Ketika membayangkan Bali memiliki sebuah branding, saya langsung membayangkan yang harus dilakukan Bali dalam brandingnya menggunakan benchmark “country branding”, bukan city branding atau island branding. Visi branding Bali harus sama dengan cara sebuah negara melakukan destination branding seperti Malaysia, Singapura, India dan negara lain. Alasan mendasar bagi saya memikirkan hal tersebut adalah peluang Bali yang sangat memungkinkan melakukan itu. Reputasi Bali, potensi yang dimiliki, positioning Bali di masa datang, juga sekaligus menjadi semacam inisiatif atas belum terselenggaranya branding Indonesia yang komprehensif. Namun untuk menentukan itu pun sebuah proses studi dan riset harus dilalui dulu.
Pengertian destination branding atau place branding seyogianya dipahami juga oleh kita secara utuh karena ia adalah sebuah strategi yang akan menghabiskan biaya dan waktu. Jika kurang tepat dan cermat mengeksekusinya maka kita akan kehilangan biaya dan waktu dengan sia-sia. Pijakan branding sebuah tempat atau destination branding juga dilakukan tidak hanya untuk atau melalui pariwisata saja. Dalam strategi destination branding di banyak tempat setidaknya ada enam elemen penting pembentuk destination branding atau prasyarat terciptanya destinasi yang baik. Pariwisata adalah salah satu komponennya selain people, governance, export, investment/immigration, culture and heritage.
Sebuah konsep destination branding, didasari oleh passion dan identitas menarik yang saling berhubungan dengan berbagai hal untuk memudahkan orang memiliki asosiasi dengan tempat tersebut. Destination branding harus memiliki kekuatan untuk mengubah presepsi dan cara pandang seseorang terhadap suatu tempat, termasuk melihat perbedaan sebuah tempat dengan tempat lainnya untuk dipilih sebagai tujuan.
Belum lama rasanya Bali memiliki branding dengan tagline “Bali is My Life” yang belum teruji kesuksesannya dan belum terasa benar dampak kampanye branding tersebut. Namun ketika membuka Pesta Kesenian Bali ke-29 pada 16 Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono RI telah melaunching branding Bali yang baru, “Bali. Santhi Santhi Santhiâ”. Pijakan utama branding tersebut salah satunya adalah keinginan responden masyarakat Bali asli sejumlah 900 orang yang prosentase terbesarnya mengharapkan bahwa penggambaran Bali yang paling baik adalah paradise dengan pendekatan spiritual yang divisualkan dengan pura.
Branding Bali yang baru divisualisasikan dengan gambar segi tiga bertuliskan Bali Shanti Shanti Shanti yang merupakan semangat dari Tri Murti dan Tri Hitakarana. Shanti yang berarti damai tertulis tiga kali berarti mengalir semangat kedamaian dan keharmonisan. Tapi jangan mencoba mengamati tulisan BALI yang digambarkan di sana mengesankan tulisan Arab karena barangkali ada alasan lain yang melatarinya.
Tidak diragukan lagi bahwa Bali dalam sejarahnya memiliki karakteristik dan keunikan yang tiada duanya kombinasi antara alam, seni, budaya dan spiritualitas. Hingga muncul tagline “Island of the Gods” yang sangat legendaris. Namun pertanyaannya, haruskah gagasan spiritual yang disampaikan responden branding Bali ini dieksekusi secara vulgar menjadi ikon Santhi Santhi Santhi? Menurut saya perlu extra effort bagi pihak eksternal memahami dan menangkap makna simbolik itu sebagai komunikasi pencitraan Bali sebagaimana sebuah simbol branding memiliki fungsi awareness.
Pentingnya branding yang dilambangkan dengan logo atau simbol adalah memvisualkan gagasan dan cita-cita menjadi sebuah ikon yang mampu “mengimajinasikan” atau “menggambarkan” cita-cita tersebut. Simbol atau ikon ini akan berfungsi sebagai “awareness campaign” yang memiliki asosiasi positip, imajinatif dan mudah dipahami. Sebagai contoh The Incredible India campaign yang dimulai December 2002 difokuskan pada gagasan yoga, Ayurveda dan konsep spiritual lain yang asli dari India.
Seperti disampaikan oleh Lavanya Anirudh, account director Ogilvy and Mather India pada Dow Jones & Company, “Yoga, we own it but have never flaunted it, Bali, and also other Asian country, are flaunting yoga and meditation with their spas. But we have had it for centuries and centuries. And the real Ayurveda is in India. We decided to showcase all of that and we layered the entire campaign with spirituality.”
