Saya sempat membaca twitter Balebengong tentang keresahan penduduk Kuta.
Dalam twit tersebut disebutkan ada tujuh butir tuntutan yang dibacakan salah seorang pemuda lokal di hadapan Gubernur Bali. Dari 7 tuntuan tersebut, saya tertarik pada butir ke-4.
Pokok dari butir keempat adalah adanya filter terhadap wisatawan yang hadir, agar Kuta tak nampak murahan. Sulit! Tentu saja sulit membuat batasan siapa saja yang boleh datang ke Kuta. Apakah orang yang datang ke Kuta harus punya banyak uang? Kalau begitu, mungkin warga Kuta lebih senang Djoko Susilo yang datang untuk menghabiskan miliaran uang hasil korupsinya. Atau wisatawan yang datang ke Kuta adalah mereka yang lulusan S2 atau Master?
Ini bukan salah orang yang datang, tapi salah Kuta sendiri sehingga Kuta jadi terkesan ‘murah’ di mata wisatawan.
4. Filterisasi Wisatawan: Karena citra Kuta yang semakin ‘murah’, kualitas turis yang berkunjung ke Kuta pun mengalami penurunan termasuk tingkah dan perilakunya. Sudah banyak terjadi kasus-kasus memalukan yang disebabkan oleh perilaku turis-turis yang kurang berkualitas.
Kami menuntut pemerintah agar membuat sebuah sistem filterisasi wisatawan yang masuk ke Bali. Misalnya, syarat-syarat berkunjung diperketat agar Kuta/Bali tidak terkesan terlalu murahan di mata para turis. Jangan sampai terkesan Kuta/Bali mengobral diri.
Jual Diri
Kenapa Kuta bisa semurah itu? Menurut saya, hal ini disebabkan karena Kuta menjual ‘barang’ yang sebenarnya sudah ada di negara asal wisatawan. Kuta menawarkan diskotik, pub, cafe, restoran dengan menu mancanegara, dan sebagainya. Untuk mendapatkan itu semua, mereka tak perlu jauh-jauh datang ke Kuta.
Kalau Kuta masih pede ‘jual diri’ dengan harga mahal tapi dengan barang jualan seperti itu, ya jangan berharap mereka yang datang adalah orang-orang berduit. Ibarat supermarket, mereka menjual barang yang sama. Maka cara tergampang untuk menarik konsumen, mereka menawarkan harga yang lebih murah.
Daripada mempromosikan Hard Rock Cafe yang menampilkan aliran musik yang ‘bukan Kuta’, kenapa tidak lebih gencar promosikan balai kesenian yang mungkin ada di Kuta yang secara rutin menampilkan kebudayaan/tradisi lokal Kuta atau daerah sekitar? Daripada menawarkan sexy dancer dengan penari yang menampilkan celana dalamnya ke mana-mana, tawarkan lebih sering adanya pementasan tari tradisional.
Seharusnya itu yang ditawarkan Kuta, karena memang seharusnya itu yang dimiliki Kuta. Musik, tarian, makanan, minuman mereka sih bisa mereka dapatkan di negara asalnya.
Kalau Kuta pengen dihargai ‘lebih mahal’ seharusnya Kuta menjual apa yang cuma ada di Kuta. Selain itu, Kuta sendiri harus tegas membuat diri mereka eksklusif. Misalnya, saat ada upacara agama di salah satu pantai, ya silakan tutup pantai itu untuk kunjungan wisatawan. Jangan malah membiarkan upacara itu menjadi tontonan gratis buat mereka yang sedang berjemur setengah telanjang di pantai. Kalau mau masuk ke areal pantai saat ada upacara dan menonton atau mengikuti upacara, berlakukan syarat tegas seperti masuk ke pura. Misalnya dengan memakai pakaian adat sederhana, tidak boleh dalam keadaan menstruasi, menjaga ketertiban saat upacara berlangsung, dan sebagainya. Tapi faktanya gimana?
Pindah
Sekarang Kuta sudah telanjur jadi produk gagal dari sebuah konsep pariwisata yang tidak terencana dengan baik. Tugas pemerintah adalah berusaha sekeras mungkin mengalihkan perhatian para wisatawan dari Kuta.
