Penyandang disabilitas pentas di PKB pada Senin pekan lalu.
Selama hampir 3 jam mereka menarik perhatian dan empati pengunjung. Padahal mereka tak bisa melihat, lumpuh, mendengar, atau bersuara.
Tagline pentas mereka di Pesta Kesenian Bali (PKB) kali ini adalah Beri kami peluang bukan uang. Diawali dengan tabuh kreasi Gusuri dari Persatuan Tuna Netra Kabupaten Gianyar. Mereka menabuh dengan enerjik satu set gamelan lengkap dipandu piñata tabuh yang juga tuna netra Mangku Arsana.
Para penari anak-anak bisu dan tuli dari Yayasan Kesawan Ikang Papa melanjutkan dengan tari Pendet kemudian Cendrawasih yang rancak. Ni Wayan Nyeri, Pembina tari dan pemberi petunjuk tangan ini memandu penari perempuan ini dari depan karena mereka tak mendengar tetabuhannya.
Setelah itu giliran Bondres dari Yayasan Senang Hati di Tampaksiring. Empat pria cacat fisik pemainnya adalah Made Sumerta yang polio, Made Wiyasa yang pincang sejak lahir, Gusti Artawan yang menggunakan kaki palsu setelah kecelakaan dan I Wayan Balik.
Keempatnya mengocok perut penonton dengan banyolan tentang kelemahan fisiknya dan tema PKB kali ini.
Keempatnya mengocok perut penonton dengan banyolan tentang kelemahan fisiknya dan tema PKB kali ini.
“Kertamasa, tema PKB tahun ini tentang pertanian tapi sawah saya saluran irigasinya kering,” sentil Wiyasa. Kertamasa memang member penghormatan pada pertanian yang menjadikan subak sebagai salah satu ikon pariwisata Bali.
Sebagai penutup, persembahan terlama hampir 2 jam adalah sendratari yag dibawakan Yayasan Ikang Papa yang kebayakan bisu tuli.
Sendratari berjudul Arjuna Sastra Bahu ini ingin menyuarakan pendidikan tanpa membedakan kondisi fisik. Dikisahkan tentang perjalanan Sumantri dan adiknya Sukasarana, seorang penyandang disabilitas. Keduanya harus menempuh perjalanan penuh tantangan untuk mencari ilmu. Keduanya diminta ayahnya Iswandageni menuntut ilmu ke Prabu Arjuna Sastra Bahu di kerajaan Mayaspati.
Sumantri menolak ajak adiknya karena cacat akan menghalangi perjalanan dan malu. Sumantri akhirnya diterima oleh guru jika mau ikut sayembara memperebutkan seorang puteri di kerajaan Magada. Singkat cerita, ia lalu bertemu adiknya di hutan yang telah belajar ilmu dengan jin dan raksasa baik hati.
Setelah ditolong adiknya yang bisa membawa taman ke Magada, Sumantri mengkhianati adiknya hingga terbunuh. Sumantri kemudian dikutuk tak bisa menang karena ilmu yang didapat dengan cara salah.
Penata tabuh Ni Wayan Nyeri duduk bersila memberikan kode-kode pada penari. Sementara pembina tabuh Mangku Arsana yang juga dalang sendratari memandu gamelan dengan menepuk pemain kendang utama. Ketukan kendang inilah yang akan memandu penabuh lain karena mereka tak melihat pergantian adegan demi adegan.
“Ini mission imposible bagi kami membuat sendaratari. Ini buat karya luar biasa tapi tak biasa karena oleh kami yang tak mendengar dan melihat,” seru Ni Wayan Nyeri.
“Ini mission imposible bagi kami membuat sendaratari. Ini buat karya luar biasa tapi tak biasa karena oleh kami yang tak mendengar dan melihat,” serunya di sela-sela mendalang.
Sebagai dalang, vokalnya sangat jelas dan cepat berubah sesuai pemeran sendratari. Ia hapal seluruh naskah dan harus sigap memandu penabuh dengan menepuk tukang kendang utamanya.
“Persembahan ini penting agar masyarakat tahu ada orang berkebutuhan khusus. Tak semua orang normal bisa menari atau menabuh,” katanya disambut tepukan tangan.
Karya seni kolaborasi sejumlah komunitas difabel di Gianyar ini kerap mendapat tempat di PKB. Format dan pengisinya saja yang berbeda. Kadang per lembaga, atau kolaborasi seperti tahun ini.
Sayangnya, akses menuju lokasi pertunjukkan masih sulit diakses difabel. Putu Suriati, ketua Yayasan Senang Hati heran kenapa lokasi panggung baru lebih sulit diakses dibanding beberapa tahun lalu sebelum renovasi. Suriati dan beberapa pengguna kursi roda harus dibantu menaiki tujuh anak tangga untuk bisa menonton di barisan terluar.
Tidak terlihat ada ramp yang bisa memudahkan mereka mengayuh sendiri kursi rodanya. [b]