Hutan adalah pasar bagi orang Papua berbelanja tanpa mengeluarkan uang.
Para petualang, tentu akan mempersiapkan bekal untuk bertahan hidup selama perjalanan. Terlebih lagi petualangan hutan di Papua yang memakan waktu berhari-hari hingga berbulan-bulan. Bekal makanan yang dibawa juga tak akan sedikit.
Berbeda halnya, jika perjalanan itu dilakukan bersama Charles Toto. Tak perlu membawa bahan makanan yang banyak. Cato, begitu panggilan akrabnya, akan menjadi koki pribadi selama perjalanan dengan memanfaatkan bahan lokal yang tersedia dalam hutan.
Cato bersama pemuda-pemudi Papua membentuk Papua Jungle Chef Community sejak 1997. Komunitas ini menawarkan jasa koki untuk menemani orang-orang yang ingin menelusuri hutan Papua. Tak hanya memenuhi kebutuhan makan, tapi mengenalkan sekaligus melestarikan pangan tradisional Papua.
Tak Sengaja Jadi Koki
Meski kini dikenal sebagai Jungle Chef, Cato justru mengawali karirnya di bidang kuliner secara tidak sengaja. Cato pernah bercita-cita menjadi seorang Sarjana Hukum, sebab ingin membela kaum-kaum yang diperlakukan tidak adil. Keinginannya terhalang karena Cato tak berhasil masuk SMA.
“Daripada menganggur, lebih baik saya sekolah ke sekolah yang ada saja. Waktu itu yang ada hanya SMKK,” kisah Cato.
Cato memilih jurusan Tata Boga di sebuah SMKK (Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga) di Kota Jayapura pada tahun 1993. Tidak banyak siswa laki-laki dalam sekolah ini. Saat itu hanya ada delapan orang laki-laki. Cato sempat merasa rendah diri karena stereotip SMKK yang dinilai hanya cocok untuk siswa perempuan.
“Setelah belajar, ternyata banyak hal yang bisa saya dapatkan di sini,” ujar Cato.
Cato belajar memasak dari tingkat dasar, mulai dari tata hidang sampai memasak berbagai jenis makanan standar perhotelan. Lulus dari SMKK, Cato bekerja di sebuah hotel paling mewah di Kota Jayapura. Karir pertamanya justru bukan sebagai juru masak, tetapi mencuci piring atau dishwasher.
Namun, pengalamannya di hotel tersebut memberikan inspirasi membentuk Papua Jungle Chef Community. Cato kerap melihat rombongan turis yang akan pergi ke hutan. Mereka membawa banyak barang, terutama makanan instan. Tentu tenaga pengangkut dan biaya yang dibutuhkan sangat tinggi.
“Masa kita masuk ke dalam hutan harus bawa bahan mentah begini. Saya pikir di dalam hutan juga ada, bahkan sebenarnya lebih bersih dan organik,” tutur Cato.
Berdasarkan pengamatannya itu, Cato mulai belajar mengolah bahan makanan lokal yang tersedia di dalam hutan. Cato juga membeli hasil buruan atau hasil kebun yang dijual masyarakat dalam hutan. Dengan demikian, perlengkapan makanan yang dibawa menjadi lebih praktis.
Cato telah menyajikan hidangan untuk banyak rombongan. Mereka adalah turis, produser acara petualangan dari Discovery Channel dan National Geographic hingga selebritis ternama, seperti Mick Jagger, Melinda Gates dan Zazie (penyanyi Prancis). Cato tak hanya memasak bahan lokal, tetapi memadukannya dengan kuliner modern.
Potensi Bahan Lokal
Sagu adalah bahan makanan yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang Papua. Bagi Cato, sagu merupakan cerminan kehidupan karena seluruh bagian pohon sagu memiliki berbagai kegunaan. Akar pohon sagu menjadi sumber air, kulitnya dapat diolah menjadi lantai rumah, isinya menjadi tepung dengan kandungan karbohidrat tinggi, dahannya dapat dibuat sebagai dinding rumah atau baju adat dan ampasnya yang menyerupai jamur juga dapat dikonsumsi.
Meskipun demikian, ada kekhawatiran lain yang dipikirkan Cato dan teman-temannya di Papua Jungle Chef Community, yaitu degradasi pola makan. Orang-orang Papua sendiri justru mulai meninggalkan pangan tradisional mereka karena pengaruh makanan dari Maluku dan Sulawesi.