Bali bukan cuma Kuta. Pemerintah harus bisa mengajak wisatawan meninggalkan dan melupakan Kuta. Tawarkan kepada mereka hal lain yang eksklusif dari Bali. Misalnya, mengelilingi danau Batur bukan dengan motorboat, tapi pakai jukung. Saya rasa wisatawan akan lebih menghargai mahal tenaga si pengendali jukung.
Atau yang ekstrem sekalian, pindahkan airport ke Bali utara. Kalau tetap mendarat di Tuban, wisatawan akan cenderung untuk mencari penginapan di sekitar airport, ya Kuta. Kalau mereka langsung mendarat di Singaraja, misalnya, tujuan mereka tidak akan ke Kuta.
Nanti, bekas bandara di Tuban, Kuta bisa dialihfungsikan untuk hal yang lebih bermanfaat untuk lingkungan. Misalnya bikin taman terbuka. Bayangkan bagaimana enaknya kalau Badung punya taman kota seluas bandara. Tapi yang ada sekarang, Bandara Ngurah Rai di Tuban malah diperbesar. Ya sudah..
Saya bukanlah seorang pengamat pariwisata, apalagi pelaku usaha pariwisata. Saya cuma warga Jakarta yang turut prihatin dengan kondisi Kuta. Waktu saya masih menetap di Denpasar, saya tidak pernah merasa nyaman setiap kali berkunjung ke Kuta. Tapi saya selalu berharap agar Kuta menjadi desa yang lebih nyaman bagi semua orang, terutama bagi penduduk lokalnya. Ini penting! Sebab kalau mereka semakin resah, bisa jadi mereka akan seperti Forum Betawi Rempug, yang akhirnya memakai ‘jalan lain’ untuk menuntut hak-hak mereka sebagai penduduk lokal.
Saya harap Kuta tidak akan jadi seburuk itu. [b]
Tulisan ini disalin dari blog Agung Pushandaka.
mantap!!!
Sama, aku juga merasa begitu. Aku menuliskannya juga dalam buku terbaruku ‘The Other Side of Bali, Jejak Sejarah di Pakerisan” yang sebentar lagi akan segera beredar dalam versi Indonesia dan Inggris.(Foto buku & opini bisa dilihat di FB-Nilam Zubir…numpang promo 🙂
Apakah om eh kak Agung mau meresensi buku terbaruku itu? Mohon alamat emailnya. Matur suksma
seruu bahasannya mas agung. kirain lama di jkt jd males mikir kampung. ternyata sebaliknya.
btw, pusat2 kebudayaan kuta tuh dmn? jadi inget perjalanan baliblogger waktu kita mencoba mengidentifikasi jejak sejarah kuta sambil jalan2 pas kuta karnival pertama. dan sayangnya jejak ini sampai sekarang sengaja tak diurus
@Bli Wira : Mantab! 😀
@Nilam : Nanti saya lihat opini bukunya ya. Makasih..
@lodegen : Ini gara-gara lelakimu yang minta tulisan ecek-ecekku di blog ditampilin di sini. Hehe..
Nah, coba para pemuda lokal yang lacak potensi wisata sejarah atau wisata budaya yang ada di Kuta. Ajak baliblogger (komunitas blogger lain di Bali) atau komunitas photograph keliling Kuta, trus tampilkan di internet, biar semua orang tau, bahwa Kuta punya sejarah dan budaya yang tertutup hingar bingar kehidupan malam saja. Selama ini orang taunya Kuta cuma hotel, diskotik, cafe dan mall. Bahkan beberapa orang yang saya kenal di Jakarta bilang, Kuta itu daerah khilaf. Kan sedih banget saya dengarnya.
Ah, semakin banyak omong, saya jadi semakin terlihat sok tau. :p
saya sejak beberapa tahun terakhir memang menghindari daerah kuta, legian dan seminyak. selain karena faktor macet, juga karena kawasan ini sudah terkesan bukan Bali. beberapa kali kesempatan mendampingi tamu2 kantor dari luar daerah, saya selalu menghindari kuta sebagai tujuannya. Benar yg dikatakan Pak Agung,harus ada kebijakan fenomenal untuk mengubah kuta dari produk wisata gagal atau murahan, menjadi kawasan wisata elegan tanpa melupakan jati diri Bali nya.
setuju bangett, coba klo di kuta tiap malem ada pertunjukan seperti yg ada di teater Bali Agung yg di Bali safari,..pastii maknyuus