Tempat tersembunyi ini memberikan beragam solusi.
Sebuah gerabah raksasa betuliskan BATI, Rus dan Made menyambut di pintu masuk. Wadah air tradisional ini adalah petunjuk apa yang akan ditemui di rumah dan kebun sekitar 2 hektar ini.
Setelah menempuh perjalanan berkendara 43 km dari pusat Kota Denpasar, akhirnya kami tiba di Desa Wanagiri Kauh, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Melewati jalanan desa yang sepi, sebagian rusak, menyusuri kebun dan persawahan, dan bertanya pada warga.
Lalu, tibalah kami di BATI, singkatan dari Bali Appropriate Technology Institute. BATI adalah rumah percontohan sekaligus tempat belajar teknologi tepat guna untuk keseharian terutama akses air dan biogas. Energi yang menjadi kebutuhan sehari-hari ini sudah diwujudkan secara swadaya sejak tahun 1975.
Di depan gerabah papan nama BATI, sebuah pabrik produksi virgin coconut oil (VCO) terlihat dari spanduk terpasang. Jalan setapak kombinasi beton dan rumput membelah kebun berisi kelapa, durian, pisang, dan lainnya di sisi kanan dan kiri. Sejumlah bak beton terlihat tertanam di atas tanah, berisi nama-nama pembuatnya, dicoret saat semen basah.
Setelah menuruni jalan setapak cukup terjal, gemericik air mengepung telinga. Terlihat dua jalur sungai mengelilingi BATI. Aliran Tukad Yeh Le ini menjadi halaman depan dan belakangnya. Riuh yang menenangkan.
Di sepanjang jalan setapak menanjak terjal ini terpasang sejumlah pipa-pipa menuju pemukiman di atas BATI. Pipa-pipa ini menyemprotkan air dari bawah, aliran sungai melalui pompa ramp hidrolik yang terpasang. Mendorong air secara vertikal.
Ada tiga pompa hidrolik yang dibuat I Gusti Made Rus Alit, pria kelahiran 6 November 1946 ini di sekitar rumahnya. Pompa pertama sekitar 1974-1975. Saat itu ia berusia sekitar 28 tahun, ijazah terakhir hanya SMP. Sempat melanjutkan SMA tapi tak tamat, lalu lanjut sekolah teologi di Selandia Baru selama tiga tahun.
Rus, panggilannya, membuat pompa pendorong air sungai ini untuk membantu warga yang saat itu terlihat kesulitan mencari air ke sungai menuruni tebing terjal tiap hari.
Gusti Ketut Ediputra, sepupu Rus berkisah pada tahun 1970-an ia tiap hari bertugas ambil air ke sungai dengan memikul keropak, pelepah kering dari pohon buah yang berfungsi sebagai ember. Waktu pagi dan sore dihabiskan untuk mencari air minum dan masak, sementara mandi langsung di sungai.
“Pagi sebelum sekolah penuhi gentong dan sore. Untuk masak dan minum, mandi di sungai atau telabah. Ibu ambil air pakai kendi air tanah,” ingatnya.
Berubah
Kerepotan Ediputra berubah sekitar 10 tahun kemudian ketika pompa hidrolik berhasil mengalirkan air dari sungai ke atas bukit. Dalam video arsip dokumentasi BATI yang ditayangkan di Kick Andy Show pada 2017, nampak para perempuan dan anak-anak gembira lalu membasuh wajahnya saat pipa mengalirkan air di dekat pemukiman mereka. Beban kerja kini berkurang. Rus mendapat apresiasi sebagai salah satu Kick Andy Hero pada 2017.
Sampai kini, pompa masih bisa berfungsi, walau pengguna air dari sungai ini makin berkurang setelah PDAM masuk. “Masih diakses sekitar 20 KK,” kata Rus. Mereka tidak mengeluarkan biaya bayar air.
Rus mengembangkan kemampuan pompa untuk menggerakkan alat penggiling yang diletakkan di area semburan air. Alat penggiling di pinggir sungai ini bisa menggiling beras atau ketan jadi tepung, menggiling daging, dan lainnya.
Instalasi penting nan sederhana yang terpasang di sejumlah halaman BATI adalah bak penampung air hujan. Tak terlihat mencolok karena tertanam di bawah tanah sekitar 3 meter. Jika hujan, air di ujung talang jatuh ke permukaan rumput yang diisi saringan, kemudian mengalir ke bak dalam tanah itu.
Permukaan atas bak juga tertutup rapat, hanya menyisakan lubang tersambung pipa paralon dengan klep. Jika pipa ditekan, klep membuka, maka air langsung muncrat keluar di ujung pipa lainnya. Tak perlu mesin penarik. Saat diperlukan, air tinggal dipompa dengan Rus pump, istilah yang diberikan oleh mereka yang belajar ke BATI.
