Menulislah. Perbanyak piutang budi itu.
Pada 16-18 Juli 2012 lalu, para ilmuwan dan peneliti tentang Bali (Baliologis) berkumpul di Denpasar, Bali dalam Konferensi International Peneliti Bali. Konferensi yang dibuka di Art Centre Denpasar dan diadakan di Kampus Universitas Udayana (Unud) Sanglah, Denpasar ini mempertemukan para antropolog, sejarawan ataupun sosiolog yang selama ini meneliti dan menulis tentang Bali dalam beragam tema, seperti bahasa, pariwisata, terorisme, sejarah, cultural studies, dan lain-lain. Beberapa peneliti yang hadir dalam konferensi bertema Bali in Global Asia Between Modernization and Heritage Formation antara lain Adrian Vickers, Michael Picard, Henk Schulte Nordholt, Emma Baulch, Mark Hobart, Carol Warren, dan lain-lain.
I Nyoman Darma Putra adalah sosok penting di balik konferensi ini. Dosen Fakultas Sastra Unud ini menjadi Executive Director bersama Henk Schulte Nordholt dari International Institute for Asian Studies (IIAS). Tak hanya menjadi dosen, Darma Putra juga aktif menulis di media massa, jurnal ilmiah, ataupun buku-buku tentang Bali, terutama Bali kontemporer. Salah satu bukunya, A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century diterbitkan The Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), lembaga penelitian di Leiden, Belanda, hal yang tak banyak bisa dicapai peneliti dan intelektual Indonesia.
Sebagai dosen dan peneliti, PhD alumni University of Queensland, Australia ini telah menulis beberapa buku, seperti Tonggak Sastra Bali Modern (2000), Wanita Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2003, 2007), Bali dalam Kuasa Politik (2008), dan lain-lain. Bersama penulis lain, Darma juga menyunting ataupun menulis buku, seperti To Change Bali: Essays in Honour of I Gusti Nurah Bagus (2000) bersama Adrian Vickers dan Michele Ford, Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali (2006) bersama Henk Schulte Nordholt dan Helen Creese, maupun Tourism, Development and Terrorism in Bali, Voices in Development Management (2007) bersama Michael Hitchcock.
Selain meneliti dan menulis buku, bapak dua anak ini juga masih rajin menulis untuk media massa lokal maupun nasional. Dia pernah jadi wartawan Bali Post, Editor (majalah berita yang dibredel Orde Baru pada 1994 bersama TEMPO), dan fixer Australian Broadcasting Corporation (ABC) maupun beberapa media asing lain. Dengan pengalaman sebagai jurnalis dan dosen, Darma Putra terus menulis tentang Bali.
Sebagai pribadi, Pak Darma Putra, demikian saya biasa menyapa bapak dua anak ini, sangat bersahabat. Meskipun sudah profesor, dia tetap asyik diajak ngobrol santai dan bercanda, setidaknya dengan saya. Kami beberapa kali bekerjasama dalam liputan ataupun pelatihan. Saya juga kadang-kadang melali ke rumahnya untuk sekadar ngobrol kemu mai, meskipun temanya tetap seputar buku, Bali, media, jurnalisme, dan semacamnya. Bagi saya, Pak Darma ini teman sekaligus guru yang rendah hati. Orang yang menyenangkan.
Sekitar tiga minggu lalu, kami ngobrol lagi di rumahnya di Desa Padangsambian, Denpasar Barat. Seperti biasa, obrolan ini ditemani secangkir kopi hitam, minuman yang selalu dia seduh sendiri tiap kali saya mampir ke rumahnya. Berikut obrolan kami selama sekitar dua jam tersebut.
Sekarang jadi dosen dan wartawan. Sebenarnya apa cita-cita ketika kecil?
Dulu ketika kecil pernah ingin jadi polisi. Karena saya lihat orangnya hebat. Punya senjata. Powerful begitulah. Ditakuti orang. Padahal kalau ingat dengan cita-cita seperti itu ketawa juga. Hehehe..
Melihat profil siapa waktu itu?
Karena melihat polisi di jalan. Mereka bisa melakukan banyak hal yang orang lain tak bisa lakukan. Menyetop kendaraan, menyetop motor. Di keluarga dan tetangga saya tidak ada polisi sama sekali. Makanya ketika saya tumbuh sedikit dewasa, melihat polisi dari desa saya, saya ikut bangga. Desa kami juga bisa menghasilkan polisi. Mungkin juga karena melihat polisi punya kekuatan lebih dibandingkan orang lain tak punya.
