliknya. Persis seperti kita begitu menyanjung (seolah tanpa celah) konsep pariwisata budaya yang tampak seolah-olah menjadi pendamai, seperti Panacea yang seolah bisa menyelesaikan semua masalah.
Kita mengerti kemudian bahwa pariwisata budaya hanyalah dalih untuk menutupi kerusakan Bali akibat pariwisata yang massif, ekspansif, dan “menghilangkan” kedaulatan orang Bali terhadap tanah mereka. Putu Wijaya sudah menengarai bahwa ada potensi kearifan lokal akan bertiwikrama (berubah) menjadi senjata-senjata yang dengan mudah menjadi kaki-tangan penyelewengan (baca: kejahatan).
Maraknya industri pariwisata dan lahirnya kelas orang kaya Bali, dari kemajuan industri itu, telah menunjukkan tanda-tanda bahwa akan muncul usaha untuk memanfaatkan keluhuran di dalam kearifan lokal itu sebagai kiat-kiat bisnis. Akal untuk menggandakan uang semata-mata. Mensejahterakan kehidupan pribadi yang tidak mempedulikan lagi harmoni atau keselarasan.
Situasi yang ditengarai Wijaya (2011) tersebut mungkin mulai menampakkan wujudnya kini. Nilai-nilai kearifan lokal, yang saya sampaikan sebelumnya hampir kehilangan maknanya, tetap keluar dengan renyah dari sambutan pejabat, kelas kuliah para akademisi, petuah atau dharma wacana para penyuluh agama, atau berbagai acara seremonial para pejabat dan elit lokal Bali. Tapi sejenak setelah selesai, kita menengok di sekitar situasinya begitu kontradiktif dengan ocehan manis yang harmonis yang kita dengar sebelumnya tentang Ajeg Bali.
Politik Kelas Menengah Urban
Sudah semakin jelas adanya bahwa imajinasi Ajeg Bali adalah ironi sekaligus paradoks yang sedang dibangun oleh para cendekiawan kelas menengah Bali untuk menggali keotentikan identitas Bali, yang sejatinya masih sumir mereka pahami, apalagi alami. Mereka adalah intelektual urban yang beromantis untuk bermimpi ikut menjaga Bali. Mungkin ini yang sering disebut dengan kegandrungan politik identitas, di mana perbedaan-perbedaan semakin diekspresikan ke ruang publik, dan pencarian “akar” dan nilai-nilai dasar (otentisitas) semakin menjadi laku untuk menunjukkan kekuasaan.
Schulte Nordholt (2010) sudah jauh hari mencatat bahwa desentralisasi dan artikulasi regional reformasi telah mengakibatkan naiknya tokoh-tokoh politik baru yang berbasis di kalangan kelas menengah urban yang dinamis. Raja dan Brahmana tidak lagi memiliki pengaruh dan otoritas yang dominan untuk mereprsentasikan kebudayaan Bali. Sebagai gantinya, para elit lokal baru di ruang urban muncul dan berkontestasi untuk merebut simpati publik Bali.
Selain itu, salah satu dilema yang tengah dihadapi Bali, yang sama sekali tidak terpikirkan (atau sengaja dikesampingkan) oleh para cendekiawannya, adalah terbukanya perekonomian Bali yang difasilitasi oleh pariwisata tidak cocok dengan politik identitas kultural tertutup. Ajeg Bali misalnya adalah konsep yang didasarkan pada model pascakolonial yang mengacu kepada masyarakat yang tertutup dan homogen, dan karena itu tidak bisa merangkul paham perubahan dan agensi. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pemikiran yang disampaikan antropolog I Gusti Ngurah Bagus yang mendorong cendikiawan Bali untuk menghadapi dunia global dengan keterbukaan pikiran yang kritis, dan bukan mengandalkan sikap yang statis dan berawawasan ke dalam.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para administrator dan cendekiawan Bali adalah mengembangkan suatu gagasan yang lebih dinamis tentang kebudayaan mereka, yang menawarkan ruang bagi hibriditas dan dimensi-dimensi transnasional. Pertanyaannya adalah sampai berapa lama dan sejauh mana, suatu kelas menengah urban yang prihatin serta melenggengkan penekanan pada otentisitas dan pertahanan ketat sebuah profil etnis Bali yang eksklusif, dapat hidup bersama dengan pembentukan terus-menerus sebuah koridor urban transnasional baru.
Sebagaimana ditunjukkan dalam pelaksanaan ritual dan berjalannya institusi adat di desa-desa, Bali sejatinya menunjukkan vitalitas dan kreativitas budaya yang bergelora. Di samping itu, lembaga desa adat dan berbagai inisiatif kalangan kelas menengah urban mendemonstrasikan kelenturan masyarakat sipil Bali. Oleh sebab itulah sangat menantang untuk membayangkan Bali ke depannya menjadi Bali yang berpikiran terbuka, percaya diri, teratur dan berwawasan ke luar, sebuah Bali sebagai rekanan metropolis bisnis seperti Singapura, akan muncul di masa depan (Nordholt, 2010: 99-102).
Kini, di tengah riuh berbagai situasi yang melanda Bali, saya kembali memikirkan begitu sumir sebenarnya gerakan Ajeg Bali yang didengungkan sebagai reaksi untuk nindihin Bali (membela Bali) itu. Situasinya begitu kontradiktif dari apa yang dibicarakan dengan situasi yang terjadi di lapangan, di masyarakat Bali sendiri sehari-hari. Saking kontradiktifnya, sampai keteladanan dan kesujatian dari para elit kita patut pertanyakan. Jujur saja, Bali krisis kesujatian dan keteladanan ini. Terlalu banyak dusta.
DAFTAR PUSTAKA
Nordholt, Henk Sculthe. (2010). Bali, Benteng Terbuka 1995-2005: Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral, dan Identitas-Identitas Defensif. Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta.
Wijaya, Putu. (2011). “Kebalian dalam Ruang Kosmopolitan” dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana, Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. Denpasar: Pustaka Larasan dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.