Salah satu malasah warga Indonesia adalah kurang membaca tapi banyak komentar.
Begitu komentar salah seorang pengguna internet (netizen). Anggapan itu ada benarnya. Bacaan di Indonesia, termasuk untuk anak-anak memang kurang.
Sejumlah guru mengakui minat baca sangat didorong bahan bacaan. Karena itu, mereka mendorong diskusi antar guru dan murid. Mereka juga membuat buku-buku bacaan.
Upaya membuat buku bacaan anak itu difasilitasi Yayasan Literasi Anak Indonesia (Indonesian Children’s Literacy Foundation). Enam buku ini diluncurkan pada 11 Desember lalu di Taman Baca Kesiman, Denpasar.
Kusumadewi Yuliani dan Anna Triana pembuat buku berjudul Lautkah Ini? Buku ini mengisahkan siklus air dari uap menjadi titik hujan, mengalir di sejumlah saluran air, hingga menjadi uap lagi.
Mereka intens berdiskusi tentang buku mereka. Keduanya membahas bagaimana respon anak-anak setelah buku ini diujicobakan di sekolah.
“Anak-anak sangat senang gambar ini. Mereka langsung tahu apa itu uap air,” kata Kusumadewi, penulis cerita.
Uap air dalam bukuterlihat hidup dan memperlihatkan ekspresinya ketika harus berubah wujud dan menjadi awan.
Keduanya tertawa senang sambil membolak balik tiap lembar buku berwarna itu. Kusumadewi guru di Sekolah Dyatmika, Denpasar. Ia membuat cerita lalu direspon Anna dalam bentuk buku bergambar yang menarik.
Hal menarik di buku ini adalah ilustrasinya yang mengadopsi desain batik. Figur tumbuhan dan ekosistem digambar tidak realis namun dari garis-garis dan motif batik.
Anna, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memang menyebut terinspirasi batik Indonesia dalam berkarya. Dia menggunakan teknik dalam buku Lautkah Ini?
“Saya selalu bertanya pada anak apakah dia bisa menebak ini apa dan ini asyik didiskusikan oleh mereka,” lanjut Kusumadewi lagi soal ilustrasi buku mereka.
“Awalnya saya takut jika menyederhanakan bentuk. Biarkan saja mengapresiasi,” seru Anna.
Keduanya juga mendiskusikan bagaimana anak merespon warna awan yang berbeda seperti gelap, agak terang, dan lainnya. “Ini awan mau hujan,” terang Kusumadewi meniru ucapan anak didiknya.
Ia terlihat sangat senang, bukunya bisa menjadi bahan diskusi yang asyik di kalangan siswanya.
Judul buku lain yang diluncurkan berjudul Raka Bangga karya Ayu Sugati dan Diani Apsari tentang belajar surfing, Waktunya Cepuk Terbang oleh Debby Lukito dan Jackson, Karang Gigi untuk Makiki oleh Aini Abdul dan Fanny Santoso, serta Jana tak Mau Tidur karya Eka Yuliati dan Chike Tania.
Dalam peluncuran buku juga diperlihatkan sejumlah buku lain yang dibuat untuk merangsang minat baca anak. Ada enam seri buku untuk berlatih membaca, tiap level dibedakan dari warna cover yakni merah, hijau, biru, coklat, kuning, dan abu. Tiap level masing-masing berisi lima cerita pendek dengan gambarnya.
Tiap halaman hanya berisi gambar dan satu kalimat. “Sulit sekali mencari buku seperti ini dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan buku cerita padahal saat belajar baca anak-anak tak bisa menggunakan banyak kalimat,” jelas Kusumadewi.
Intinya, anak senang diapresiasi jika berhasil membaca satu kata kemudian satu kalimat. Ini untuk membuat mereka nyaman dengan aktivitas membaca.
Sonia Piscayanti, dosen Universitas Ganesha di Singaraja juga hadir bersama sejumlah mahasiswanya yang belajar children literacy. Sonia memperlihatkan sejumlah buku anak karya mahasiswanya. “Mereka menulis dan menggambar ilustrasinya. Jadi mungkin masih mentah gambarnya,” kata Sonia.
Ia mengatakan literasi anak harus terus dikembangkan. Karena itu ia selalu menantang mahasiswanya membuat buku anak yang menarik.
Yayasan literasi Anak Indonesia dan Room to Read bekerja sama mempromosikan literasi melalui penerbitan buku anak dalam bahasa Indonesia. Tujuannya prakonvensi mengajarkan strategi memahami buku seperti memperkirakan, mempertanyakan, meringkas, visualisasi dan mengklarifikasi.
Eka Yuliati, salah satu pelatih dari Yayasan Literasi Anak Indonesia ini mengatakan pihaknya sudah membuat lebih dari 50 judul buku dan menargetkan 19 sekolah di Badung sebagai pilot project.
“Ini bagian dari mendukung kurikulum wajib membaca 15 menit per hari tiap anak di sekolah,” katanya.
Selain itu mendorong program literasi anak yang melibatkan guru dalam pengembangan strategi. “Menurut riset banyak anak bisa baca tapi gak paham,” kata Yuli soal anak Indonesia. [b]
Comments 1