Tapi tak lama saya punya cita-cita seperti itu. Ketika SD atau SMP saya ingin jadi guru karena melihat wibawa guru dalam mengajar. Kemudian guru kok awet juga kelihatan muda. Guru-guru saya yang mengajar di SMP terlihat lebih muda dibandingkan petani atau penyosohan gabah. Umur mereka masih kecil tapi wajahnya sudah kelihatan tua.
Setelah tamat SMP saya benar-benar memilih masuk jurusan jadi guru. Bukan karena cita-citanya tapi karena biar lulus SMA bisa langsung bekerja. Saya ingin mandiri karena orangtua saya sejak kecil sudah bercerai. Ketika harus menentukan pilihan, ya pilih sekolah kejuruan saja antara SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan STM (Sekolah Teknik Mesin). Akhirnya pilih SPG setelah lulus SMP karena ingin jadi guru. Tapi, alasan lainnya karena ingin bisa segera bekerja setelah lulus. Supaya hidup.
Berarti dari kecil sudah mandiri?
Saya kelas 2 atau 3 SD sudah jualan es. Sekolah saya itu dulu kan menjual es. Tugas murid untuk setiap hari mengambil es di pabrik es. Kami itu dari Padangsambian harus jalan sampai Siwa Plaza Jl Gunung Agung (sekarang super market Carefour). Dulu itu satu-satunya pabrik es di dekat desa kami. Kami harus berjalan antara 2-3 km. Jadi secara anak mencari es secara bergiliran. Kantin sekolah itu jualan es lilin sama kue-kue.
Setelah kami berkenalan dengan pedagang es, beberapa teman mengajak untuk jualan es. Lamanya sekitar 1-2 tahun. Pembeli kami itu petani-petani di sawah. Kami jualan ke sawah. Kita jualan kalau ada pertandingan sepak bola, voli. Es habis itu bangga sekali. Sore setor ke pabrik es lilin.
Masalah terjadi ketika suatu saat saya memecahkan termos, barang mewah pada waktu itu. Termos retak bagian dalamnya. Kesialan terbesar pedagang es saat itu adalah memecahkan termos karena harus menggantinya. Karena malu dengan teman-teman dan keluarga juga menegur, akhirnya saya berhenti jualan es.
Jadi, karena situasi keluarga seperti itu tamat SMP saya sekolah di SPG, sekolah guru. Begitu tamat SPG sempat jadi guru beberapa tahun di Sekolah Anugerah (Jl Diponegoro Denpasar) karena bapak saya jadi guru di sana. Saya dititipkan di sana.
Mengajar apa saat itu?
Ketika SPG sebenarnya ada jurusan pendidikan TK, Bahasa, dan Matematika. Saya pilih jurusan Matematika. Dewa Palguna (dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi) itu dulu teman saya. Dia jurusan Bahasa, saya Matematika. Jadi saya menguasailah Matematika untuk SD.
Sebelum tamat kita praktik mengajar di beberapa SD di Denpasar. Misalnya, saya pernah mengajar di SD di depan Puri Satria, Jalan Veteran Denpasar. Di Jalan Kecubung. Di SD jalan Kapten Agung. Di Jalan Melati juga pernah. Jadi kami praktik mengajar sebulan dua bulan di sekolah-sekolah tersebut.
Begitu tamat SPG saya langsung melamar sebagai guru SD. Karena guru Matematika sudah penuh, jadi saya mengajar guru Olahraga karena di desa pernah main voli. Mungkin ada 1-2 tahun mengajar olahraga di SD Anugerah. Menjelang Agustus selalu ada lomba Agustusan. Anak-anak SD kami ajak latihan di lapangan Pekambingan, Denpasar. Rimo itu dulu kantor polisi. Pertokoan depan Ramayana itu dulunya lapangan. Kami jalan dari Sekolah Anugerah ke lapangan.
Pelajaran olah raga itu ada teori dan praktik. Kalau teori di dalam kelas. Betapa pentingnya olah raga agar kita. Ketika praktik, mereka saya ajar lari, senam. Mereka anak-anak orang kaya. Setelah itu besoknya mereka merasa sakit. Capek. Letih. Ketika saya mengajar teori lalu dibantah, “Katanya olah raga bisa bikin sehat tapi kami setelah olah raga kok malah capek.” Mereka benar juga. Lugu juga logikanya.