Menghitung Potensi
Rus yatim piatu sejak bayi, saat berusia 26 tahun ia sekolah di Selandia Baru walau belum bisa Bahasa Inggris. Ia mengaku takjub dengan kemajuan negeri dengan lebih banyak hewan ternak dibanding warganya itu. “Kita jauh terbelakang,” ujarnya.
Kembali ke desa, ia melihat kampungnya kotor karena hewan ternak seperti babi dan sapi berkeliaran. Dari pembicaraan dengan seorang teman, ia ingat kotoran menghasilkan gas. “Saya petani. Kalau injak lumpur kadang muncul blup-blup (gelembung), nah itu kan gas. Tinggal ditampung,” celotehnya.
Dicobalah proyek biogas pertama, ternak dikandangkan dan menghasilkan gas. Menggunakan kombinasi drum dan beton sebagai penampung kotoran. Warga pun heran.
Setelah itu ada persoalan lain kerepotan mengambil air ke sungai melewati tebing terjal. Dibuatlah pompa hidrolik itu. Menurutnya teknologi ini sudah dikenal lama namun jarang digunakan. Hanya menggunakan pipa galvanis, karet, dan menghitung potensi terjunan air.
Rus di kampung sekitar 1972-1980. Setelah itu pindah ke Jakarta karena ada World Vision, NGO internasional yang tertarik pada sepak terjangnya dan memanfaatkan untuk membantu lebih banyak komunitas di dalam dan luar negeri.
Sejak 1981 ia mulai keliling dunia termasuk kepulauan Pasifik dengan misi yang mirip, memecahkan masalah di daerah setempat. Terutama untuk akses air dan energi. Kemudian pindah kerja di WV Australia sekitar 1996, dan pada tahun 2000 mendirikan BATI di Tabanan, kampungnya.
“Saya capek, biar mereka yang belajar ke sini,” sahutnya. Namun, sampai kini ia masih diundang ke sejumlah daerah untuk membantu warga.
Ia merangkum, sejumlah persoalan sanitasi dan kesehatan bersumber dari air, seperti akses dan kualitas airnya. Pun di Bali, sampai kini masih ada daerah yang paceklik air dan harus membeli mahal air tangki. Saat musim kemarau, embung atau bendungan kering.
“Lebih baik tiap rumah memiliki bak penampungan sendiri, ini akan menimbulkan rasa memiliki. Kalau rusak, mereka perbaiki,” ingat Rus. Infrastruktur besar dan terpusat masih menyulitkan warga, terlebih jika rusak atau bocor dan menunggu lama untuk perbaikannya.
Tak Tertampung
Ia setuju potensi air permukaan masih melimpah terutama air hujan namun tak tertampung. Karena itu ia kini menggiatkan pembuatan bak kapasitas 10 ribu liter yang bisa dibuat dengan dana sekitar Rp 3 juta. Sebagai cadangan saat musim kemarau.
Sementara pompa hidrolik yang dibuatnya paling tinggi adalah semprotan vertikal ke atas sekitar 130 meter. Ia juga mencoba merakit pengeringan tenaga surya, pemanasan air tenaga surya, dan tungku hemat energi.
Rus mengaku semua keahlian ini tak didapatkan dari Selandia Baru tapi otodidak. Namun, semangat untuk membuat perubahan, mengejar kemajuan negeri orang yang memompa semangatnya untuk membuat solusi. Apa yang bisa dibuat untuk tinggal di sebuah tempat dengan nyaman.
Ia pernah tinggal di kampung Dayak, Kalimantan dan kesulitan saat buang air besar. Tiap malam ia diikuti babi yang menunggu kotoran. Karena tak mau diikuti babi terus, ia membuat jamban dengan kloset sederhana. Eh, makin banyak warga yang buat kloset sendiri.
Demikian juga di Gurun Gobi, pedalaman China air susah. Ia mengajak warga buat tangki air dalam tanah, salju ditampung jadi air minum. “Saya bermimpi orang dengan mudah dapat air. Teknologi sederhana bisa mengatasi masalah itu. Sebelum lari ke laut ditangkap sehingga tak banjir. Tak perlu beli air,” serunya.
Di sejumlah sudut halaman BATI, makin banyak bak yang dibuat sebagai hasil karya praktik warga dalam dan luar negeri yang datang. Ada juga percontohan aquaponic, cara menyaring air organik dengan tumbuhan, ikan, lalu lapisan kerikil dan pasir. Juga kincir air dan kolam-kolam ikan dari pengolahan air sungai dan hujan.
Tebing terjal diubah lanskapnya jadi sebuah tempat tinggal, lokasi retreat, dan kursus. Tempat yang nyaman untuk belajar dan refleksi atas persoalan-persoalan bumi. Kemudian mencari solusinya. [b]
Tulisan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia.