Penetapan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) mendapat perlawanan di Bali.
Salah satu bentuk perlawanan itu datang dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Pada 27 Oktober 2013 lalu, pemimpin organisasi pemuka agama Hindu ini mengeluarkan pernyataan menolak penetapan Besakih dan sekitarnya sebagai KSPN. Surat tersebut ditanda tangani Dharma Adyaksa PHDI Ida Pedanda Gde Ketut Sebali Tianyar Arimbawa dan lima wakilnya.
Ada lima poin dalam Surat Keputusan No 01 tentang KSPN Besakih itu. Ada dua poin yang menurut saya paling penting. Pertama, PHDI menolak penetapan Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya sebagai KSPN. Kedua, mereka meminta Presiden mencabut penetapan Besakih – Gunung Agung dan sekitarnya sebagai KSPN.
Asal muasal penolakan itu justru sudah muncul hampir dua tahun sebelumnya. Pada 2 Desember 2011 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyoni (SBY) menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) n0 50 tahun 2011. PP tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional ini memuat 70 pasal termasuk tentang tempat-tempat yang dianggap strategis untuk dikembangkan sebagai tempat wisata.
Lampiran PP no 50 tahun 2011 ini memuat apa yang disebut Destinasi Pariwisata Nasional (DPN). Ada 50 destinasi di semua provinsi, termasuk Bali, magnet utama pariwisata Indonesia. Ada 11 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) di Bali. Besakih – Gunung Agung dan sekitarnya termasuk salah satu dari KPPN ini bersama lain Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya, Ubud dan sekitarnya, Nusa Penida dan sekitarnya, dan lain-lain.
Nah, penetapan Besakih – Gunung Agung dan sekitarnya dalam KPPN itulah yang kemudian memicu penolakan dari beberapa kalangan termasuk PHDI.
Ada dua alasan penolakan tersebut yaitu karena Besakih merupakan kawasan suci dan penetapan tersebut menimbulkan konflik norma. Besakih merupakan desa di mana pura ibu dari segala pura di Bali berada. Kawasan pura ini berada di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Jaraknya sekitar 1,5 – 2 jam dari Denpasar.
Gubernur Bali Mangku Pastika sebenarnya tidak langsung terkait dengan polemik ini. Dia bukanlah pihak yang memberikan izin atas penetapan tersebut. Agak berbeda dengan kasus rencana reklamasi Teluk Benoa di mana Gubernur Bali tersebut berperan besar dengan memberikan izin studi kelayakan.
Toh, Pastika sebagai Gubernur Bali tetap kecipratan polemik ini. Suara-suara sinis terhadap Pastika sebagai pengobral Bali terhadap investor tetap terdengar, lantang maupun samar-samar.
Bisa jadi karena gerah dengan tuduhan tersebut, terutama terkait status Besakih sebagai KPPN (yang oleh media lokal lebih sering disebut KSPN), maka Pastika terkesan ngambul. Dalam satu diskusi dengan warga dia berujar, “Kalau begitu larang saja turis untuk beriwisata ke pura-pura di Bali.”
Ucapan Pastika ini disambut aneka komentar. Ada yang setuju, ada yang menolaknya. Seperti biasa, media lokal di Bali rajin sekali mengipas-ngipasinya.
Sakral vs Komersial
Gara-gara polemik tersebut, saya jadi terpikir ikut bersuara tentang boleh tidak turis berwisata ke pura. Pikiran ini tidak khusus soal Besakih tapi soal pura-pura lainnya di Bali.
Menurut saya, pura tetap bisa menjadi salah satu tempat kunjungan wisata. Toh selama ini juga hal tersebut sudah dilakukan.
Ketika berkunjung ke suatu tempat, saya biasanya lebih senang jalan-jalan ke tempat di mana kita bisa belajar tentang budaya daerah itu. Misalnya museum, bangunan tua, pasar lokal, dan seterusnya. Maka, wajar pula ketika di Bali, saya memilih jalan-jala ke Tanah Lot, Pura Uluwatu, Taman Ayun, Museum Bali, dan semacamnya.
Saya yakin sebagian besar turis yang jauh dari Eropa dan Amerika juga tentu lebih ingin mengenal budaya dan agama di Bali ini daripada misalnya cuma ke pantai apalagi ke bar, night club, dan semacamnya.
Karena itu, mengizinkan pura dikunjungi turis tentu jauh lebih baik daripada mengizinkan pembangunan-pembangunan yang mengeksploitasi alam dan lingkungan Bali.
Mau tidak mau, suka tidak suka, pura itu menjadi semacam jantung yang terus menghidupkan dan dihidupkan budaya Bali. Berkunjung ke pura adalah upaya untuk tahu jantung budaya Bali itu. Lebih baik turis-turis itu belajar tentang pura dan budaya Bali daripada hanya berjemur di pantai atau berpesta di night club.
Menariknya, pura adalah tempat yang dikelola secara kolektif oleh warga-warga di sekitarnya. Karena itu, di beberapa tempat di mana pura juga menjadi tempat wisata, pengelolanya adalah banjar setempat. Ini berarti menjadikan warga lokal sebagai tuan rumah di tempatnya sendiri. Dia tidak harus jadi kacung di tempat-tempat wisata yang dikelola investor.
Namun, ketika pura juga menjadi tempat wisata, ada nilai-nilai dasar yang tetap harus dipegang. Setahu saya hal ini juga sudah berlaku selama ini.
Pertama bahwa fungsi utama pura tetaplah sebagai tempat sembahyang. Pada saat warga memang melakukan sembahyang, misalnya Odalan, maka aktivitas wisata di sana harus ditutup untuk sementara. Hal ini untuk menjaga kesakralan upacara itu sendiri.
Kedua, kunjungan ke pura hanya boleh dilakukan pada zona tertentu. Pura pada umumnya terdiri dari tiga zona yaitu nista mandala, madya mandala, dan utama mandala. Turis yang berkunjung hanya diperbolehkan sampai di nista mandala, zona paling luar. Zona tengah (madya) dan inti (utama) cukup dilihat dari luar. Dengan demikian tetap ada bagian-bagian “suci” yang terlindungi.
Ketiga, turis harus menghormati aturan-aturan umum di pura. Misalnya, orang yang lagi berduka karena keluarganya baru meninggal atau lahir (cuntaka) tak boleh masuk, mereka harus berpakaian sopan, perempuan sedang menstruasi tidak boleh masuk, dan seterusnya. Ini hal umum yang sudah diterapkan hampir di semua pura.
Untuk bisa mengetahui aturan-aturan umum pura itu, warga lokal harus terlibat. Mereka yang lebih tahu aturan di pura milik desa atau komunitasnya. Jadi, guide alias para pemandu tidak bisa datang sesuka-sukanya ke pura.
Terakhir, dari konteks pariwisata berkelanjutan, perlu ada pembatasan jumlah kunjungan. Pembatasan ini penting diterapkan agar wisata ke pura tidak menjadi wisata massal dan tidak dieksploitasi. Agar pura tetap terjaga sebagai tempat sakral bukan tempat komersial yang diobral. [b]
Sebaiknya Pura tidak dikunjungi/dimasuki oleh orang non Hindu, karena siapa yang bisa menjamin “kesucian” Non Hindu tersebut karena Pura adalah tempat suci.