Ketika masih jadi guru, pagi saya mengajar, sore saya kuliah di Fakultas Sastra. Kisahnya begini. Setelah lulus SPG, pilihannya melanjutkan di IKIP Singaraja karena ingin jadi guru. Dulu IKIP bagian dari Unud. Semua pelajar SPG tidak bisa mendaftar ke Unud waktu itu karena ijazah mereka keluar setelah pendaftaran Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) ditutup. Lalu, kepala sekolah kami, Pak Djiwa Duarsa namanya menghadap ke Kanwil besama-sama ke Unud untuk meminta agar lulusan SPG bisa ikut Sipenmaru. Akhirnya kami mendapat kesempatan melamar Unud dengan dites setelah Sipenmaru. Tapi jurusan yang boleh dipilih hanya Diploma Keguruan.
Kemudian masuk Diploma Keguruan?
Bukan. Kami hanya boleh melamar ke Keguruan. Tahun 1980-an itu, jumlah tamatan SMA meledak luar biasa di Indonesia sementara jumlah perguruan tinggi sangat sedikit. Di Bali hanya ada Unud dan ASTI (sekarang jadi ISI). Swasta hanya ada Universitas Marhaen. Tamat SPG saya ikut tes pilih Diploma Keguruan. Tapi saat itu Unud buka kelas sore, semacam ekstensi saat ini, untuk menampung banyaknya lulusan SMA. Yang dibuka adalah jurusan Sastra Indonesia dan Inggris, Ekonomi, dan Hukum. Saya mendaftar keduanya, D1 Keguruan dan kelas sore di sini. Keduanya lulus tapi saya ambil jurusan Sastra Indonesia karena kalau di Singaraja memang bisa jadi guru tapi harus kos lagi di sana.
Saya ambil jurusan Sastra Indonesia karena cuma jurusan itu yang ada. Ada jurusan sastra Inggris tapi tak terbayang bagi saya. Bahasa Inggris ketika kelas 2 saya cuma dapat 5. Jadi, susah. Bahasa Inggris jauh sekali. Maka saya pilih bahasa Indonesia ketika kuliah.
Dari polisi, guru, kemudian malah jadi dosen. Bagaimana ceritanya?
Ketika saya kuliah sore, saya tetap jadi guru di Anugerah. Semasa kuliah saya bertemu dengan beberapa orang yang sering mengapresiasi seni, seperti Pak Sukada dan Mohammad Dauh Mohammad dari Malaysia. Waktu itu banyak mahasiswa Malaysia belajar Sastra di sini. Dia termasuk yang aktif dan menonjol. Mereka sering mengadakan apresiasi sastra dan teater. Di situ saya kenal dengan mereka yang aktif di dunia sastra dan menulis di Bali Post sehingga saya pun mulai menulis dengan kawan-kawan. Ternyata saya tak punya bakat menulis puisi dan cerpen. Akhirnya saya menulis berita kegiatan di kampus maupun desa. Ternyata dimuat meskipun pendek-pendek.
Status di Bali Post sebagai kontributor?
Dulu pertama kali ke sana saya diantar teman kontributor juga. Saya berkenalan dengan Pak Made Nariana (sekarang di Bali Tribune). Waktu itu langsung bawa berita pembentukan panitia musyawarah LKMD. Jadi, dulu itu menyusun panitia untuk musyawarah desa sudah bisa jadi berita pendek. Setelah itu, saya kemudian menulis berita-berita kampus.
Bagaimana rasanya ketika berita pertama kali dimuat?
Senang sekali. Luar biasa. Kita membaca koran ada berita sendiri dimuat dengan nama kita di sana karena belum ada kode. Nama saya waktu itu Nyoman Kopi karena kulit saya hitam. Lalu kegiatan di kampus saya muat semua. Akhirnya, Profesor Bawa, dosen saya di Sastra menanyakan apakah saya mau jadi wartawan Bali Post. Saya jawab iya, lalu dia memberikan katebelece sehingga saya bisa menulis untuk Bali Post. Akhirnya saya menghadap Pak Nariana dan diterima. Waktu itu Bali Post hanya punya dua wartawan. Wartawan makhluk langka waktu itu sehingga saya dengan mudah diterima di Bali Post.
Saya ditugaskan meliput ke daerah-daerah. Karena kesibukan itu akhirnya saya mundur sebagai guru. Karena memang pekerjaan di SD tidak terlalu full. Gaji per bulan hanya Rp 6.000. Itu sangat di bawah standar. Honor pertama saya sebulan bekerja di Bali Post Rp 14.500. Saya bisa traktir teman-teman.
Akhirnya makin jauh minat saya untuk menulis sastra. Puisi dan cerpen tidak pernah saya tulis lagi tapi fokus ke jurnalistik. Fokus jadi wartawan sampai saya menulis skripsi. Sebelum saya tamat, saya ditanya apakah mau diangkat jadi wartawan tetap. Karena setelah lama di situ karir saya naik terus sampai jadi redaktur Pos Kampus dan Redaktur Daerah. Berita daerah itu dari luar Denpasar.
Mungkin ada 2,5 sampai 3 tahun. Tiap ada rapat redaksi saya hadir. Ketika ditanya apakah mau jadi wartawan atau tidak, saya jawab nantilah kalau sudah lulus dan punya ijazah sarjana. Sebab lain karena saya tidak pernah melamar seperti orang lain mencari pekerjaan. Prestasi saya di kampus juga lumayan sehingga mendapat beasiswa ikatan dinas. Dengan ikatan dinas itu, peluang jadi dosen jadi tinggi. Tiap bulan saya dapat beasiswa Rp 40.000. Aneh juga. Kelas sore haknya sama dengan kelas pagi.
Setelah tamat, saya melamar jadi dosen pada tahun 1985. Setelah itu saya ikut pertukaran pemuda Indonesia – Australia. Sebelum berangkat saya melamar sebagai dosen dan saya susulkan surat sebelum berangkat, seandainya saya diterima, saya berharap bisa diterima setelah selesai pertukaran. Ternyata saya diterima sebagai dosen.
Sementara jadi dosen, bekerja di Bali Post masih terus jalan.
Jadi, saat itu sudah bekerja ganda?
Iya. Dan, saya selalu mencintai pekerjaan saya.
Kenapa pilih keduanya, bukan salah satu?
Keduanya memang saya senangi. Dan, kalau boleh saya mengatakan, yang mengarahkan saya ke kedua pekerjaan itu adalah Prof Bawa. Sehingga saya merasa tidak begitu berdosa untuk mengerjakan dua pekerjaan, karena direstui oleh atasan.
Tapi di balik itu kan ada pilihan pribadi?
Iya. Kemudian saya menikmati dua pekerjaan itu karena keduanya memberikan kesenangan. Meliput dan menulis memberikan kesempatan saya mengenal banyak desa yang tidak semua teman bisa lakukan. Ketika yang lain KKN, saya datang ke desa tidak untuk KKN tapi meliput Menteri. Jadi saya bangga sekali jadi wartawan. Kemudian saya bisa menggunakan pekerjaan wartawan untuk mempromosikan desa saya, desa teman saya, atau desa orang lain. Dan tiap saya ditanya kuliah di mana, saya jawab di Jurusan Bahasa Indonesia, orang lain akan bilang wah cocok. Jadi, saya menikmati ya karena memang cocok.
Pekerjaan ini kemudian sangat besar manfaatnya ketika saya jadi dosen. Karena jadi dosen itu perlu kemampuan riset yang baik. Dan, saya berani mengatakan teman-teman di kampus tak punya kemampuan riset yang tinggi seperti yang diperlukan orang. Pengalaman di jurnalistik membuat saya bisa melakukan riset, memilih mana data baru dan lama, verifikasi. Ini sangat berguna untuk penelitian saya di kampus. Kedua pekerjaan ini luar biasa saling melengkapi.
Buku saya Tourism, Development and Terrorism in Bali itu bukti tertinggi perpaduan antara riset akademik dan pengalaman sebagai jurnalis. Data-data untuk menulis buku ini saya dapatkan ketika meliput sidang bom Bali. Ada banyak (data dan fakta) dari persidangan itu. Komplit. Ketika meliput bom Bali, banyak juga topik lain di luar terorisme, seperti pariwisata. Selama itu pula, banyak data dan prediksi tentang pariwisata. Karena itu saya dengan cepat menulis buku ini. Teman saya di London, Michael Hitchcock, dengan mudah memetakan dan menganalisis. Karena itu pula hingga saat ini kalau menulis saya wajib mengumpulkan data seoptimal mungkin.
Teman-teman saya yang sering mengatakan sulit menulis, menurut saya bukan karena sulit tapi karena tidak punya cukup bahan tentang apa yang akan dia tulis. Andaikan dia mengikuti satu fenomena, mencatat dengan baik, selama tiga atau enam bulan, dia akan bisa menulis dengan gampang.
