Ini bukan di Rote Nusa Tenggara Timur, ini di Bali.
Tanaman yang satu ini memang kaya sekali akan manfaat. Namun, orang-orang semakin enggan mengolah lontar sebagai sumber penghasilan utama.
Jika kita berjalan di Desa Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Buleleng nampak di sebelah selatan membentang dari timur ke barat bukit bukit dengan pohon lontar yang menjulang tinggi. Dari nol meter dasar permukaan laut (mdpl) saya coba meniti bukit bukit sampai di ketinggian 200 mdpl.
Pagi itu saya singgah di rumah Nyoman Wiriyana penyadap lontar berusia 53 tahun. Beliau hanya memiliki tujuh ponon lontar yang diambilnya tiap pagi dan petang. Dari tujuh pohon dipastikan penghasilan bersihnya mencapai Rp 50.000 per hari.
Para penyadap lontar juga memiliki musim baik. Biasanya dari bulan 6-8 per kilonya bisa Rp 12.000. Uniknya lontar memiliki jenis betina dan jantan. “Betina rasa lontarnya lebih manis dan buahnya lebih banyak, sementara yang jantan batangnya lebih kuat,” ungkap Nyoman Wiriyana.
Pagi hari Nyoman Wiriyana sudah bersiap siap memanjat pohon lontar setinggi lebih dari 10 meter. Usai menyadap airnya langsung dibawa ke dapur rumah untuk diolah menjadi gula merah. Nengah Sarmi, istrinya, telah siap memanaskan api untuk memasak air sadapan.
Untuk memasak air hingga menjadi gula merah diperlukan api yang stabil ungkap Sarmi. Ketika ditanya apakah cukup mengandalkan hasil dari gula merah, Sarmi menambahkan bahwa dia memiliki 20 are tanah yang ditanami jagung, salak, ketela, pisang dan lain. Itulah yang menjadi ketahanan pangan dalam kesehariannya.
Pada masa masa sekarang jarang orang yang mau bekerja seperti Wiriyana dan istrinya. Rata-rata penduduk lebih memilih bekerja di kota dan memilih jadi buruh bangunan.
Selain untuk gula merah sadapan lontar biasanya juga dijadikan tuak dan arak. Manfaat lainnya bisa untuk pakan ternak. Sarmi memiliki beberapa ekor sapi yang sering diberikan lontar sebagai pakan ternaknya.
Usai satu pohon dipanjat Nyoman Wiriana memberikan keterangan, kembali bahwa sebetulnya kalau kita mau kreatif, bahwasanya daun lontar juga bisa dijadikan barang yang menghasilkan dalam bentuk kipas, tikar, topi, aneka keranjang dan masih banyak yang lainnya.
Saya lantas mengingat bahwa tulisan-tulisan suku Sasak juga banyak tertuang di daun lontar, bahkan di daerah Timor masyarakat menggunakannya menjadi alat musik yang bernama Sasando. Betapa kreativitas sangat diperlukan untuk membuka pasar lebih luas, sehingga generasi penerus tidak menjadi buruh di jalan jalan, kafé, hotel dan tempat lainnya.
Ketika ditanyakan apakah lontar bisa diolah untuk makanan dalam bentuk kue, Nyoman Wiriana belum mengetahuinya. Padahal jika kita semua bisa lebih kreatif pasti akan makin terbuka jalan dan pada akhirnya pendapatan daerah akan meningkat. [b]