Kata “Incredible” dipakai untuk mewakili spiritualitas dimaksud karena memiliki sound atau makna luas yang dipahami banyak pihak eksternal sebagai “sesuatu yang luar biasa”. Ketika dia bertanya pada masyarakat apa yang mereka pikirkan dengan kampanye “Incredible India”, dia mengatakan, “I just keep hearing that incredible is absolutely the apt word to describe India. The country isn’t perfect; everything isn’t laid out for you on a platter. Yes, we have cows on the narrow streets, but this is mixed with some amazing stuff. A big reason is that India Ministry of Tourism, with its subtle and charming Incredible India campaign, is pushing the great Indian story effectively.
Setelah India secara konsisten membawakan kampanye Incredible India tersebut selama hampir lima tahun resultnya sangat menggembirakan bagi perekonomian dan pariwisata India, termasuk juga komentar pakar branding dunia. I’m surprised by India’s exclusion from the rising star category as perceptions are changing with the country moving up from a spiritual order to a new energy tech-oriented sphere,” kata Santosh Desai, seorang brand analyst di The Future Group. Dalam 10 Top Country Brand Ranking 2006 oleh Future Brand, India menempati urutan ke-10 dan merupakan negara Asia satu-satunya yang masuk 10 terbaik.
Success story selalu menarik buat saya. Ia menjadi semacam cermin dan motivasi untuk menuju yang lebih baik. Maka ketika kita mengetahui begitu lazimnya kini destination branding dipakai sebagai strategi destination management, telah banyak success story yang dapat kita cermati sebagai benchmark. Keuntungan lain jika kita sukses menerapkan model destination branding adalah kesempatan mempresentasikan konsepnya di berbagai negara pada forum-forum mengenai destination branding ataupun sustainable tourism sebagai model yang sukses. Seperti yang dilakukan World Tourism Organization dengan mengundang Malaysia untuk mempresentasikan Malaysia, Truly Asia yang sukses itu di berbagai negara dan hal itu menjadi promosi sebuah tempat yang elegan.
Menjembatani identitas Bali yang telah sangat dikenal (alam, seni, budaya dan spiritualitas) dengan kekinian yang merupakan dinamika waktu menjadi sebuah visi dalam destination branding Bali memang bukan perkara mudah. Diperlukan studi mendalam dan pemikiran lintas sektoral dan perencanaan kampanye yang memiliki orientasi internal (untuk masyarakat di Bali sendiri) juga eksternal (untuk masyarakat luar) secara bersama serta proyeksi kedepan yang berkesinambungan. Sehingga terbentuk sebuah kesadaran bahwa peran setiap orang menjadi penting dalam kampanye branding Bali. Harus diingat pula arti “kampanye” itu sendiri adalah untuk mendapat simpati dan “to win the heart” of people. Siapapun dia.
Tulisan ini ada karena sebuah proses memahami destination branding semenjak empat tahun lalu yang sangat menarik dan ternyata terus berkembang secara dinamis. Dari hasil pengamatan jelas bahwa destination branding dari statusnya sebagai sebuah pilihan menjadi sebuah keharusan dikarenakan manfaatnya. Jika kita masih berpikir sulit dan mahal tentang destination branding diperbandingkan dengan dampaknya yang luar biasa seharusnya kita melakukan siasat dengan bersinergi. Bahwa destination branding harus dibaca bukan hanya tugas pemerintah saja namun private sector dan seluruh lapisan masyarakat sehingga keterlibatannya dalam membentuk dan menjadi bagian branding campaign sangat penting. Ketika Jogja pertamakali meluncurkan ikon Jogja Never Ending Asia peran private sector melalui komunitas masyarkata non-Jogja yang disebut alumni Jogja yaitu mereka yang pernah bersekolah dan menjadi pejabat di Jogja sangat penting dengan turut memberikan funding bagi terciptanya destination branding Jogja.
Bagi saya, implementasi branding Bali yang ideal tidak harus tergesa, mungkin dua tahun lagi, mungkin lima tahun lagi, tetapi dipersiapkan secara matang dan terstruktur sehingga lebih mantap dan efektif setidaknya diproyeksikan untuk sepuluh tahun kedepan. [+++]
Arief Budiman, Bekerja di Matamera Communication, Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia Cabang Bali, dan aktif di berbagai kegiatan desain di Bali.
Tulisan ini juga termuat di http://ayipbali.com