“Sebelumnya, makanan Papua hanya dibakar saja. Tidak pakai banyak rempah-rempah,” ungkap Cato.
Untuk itu, Cato bersama Papua Jungle Chef Community mengangkat kembali masakan tradisional Papua dengan menggunakan bahan-bahan lokal dari dalam hutan. Beberapa menu khas Papua disajikan pada sesi Teater Kuliner di Ubud Food Festival 2017, sabtu lalu.
Salah satu menu andalan adalah Sagu Sef. Bentuknya mirip pizza yang berasal dari Italia. Bedanya, Sagu Sef berbahan dasar sagu yang dicampur kelapa parut dengan isian daging rusa dan ulat sagu. Sagu Sef sebenarnya makanan tradisional Papua yang disajikan saat upacara kematian tetua adat. Biasanya, Sagu Sef memiliki diameter 7-8 meter karena dimakan beramai-ramai.
Menu lainnya juga berbahan dasar sagu, yaitu Sinole. Para turis kerap menyebutnya Papuan Risotto. Sinole dibuat dengan menggunakan sagu dan ikan tuna lalu diberi kuah hitam. Warna hitam pada kuah berasal dari garam hitam Papua. Uniknya garam ini bukan berasal dari air laut, melainkan air danau, sebab asalnya dari daerah pegunungan Lembah Baliem.
Menu terakhir ialah Sago Ball. Sekilas tampak seperti Cimol, jajanan khas Jawa Barat. Bahan dasarnya tetaplah sagu yang dibentuk bulat menyerupai bola. Penyanjiannya dilengkapi bumbu kacang.
“Sudah saatnya sagu diolah menjadi makanan populer, seperti tepung, biskuit dan lain sebagainya,” jelas Cato.
Pemberdayaan Pemuda di Papua
Cato telah melatih banyak pemuda di berbagai wilayah di Papua untuk menjadi juru masak. Pelatihan tersebut tidak dilakukan secara khusus, melainkan mengambil waktu senggang saat melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan dapat memakan waktu paling sedikit 3 hari hingga berbulan-bulan lamanya.
Setiap berhenti di sebuah wilayah, maka inilah kesempatan Cato membagi keahlian memasaknya kepada pemuda setempat. Salah satunya pemuda asal Lembah Baliem, Martinus. Dulunya dia bukan seorang juru masak profesional. Ketika bergabung bersama Cato dan Papua Jungle Chef Community, Martinus mantap memilih Jungle Chef sebagai profesinya.
“Awalnya karena niat ingin tahu saja. Lalu belajar memasak untuk tamu yang melakukan tur di Papua,” tutur Martinus.
Selain Martinus, ada pula Ega, pemudi asal Kota Jayapura yang juga salah satu Jungle Chef, namun tidak melakukan perjalanan sepanjang Cato dan Martinus. Ega kini lebih aktif mengajarkan pangan lokal kepada anak-anak. Terkait dengan degradasi pola makan, Ega berupaya menghadirkan pangan lokal dengan bentuk makanan kesukaan anak-anak.
“Saya mengajar anak-anak sambil main masak-masakan, tetapi dengan alat dan bahan yang asli. Contohnya, kami pernah buat es krim ubi ungu yang enak dan juga sehat,” jelas Ega.
Tantangan Memasak dalam Hutan
Bagi Cato, seorang Jungle Chef haruslah memenuhi tiga kriteria. Pertama, stamina yang kuat karena harus menempuh perjalanan panjang dalam hutan. Kriteria selanjutnya adalah keahlian memasak dan mengenal tumbuhan yang dapat diolah dalam hutan. Tentu tidak semua tumbuhan dapat digunakan karena sebagian di antaranya beracun. Terakhir, kreativitas adalah bagian pelengkap dari kriteria lainnya. Seorang Jungle Chef harus mampu menyajikan masakan tradisional yang dapat diterima oleh semua kalangan.
Selama menjadi Jungle Chef, Cato kerap menghadapi bencana alam, misalnya bencana badai saat berlayar di lautan lepas. Suatu ketika, Cato pernah terdampar di sebuah pulau selama empat hari. Jika bencana terjadi, Cato harus siap dengan perencanaan makanan lain. Oleh sebab itu, Cato tetap membawa cadangan makanan instan jika menghadapi bencana atau melewati wilayah tanpa kehidupan.
Setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi makanan yang patut dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Cato telah membuktikannya dengan sagu dan makanan tradisional kreasinya. Pangan lokal juga bisa naik kelas. [b]