Saling senggol di sini sudah biasa.
Sepasang turis jalan-jalan di tengah keriuhan pasar Kota Gianyar. Pasar ini lebih dikenal dengan sebutan pasar senggol. Tengah hari itu, baru sebagian warung-warung tenda buka karena pasar senggol ini khusus malam. Namun, beberapa pedagang seolah ingin segera menyambut pembelinya.
Kedua turis muda itu lalu menghampiri tenda pedagang Be Guling. Kurang dari lima menit kemudian, dua porsi nasi be guling sudah dilahap keduanya. Tiap warung memasang papan informasi nama warung dan menu yang dijual. Tentu tak sulit mengenali tenda be guling karena etalasenya adalah seekor babi guling ditaruh mencolok di antara jenis dagangan yang lain.
Pasar Senggol, di tiap kabupaten di Bali ada. Namanya bisa berbeda tapi istilahnya sama. Jika kesulitan mencari makan di siang atau malam hari, tanya saja di mana lokasi pasar senggolnya. Di sini, sebagian adalah penjual makanan tradisional Bali seperti be guling atau jaje Bali.
Hingga kini, pasar senggol masih populer. Urusan senggol menyenggol memang nyata, karena biasanya jarak antara satu kios dengan yang lain sempit.
Demikian juga sempitnya lorong-lorong pasar senggol di Kereneng, Denpasar, yang diisi lebih dari 500 lapak ini. Setiap hari, tak peduli malam minggu atau hari libur pasar malam yang bernama resmi Pasar Asoka ini begitu hidup. Jenis makanan yang paling ramai adalah menu tradisional seperti be guling, jukut serombotan, jaje Bali, dan es buah. Lainnya ada sate kambing, tempe penyet, ayam goreng.
Satu menu baru yang banyak pedagangnya di pinggir tembok pasar adalah soto sapi, babi, dan nasi jinggo. Pedagang rombong ini makin banyak dan baru buka pukul 9 malam karena mengganggu lalu lintas.
Tak hanya makanan yang beragam, tiap pasar senggol punya ceritanya sendiri. Misalnya Pasar Asoka yang lebih sering disebut Pasar Kreneng di Denpasar menjadi pusat perkelahian antar pemuda yang tinggal di perumahan tentara, dekat pasar ini.
Salah satu tokoh pasar, Ketut Mangku, kerap maju melerai perkelahian atau menangkap para pembuat onar itu. Dengan badannya yang besar, tegak, ditambah kumis tebal, sosok Mangku yang menjadi koordinator keamanan pasar saat itu disebut cukup mampu menghindari pertumpahan darah di Kreneng, Denpasar.
“Dulu, anak-anak kolong yang mabuk memang sering berkelahi di sini,” ujar Mangku. Mantan tentara ini menyebut istilah untuk anak-anak keluarga tentara yang hidup sekitar Jalan Kapten Japa, tetangga Pasar Asoka.
Entah kenapa, setelah Presiden Soeharto diturunkan pada 1998, perkelahian mulai berkurang. Pasek dan Mangku juga tak mengerti kira-kira adakah hubungan yang relevan antara kejatuhan penguasa Orde Baru itu dengan watak anak-anak kolong. Sekarang, keduanya mengaku Pasar Asoka relatif aman dan terkendali.
Asoka, oleh Mangku berasal dari kata Aso dan Ka. “Aso artinya mengaso atau beristirahat dan Ka, artinya keluarga. Jadi tempat mengaso untuk keluarga, usai bekerja bisa jalan-jalan,” terangnya. Nama dalam Bahasan Sansekerta ini diberikan IB Mantra ketika Pasar Asoka diresmikan pada September 1985 setelah pedagang pindah dari GOR Lila Bhuana ketika itu.
Di pasar-pasar senggol, seperti Gianyar dan Denpasar, warga kini tak hanya bisa saling berbelanja. Warga juga bisa belajar toleransi. Kalau kenal senggol, tak usah marah-marah ya, apalagi sampai menantang berkelahi. [b]
Ibaratnya pasar senggol itu ‘campur-campur’ semua deh ada di sini….. 🙂
Enaknya belanja di pasar senggol bisa menemukan banyak pedagang dan kadang dagangannya unik-unik. Yang paling saya buru sih kulinernya, duh… jadi pingin JJM (jalan-jalan malam) deh ke senggol hehehe….
Iya faktor keamanan sepertinya harus ditingkatkan lagi, karena selain perkelahian kadang juga takut kalau ada copet jika berdesakan 🙁
Tapi tetap suka deh belanja ke pasar senggol, sambil senggol-senggolan apalagi sama pacar. 😀