
Sejarawan senior Belanda yang aktif melakukan penelitian tentang sejarah Bali, Henk Schulte Nordholt dalam epilog bukunya Bali, Benteng Terbuka 1995–2005 (2010) menuliskan pernyataan yang mengundang kegelisahan bagi yang memahami sekaligus merasakannya. Henk menulis bahwa Bali dalam otonomi daerah dan demokrasi elektoral mengalami fenomena naiknya partai politik dan preman.
Selain itu, desentralisasi dan artikulasi regional reformasi telah mengakibatkan naiknya tokoh-tokoh politik baru yang berbasis di kalangan kelas menengah urban yang dinamis. Raja dan Brahmana tidak lagi memiliki pengaruh dan otoritas yang berkuasa untuk mengabsahkan kebudayaan Bali. Sebagai gantinya adalah kemunculan para elit yang secara lihai dan licin sekaligus mampu menyediakan definisi publik tentang “esensi” Bali.
Salah jika kita menganggap bahwa lahirnya otonomi daerah dan demokrasi elektoral serta-merta akan menciptakan pemerintahan yang baik. Keduanya–otonomi derah dan demokrasi elektoral–justru memperkuat memperkuat pembentengan politik identitas Bali yang direprsentasikan oleh para cendekiawan kelas menengah urban.
Salah satunya kita sempat mendengar haru-biru wacana dan gerakan Ajeg Bali dalam berbagai bentuk, yang bagi Henk menghapus wacana tentang kewarganegaraan yang menjadi landasan utama demokrasi. Persoalan kewargaan dipersempit maknanya dalam kerangka politik identitas yang berisiko untuk mengeksklusi (menyingkirkan) warga lain yang tidak memiliki akses ekonomi politik dan minoritas.
Otentisitas
Salah satu strategi kalangan cendekiawan kelas menegah urban, salah satu tujuannya untuk merengkuh dukungan publik, adalah dengan menekankan kepada ciri khas wilayah tertentu, dengan melicinkan wacana tentang politik identitas. Bagi Henk, inilah letak paradoksnya saat cendekiawan kelas menengah Bali cenderung menekankan keotentikan regional mereka sembari mengingkari identitas Indonesia mereka. Hal ini tentu saja tidak terjadi di Bali. Situasi seantero nusantara menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan semakin diekspresikan dalam kerangka pemikiran politik identitas.
Pada sisi yang lain, Bali sudah membuka diri dengan situasi global, dimana cendekiawan Bali menghadapi tantangan luar biasa besar: bagaimana Bali dapat bertahan dalam konteks global yang lebih luas? Pada konteks inilah saya kira Henk menciptakan istilah yang disebutnya sebagai benteng terbuka, saat situasi yang membuka diri dengan dunia global tidak cocok dengan identitas kultural yang tertutup.
Identitas kultural yang tertutup tersebut tidak membuka ruang yang terbuka terhadap perspektif transformasi dan agensi. Pandangan yang dominan adalah bagaimana menghadapi perubahan dengan penguatan identitas kultural untuk menciptakan model-model otentisitas yang diperbaharui. Hal ini tentu saja sangat bermasalah karena beresiko terjebak dalam kubangan fundamentalisme sekaligus parokialisme.
Sebagai cermin atas hal ini, kita sudah tentu masih mengingat respon dari gerakan Ajeg Bali pasca Bom Bali 1 dan 2 pada tahun 2002 dan 2005. Bali menjadi awas dan segera memeriksa kembali situasi lingkungan masing-masing. Salah satunya adalah mengidentifikasi siapa yang dianggap pendatang dan pribumi, atau “putra daerah” dalam konteks perebutan kekuasaan lokal. Situasi ini kembali terjadi dalam Bali kontemporer yaitu awas dan sentimen pendatang. Konteks ini menginsyaratkan salah satu kebutuhan terpenting dari Bali, yang terus-menerus berulang dalam perjalanan sejarahnya, adalah kebutuhan akan suatu pertahanan diri sosial budaya.
Ujungnya adalah dua dilema yang mengemuka. Pertama, bagaimana meraih otonomi daerah yang lebih besar vis a vis Jakarta, mengingat bahwa desentralisasi telah menimbulkan perpecahan administratif, yang membuat tindakan koordinasi di tingkat provinsi menjadi ilusi belaka. Kedua, bagaimana menangkal pengaruh luar yang berbahaya dan pendatang yang tidak diinginkan, tanpa mencederai perekonomian Bali yang membutuhkan pengunjung asing, investor, dan tenaga kerja murah agar dapat bertahan. Di tengah konteks dilema itulah imajinasi otentisitas dan kepentingan atas suatu strategi tentang pertahanan diri sosial budaya selalu akan dirindukan.