Kalau dari sisi jurnalis, apa saja setelah Bali Post?
Saya di Bali Post sampai 1988 dengan karir cukup tinggi karena jadi Redaktur Bali Post Minggu. Setelah itu bekerja sebagai koresponden Editor. Kurang dalam dua bulan, nama saya sudah masuk di daftar redaksi. Saya keluar dari Bali Post karena pengalaman mengejutkan. Suatu saat teman saya telepon ke kantor Bali Post, yang angkat telepon salah satu petinggi Bali Post dan dia bilang, “Anda tahu tidak kalau Darma sudah tidak bekerja di Bali Post?” Dengan kata lain, saya diberhentikan. Akhirnya saya mundur karena saya tahu saya tidak dihargai lagi.
Lalu saya menghubungi teman di Editor. Dengan cepat dia menantang saya untuk liputan tentang pembajakan kaset Bob Geldof. Saya liputan di sana, ke toko kaset dan wawancara turis dari Australia. Nama saya langsung masuk sebagai penulis di Cover Story. Hingga, saya bisa dapat skoop tentang kasus orang Indonesia yang pertama kali kena HIV dan AIDS. Saya mengalahkan Kompas dan Tempo pada saat itu. Ketika Editor ulang tahun pertama, mereka memasang foto-foto wartawan berprestasinya. Saya masuk di sana. Saya bangga. Jadi, itu yang terjadi. Begitu nama saya masuk di sana, kartu pers saya balikin ke Pak Ketut Nadha.
Ketika di Editor, banyak berita penting saya kirimkan terutama peristiwa-peristiwa di Nusa Dua. Saya wawancara Bustanul Arifin di sana. Cari Rudini ke Puncak Gunung.
Kenapa selesai di Editor?
Saya kuliah S2 di Australia pada tahun 1991-1992. Saya masih sesekali kirim berita lewat pos. Walaupun saya sudah berhenti di Bali Post, saya masih nulis di sana dengan nama samaran. Ketika balik ke Bali, saya masih sempat bekerja untuk Editor dan menulis untuk Bali Post. Ketika Bali Post menambah halaman pada 1994, saya diajak masuk lagi. Saya satu-satunya wartawan Bali Post yang pernah keluar tapi bisa masuk lagi.
Sampai suatu saat, saya ditelpon Pak Widminarko untuk liputan PATA di Beijing. Rasanya hebat sekali waktu itu. Saya bekerja di sana sampai 1998 ketika kuliah S3.
Begitu 2002 saya pulang dari S3, kembali saya ke Bali Post tapi masuk ke Bali Travel News (BTN). Lewat sanalah akses untuk media asing muncul. Selama di BTN bergabung Tri Hita Karana Award, saya ke Kuta untuk melihat situasi setelah terjadi bom Bali. Ketika ada wartawan dari Australia tanya kepada saya, saya bisa menjelaskan dengan baik karena saya tahu situasinya.
Ketika ada rombongan besar dari Australia, saya diminta bantu menghubungi narasumber di Bali. Jadilah saya fixer. Mereka kemudian tak jadi wawancara saya tapi minta saya membantu mereka sebagai fixer. Selesai bekerja saya dibayar 300-400 US$. Besar sekali menurut saya. Setelah itu wartawan mereka di Jakarta minta saya bekerja untuk mereka. Pekerjaan di BTN tidak saya lepas sehingga muncul banyak konflik. Tugas-tugas saya di BTN terbengkalai. Akhirnya sampai pada titik kritis sehingga saya memilih fokus sebagai dosen dan wartawan ABC.
Setelah ABC sempat ada media lain?
Tidak ada kecuali kalau ada permintaan sewaktu-waktu dari media lain, misalnya dari media di Swiss, Kanada, Denmark. Tapi itu sekali-kali saja.
Anda juga menulis buku. Apa buku pertama Anda?
Buku pertama, Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2000). Itu hasil riset. Keinginan bikin buku sudah lama tapi setelah lulus S3 baru bisa. Nanti cek apa saja. Kalau edit buku orang ada tapi saya tidak suka mengklaim itu.
Apa benang merah buku Anda?
Benang merahnya Bali. Sastra Bali, wanita Bali, pariwisata Bali. Semua tentang Bali.
Kalau saya lihat, ada dua tema besar yaitu budaya dan media?
Itu betul. Artinya topik tentang Bali, materi risetnya diperoleh lewat media. Mungkin karena saya orang media sehingga ketika melihat media ada hubungan intim tersendiri. Ketika saya ingin melihat sejarah sastra modern Bali, saya ingin melihatnya dari media. Karena sesungguhnya media paling akurat, paling baik untuk melihat perkembangan masyarakat itu media. Media akan mencatat dengan detail hari dan tanggal terhadap peristiwa yang terjadi.
Kalau sekarang masih percaya media?
Kan basic fact-nya masih ada di media. Dan itu sangat berguna.
Kalau sekarang banyak berita pesanan dan berita iklan, masih percaya juga?
Itu bisa membantu kita melihat fenomena baru di masyarakat. Kalau dulu wartawan mencari berita, sekarang kan berita mencari wartawan. Kalau dulu tidak bayar, sekarang harus bayar untuk masuk media. Maka, ada pernyataan menarik yang menertawakan fenomena itu. Orang menulis berita, membawa ke media, membayar, membeli koran, dan kemudian membacanya sendiri. Itu pernyataan menggelitik sekali.
Akibatnya tidak ada lagi seleksi penting untuk news. Media hanya jadi ajang promosi diri secara berlebihan. Saya lihat sekolah-sekolah yang tidak ada apa-apanya bisa memberitakan diri di koran. Orang yang tidak ada apa-apanya kemudian masuk koran karena bayar. Jadi isi koran itu bukan ada karena penting, tapi seolah-olah penting kemudian ada.
Ada apa di balik munculnya media yang meruntuhkan nilai-nilai yang dibangunnya sendiri?
Sebetulnya kalau kita lihat secara kritis apa yang terjadi, kita bisa menerima narsisme itu asal secara institusional. Misalnya ada yang promosi lembaganya. Kalau narsisme personal, itu sangat sulit diterima. Tapi narsisme personal itu kini terjadi. Akhirnya orang menggunakan lembaganya untuk bernarsis ria tentang dirinya. Media sangat menjadi komersialistis.
Kenapa bisa begitu?
Menurut saya karena ini bagian dari efek negatif reformasi. Ketika terjadi demokratisasi yang diterjemahkan sebagai orang bebas melakukan apa saja. Kalau dulu kan malu masuk koran meskipun hebat. Dari sisi media, sebenarnya sama, inilah kesempatan untuk melakukan apa pun yang dia mau lakukan. Media massa yang seharusnya mewakili publik ternyata hanya melakukan apa yang ingin mereka sendiri lakukan.
Motivasi narasumber apa, narsisme atau popularitas?
Narsis itu sebenarnya negatif sekali. Tapi sekarang rasa bahasanya sudah berubah. Sudah hilang nilai negatifnya. Orang dengan bangga narsis dululah. Dan, di media sepertinya begitu.
Kalau motif media apa, ekonomi?
Jelas sekali ekonomi. Sebenarnya media bisa memainkan kepentingan ekonomi dengan cerdas. Dengan mengutamakan liputan-liputan dengan news value tinggi sementara iklan di halaman lain. Sekarang kan berita iklan bisa di halaman mana-mana. Coba lihat Kompas kan memisahkan mana berita yang ditulis dengan objektif mana yang advertorial. Jadi pembaca bisa menerimanya.
Berarti motivasi media semakin bergeser?
Semakin bergeser. Karena efek demokratisasi itu tadi. Media merasa bisa melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan. Kalau Anda mau, silakan. Jangan kritik kami untuk melakukan apa yang kami lakukan. Media jadi sumber mencari uang seinstan mungkin.
Selama 30 tahun bekerja di media, bagaimana perubahan kualitas media?
Dari isi jelas ada perubahan. Dulu top down semua. Misalnya, gubernur semua. Maka, kalau kita sensus isi media, bisa sampai 70 persen tentang pejabat. Media berada di bawah ideologi pembangunanisme. Sejak Reformasi media berbenah dan memuncak, mulai banyak berita yang menampilkan pengamat dan rakyat kecil yang diangkat media. Jumlah berita yang top down sudah berkurang. Kalau sekarang susah dibedakan. Karena yang atas bisa pasang berita bayar, yang dari bawah juga bisa melakukan. Berita murni di media hanya tentang bencana alam. Lainnya sebagian besar berita berbayar, terutama di Bali.