Salah satu cara melawan pandangan ini adalah memiliki pemikiran terbuka, kritis, dan membuka diri terhadap persilangan dan adaptasi dengan berbagai kemungkinan yang dinamis. Henk dengan mengutip pandangan mendiang Prof. I Gusti Ngurah Bagus, antropolog Universitas Udayana, dalam sejumlah kesempatan mendorong cendikiawan Bali untuk menghadapi dunia global dengan keterbukaan pikiran yang kritis, dan bukan mengandalkan sikap yang statis dan berawawasan ke dalam (Nordholt, 2010: 1-4).

Hibriditas
Henk kemudian menuliskan dua paragraf menantang yang perlu kita renungkan lebih mendalam dan sungguh-sungguh. Baginya, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para administrator dan cendekiawan Bali adalah mengembangkan suatu gagasan yang lebih dinamis tentang kebudayaan mereka, yang menawarkan ruang bagi hibriditas dan dimensi-dimensi transnasional. Cuma, yang menjadi pertanyaan adalah sampai berapa lama dan sejauh mana, suatu kelas menengah urban yang prihatin serta melenggengkan penekanan pada otentisitas dan pertahanan ketat sebuah profil etnis Bali yang eksklusif, dapat hidup bersama dengan pembentukan terus-menerus sebuah koridor urban transnasional baru yang akan terus-menerus membentuk Bali di masa depan (Nordholt, 2010: 99-102).
Tantangan yang diungkapkan Henk itu berkaitan dengan kemampuan para intelektual kelas menengah Bali memahami proses kolonisasi dan pascakolonial serta kesinambungan dan perubahan yang terjadi. Pemikiran Bali pascakolonial menghasilkan intersection (keterhubungan) diantara warisan pengaruh para penjajah dan (yang dianggap) kebudayaan Bali “asli”. Persilangan itulah yang menghasilkan Bali hari ini dan yang terus akan berubah. Inilah juga yang mendasari anggapan bahwa sejarah politik kebudayaan Bali adalah sebuah konstruksi (proses pembentukan) yang melibatkan berbagai macam aktor berlapis-lapis dengan kepentingannya masing-masing. Proses interaksi, konflik, dan negosiasi diantara mereka itulah yang mencipta semesta kebudayaan Bali dalam berbagai aspeknya.
Saya menduga apa yang diungkapkan Henk soal hibriditas itu meminjam pemikiran Homi Bhabha dalam bukunya yang berpengaruh, The Location of Culture(1994). Bhabha mengembangkan suatu konsep yang terkait dengan proses konflik antara penjajah dan terjajah serta menghasilkan hibriditas. Hibriditas berarti pertukaran silang budaya yang mengacu pada interaksi antara budaya yang berbeda-beda, yang pada suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual tersendiri. Hibriditas tidak hanya melihat persoalan produk-produk perpaduan budaya, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kontrol dari kolonialisme.
Hibriditas diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan dan akhirnya menghasilkan suatu ruang dan kemungkinan baru. Bhaba melihat bahwa hibriditas merupakan taktik dan strategi kebudayaan, di mana produk budaya hybrid senantiasa menghindari segala macam kategorisasi biner seperti misalnya pendatang versus pribumi, asli versus palsu (baru) atau tradisional versus modern.
Hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Hibriditas menjadi salah satu perspektif penting untuk memahami perubahan budaya dan kemungkinan-kemungkinan baru berdasarkan pencermatan kita terhadap perubahan yang ada (Bhabha, 1994). Pandangan ini tentu saja menjadi sangat penting sekaligus sangat berguna untuk menandingi keyakinan esensialis dan otentik yang masih dominan dalam diskusi di kalangan cendikiawan cerdik pandai dan wacana politik kebudayaan Bali.
Tidak itu saja, pandangan hibriditas ini menjadi titik balik untuk mengembangkan pandangan-pandangan pascakolonial yang mentautkan Bali dan manusianya dalam arena-arena kekuasaan dari sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dengan demikian, wacana cendekiawan dan politik kebudayaan tidak hanya terkungkung dalam bingkai kepemilikan dan pelestarian. Praksis wacana ini sangat terbatas untuk memberikan wawasan dan nuansa kepada relasi kekuasaan kolonialisme yang mencengkram Bali hingga kini dalam bentuknya yang semakin canggih.
DAFTAR PUSTAKA
Nordholt, Henk Schulte. (2010). Bali, Benteng Terbuka 1995 – 2005. Denpasar. Pustaka Larasan.
Bhabha, Homi. (1994). The Location of Culture. London and New York: Routledge
sangkarbet kampungbet
![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)