Media punya logikanya sendiri. Dulu jika politisi menyumbang sedikit bisa masuk media, maka media melihatnya kegiatan layak berita sehingga dimuat meskipun sebagai alat promosi bagi politisi. Sekarang, silakan menyumbang berapa saja tapi Anda harus bayar untuk bisa masuk media. Media ingin memanfaatkan efek lain dari demokratisasi untuk menjadikannya alat propaganda personal. Uang yang bersuara.
Yang menyedihkan banyak prestasi yang akhirnya tidak bisa masuk menjadi berita sebelum ikut membayar. Misalnya anak-anak yang menang debat di tingkat nasional tapi tak bisa masuk media.
Masalahnya di mana, media atau wartawan?
Karena kebijakan media dan memudarnya makna positif narsisme. Dulu banyak orang hebat malu masuk media. Sekarang lembaga membuat mereka. Walaupun Anda juara dua juara tiga bisa dimuat koran asal bayar. Itu dibebankan pada lembaga yang mencari ke murid. Kalau pemerintah membebankan ke APBD.
Kalau wartawan tak punya peran atas kesalahan ini?
Kelihatannya peran dan idealisme wartawan dikalahkan oleh orientasi media. Dan mereka tak punya posisi tawar di depan pemilik media.
Saya menilai kualitas wartawan semakin menurun. Menurut Anda?
Ini sebenarnya gejala internasional. Ada yang mengatakan, tradisi investigasi wartawan makin menurun karena adanya demokratisasi media akibat kemajuan teknologi komunikasi. News bisa beredar dengan cepat. Sekarang kapal jatuh langsung dimuat. Informasi dan berita penting muncul tiap detik akibat teknologi informasi sehingga investigasi tidak diperlukan lagi.
Kedua, karena banyak media yang mengalami kesulitan ekonomi setelah kemajuan teknologi informasi lewat internet. Pelanggan turun. Pendapatan koran turun sehingga kurang bisa membayar wartawan, termasuk anggaran untuk liputan-liputan lama seperti investigasi.
Kalau di Bali?
Tradisi investigasi di Bali, seperti pernah saya katakan, tak pernah terjadi. Ketika gelombang informasi muncul, dengan mudah mereka sabet karena itu memudahkan kerja wartawan. Copy mengcopy sesama jurnalis bisa dengan mudah dilakukan.
Penyebab ketiga, lembaga media tidak begitu mengharapkan. Media tak perlu susah-susah melakukan liputan karena berita datang dengan sendirinya tanpa dicari dan bahkan dengan uang.
Apa jawabannya kemudian?
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk apa yang akan terjadi pada media saat ini. Sekarang media itu tradisi investigasi tidak ada, kepercayaan publik pada media makin lemah. Apa yang akan terjadi nanti sulit sekali diprediksi.
Tidak ada tawaran untuk hal lebih baik?
Susah membayangkan akan lahir jurnalis-jurnalis dalam situasi media seperti ini. Sulit sekali. Mungkin batasan jurnalis yang baik pun tidak ada.
Gejala penurunan kualitas itu terjadi di dunia intelektual Bali?
Saya menilai, kebanyakan riset di perguruan tinggi, itu sifatnya proyekisme. Tidak semua tapi kebanyakan proyekisme. Artinya orang melakukan riset untuk mendapatkan proyek. Saya mendengar joke, seseorang yang begitu sudah mendapatkan proyek, dengan anggaran X juta, maka dia berani kredit mobil. Ada yang mengatakan begitu. Jadi, proyek mereka lakukan adalah motivasinya ekonomi, mendapatkan uang. Jarang sekali yang motivasinya untuk produksi pengetahuan.
Produksi pengetahuan itu artinya menerbitkan buku, menawarkannya kepada publik, dan terakhir membayar utang budi kepada publik sebagai intelektual. Intelektual itu hidup dari pengetahuan ilmu yang dibangun orang lain. Itu semacam utang budi yang mungkin akan dibawa mati. Tidak bisa dibayar kembali. Tapi Anda dapat mengurangi utang kepada orang lain dengan turut memproduksi pengetahuan disumbangkan kepada orang la. Jangan sekadar melakukan riset lalu hasilnya disimpan di perpustakaan dan tidak diakses oleh publik.
Tapi, literatur tentang Bali justru lebih mudah kita dapatkan dari peneliti asing?
Itu betul sekali. Sebenarnya, pertama, lebih mudah didapatkan dari orang asing. Kedua, karya orang asing memang lebih baik dan meyakinkan karena dikerjakan dengan intensitas riset yang tinggi di luar sikap proyekisme itu tadi. Kebanyakan hasil-hasil proyek itu hanya sekadar saja. Lima tahun belakangan semakin bagus karena kebutuhan untuk publikasi semakin tinggi. Tak hanya kalangan dosen tapi juga guru yang sudah masuk dalam sistem sertifikasi. Dulu riset-riset itu numpuk bgitu saja sehingga tidak ada tantangan untuk mempublikasikan. Toh tidak ada yang membaca apalagi merespon.
Dengan kata lain, karena dibuat seadanya, maka keinginan untuk publikasi juga tidak ada. Karena tidak dipublikasikan kita bisa menduga, “Ah itu dibuat asal-asalan”. Lingkarannya seperti itu.
Saya lihat Bali juga kekurangan intelektual muda progresif?
Dari dulu Bali memang kekurangan intelektual muda. Tidak banyak.
Tapi, kalau saya bandingkan kalau Suryakanta dan Bali Adnyana tahun 1920-an, diskusi waktu itu sangat intensif tentang isu apa pun, tak hanya kasta. Kalau zaman itu sudah progresif, kenapa kok sekarang kurang ya?
Kalau dibandingkan dengan zaman dulu, saya tetap melihat bahwa intelektual itu makhluk yang relatif langka. Jumlahnya tidak banyak. Bedanya, dulu mereka diskusi intensif di media. Jejaknya masih ada. Belakangan pun mereka berdebat kan. Perdebatan itu ada tapi tak banyak seperti dulu sementara fenomena lain begitu mendominasi lain perdebatan di media. Akhirnya mereka tenggelam. Dulu tidak ada isu lain yang menonjol sehingga isu kasta sangat menonjol. Kalau sekarang terlalu banyak isu. Tingkat intensitas dan kualitas debat itu masih ada. Tapi tetap tidak akan banyak.
Sekarang ini banyak orang Bali masuk bidang keterampilan, seperti teknologi informasi dan pariwisata dibanding yang basis, seperti Antropologi atau Sastra. Itu fenomena di mana-mana.
Apa yang ingin Anda sampaikan lewat buku-buku selama ini?
Saya ingin membayar utang pengetahuan, termasuk di situ kepada penulis, guru, media. Saya selaku dosen berutang budi pada mereka. Lalu ingin membayar utang tersebut melalui buku-buku saya. Dengan menulis buku ini saya sedang membuat piutang budi pada orang lain.
Kalau penulis buku yang muda di Bali?
Itu akan tetap bermunculan tapi jumlahnya memang tetap saja kecil.
Bagaimana orang bisa memanfaatkan teknologi informasi untuk membangun piutang budi?
Ini yang harus kita tunggu. Apakah teknologi informasi akan menghasilkan penulis yang baik setelah masuknya era Facebook dan Twitter yang serba cepat dan ringkas ini. Itu kan menulis di blog tradisi baik tapi kemudian muncul Facebook dan Twitter. Saya sendiri sering gunakan blog untuk memeriksa informasi. Saya khawatir ketika tidak ada lagi orang ngeblog, bisa jadi info-info lain akan susah didapatkan.
Seharusnya blog bisa menjadi salah satu alat untuk mendokumentasikan?
Iya. Untuk mendokumentasikan dan melatih menulis. Tapi, kembali, dunia menulis itu dunia minoritas, kecuali menulis status di Facebook dan Twitter.
Saran Anda kemudian apa untuk anak-anak muda ini?
Saran saya anak-anak generasi muda yang senang membaca, teruslah membaca dan belajarlah menulis. Dalam konsep membaca itu utang pengetahuan sehingga harus memberi piutang kepada orang lain. Menulislah. Buatlah piutang budi itu makin lama makin banyak. [b]
Versi lebih pendek dalam Bahasa Inggris dimuat di The Jakarta Post.
wawancara menarik ihwal media. pak darma putra memberi jawaban yang jujur ttg media, wartawan dan duit. pewancara juga mengarahkan pertanyaan dengan bagus. salut…..senang bacanya..
wawancara yg bagus! Ayo, lahirkan banyak penulis di Bali. Bali jangan hanya ditulis oleh orang luar. tapi orang bali juga harus jengah menuliskan Bali…
Panutan idaman bagi yang ingin jadi penulis dan dosen…Salam 7 “S” Prof