![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2021/03/Griya-Mas-Segara.jpg)
Ada banyak sekali pertanyaan yang tersisa menyangkut ke-Wiku-an.
Bukan karena usia, bukan harta, bukan ilmu yang jadi sebab seseorang disebut Pendeta atau Sulinggih atau Wiku. Lalu apa yang melegitimasi kependetaan? Apakah karena Jñ?na? Tidak. Jñ?na pun bisa bingung menurut Wrehaspati Tattwa.
Sekarang kita mulai walking around sebentar ke dalam hutan teks, begini: hana taruna anwam […] ya ta ingaskara de Bhatara Guru tan siningelan ta ya daluwang, siningelan ta yar waning halalang, tineher wiku hujo ngaranya [92: 14].
[tersebutlah orang muda taruna […] ia disucikan oleh Bhatara Guru, ia tidak menggunakan pakaian kulit kayu, mengenakan daun ilalang, oleh karena itu Wiku Hijo namanya [Palguna, 2000: 60].
Kutipan di atas berasal dari Tantu Panggelaran. Yang dimaksud Wiku Hijau adalah pendeta berkelamin laki-laki yang tidak atau belum kawin.
Menurut Palguna, di Bali saat ini praktik pendeta bujangan tidak lagi ditemukan. Diduga penyebabnya: 1] Praktik pemujaan Sakti sebagai kekuatan feminim yang semakin menemukan bentuknya di Bali; 2] Pendeta guru tidak begitu saja mau mengangkat calon lelaki bujangan menjadi pendeta, mengingat akan banyak ‘kesulitan’ dalam menjaga kesuciannya; 3] Sebab lain yang belum pasti, karena itu diperlukan studi lanjutan.
Di dalam teks Sumanasantaka, ada satu tokoh yang disebut Dwija Taruna. Seperti ini pengenalan tokoh tersebut oleh pencerita: hana sira dwija taruna susila subrata, sisyagastya sira prakasa karengö kasutapan ira nora tan wruha, khyatung rat Trnawindhu nama [ada pendeta muda berperilaku mulia dan teguh pada janji dirinya, ia murid Agastya dan terkenal kehebatannya bertapa tidak ada yang tidak mengetahui, ia masyur di seluruh dunia bernama Trena Windu] [band. Worsley, dkk, 2014: 48—49; Palguna, 2000: 58].
Tiga Ciri
Ada tiga ciri yang menyebabkan Trena Windu dikenal oleh seluruh dunia menurut penjelasan pencerita tersebut, yakni: su?ila, subrata, dan sutapa.
Su?ila berarti berperilaku baik. Perilaku baik diakui jika dilandasi dengan pola pikir yang baik dan cara bicara yang baik. Ketiga yang baik itu – berpikir, berkata, bertindak – adalah dasar kesucian. Orang yang dapat memenuhi ketiga syarat itu, disebut orang suci. Kesucian menurut tradisi, berkelindan dengan kebenaran dan keindahan.
Subrata berarti praktik hidup yang baik. Praktik ini sering kali berkaitan dengan tiga nadi utama dalam tubuh yakni ida, pinggala dan sumsumna. Ketiga nadi itu masing-masing mengalirkan makanan, minuman dan napas. Karena itu, orang yang melakukan brata identik dengan pengaturan makanan, minuman dan napas yang ketat. Orang boleh menahan rasa lapar dan haus saat melakukan brata dengan tidak makan dan minum karena boleh makan napas. Praktik makan napas saja disebut bayu ahara atau bayu baksa.
Sutapa berarti pemanasan yang baik. Di dalam kamus, disebut juga sebagai peleburan dosa. Dosa memiliki dua arti yakni kesalahan dan penyakit. Peleburan dosa bisa berarti peleburan penyakit dan peleburan kesalahan. Keduanya tetap memungkinkan sesuai dengan petunjuk ajaran. Peleburan penyakit dan kesalahan dilakukan dengan yoga. Jika tidak dapat melebur keduanya, bagaimana mungkin seseorang mencapai moksa? Menurut sumbernya, tapa memang berkaitan dengan api. Ada banyak sumber yang menyebutkan perihal tapa ini, dua di antaranya adalah teks Homa Dhyatmika dan Jñana Siddhanta.
Itulah tiga ciri yang dimiliki Trena Windu sebagai Dwija Taruna atau Wiku Hijo. Sedangkan ciri fisiknya adalah menggunakan ikat kepala dari daun ilalang. Ilalang disebut daun suci karena dilegitimasi oleh cerita tentang amerta yang jatuh menyiramnya.
Ada lagi teks Aji Terus Tunjung yang menyebutkan empat jenis wiku: grehasta, biksuka, sukla brahmacari dan sangkan rare. Masing-masing wiku itu memiliki penjelasannya masing-masing. Dalam tulisan ini, saya hanya mengutip satu saja yakni Wiku Sangkan Rare. Sangkan berarti asal, sedangkan Rare berarti anak-anak. Wiku Sangkan Rare berarti wiku sejak anak-anak. Wiku jenis ini konon telah putus indriyanya [pegat indriya], paham asal-tujuan dunia [wruh sangkan paraning sarat], dan memahami dharma [putusing dharma].
Wiku Sangkan Rare inilah salah satu Wiku yang dicari oleh Batur Kalika untuk meruwat dirinya agar bisa kembali ke kahyangan dan mengabdi kepada Bhatari Uma. Sementara itu, Bhatari Uma yang berubah menjadi Durga telah berhasil diruwat oleh Sang Sahadewa. Sahadewa tidak bisa meruwat Batur Kalika, penjelmaan Maya Kresna itu. Selain mencari Wiku, Batur Kalika juga harus memahami isi Aji Terus Tunjung. Wiku Sangkan Rare juga disebut dalam teks Siwagama atau Purwagama Sasana karya Ida Pedanda Made Sidemen.
Pertanyaan Tersisa
Ada lagi istilah lain menyangkut Rare atau anak kecil. Namanya adalah Tapa Sangka Raray [Rare], artinya pertapa dari kecil. Tokoh yang konon sanggup melakukan itu adalah Jaratkaru. Sayangnya karena teguh melaksanakan tapa brata, ia tidak kawin dan tidak memiliki keturunan. Hal itulah yang menyebabkan ruh ayahnya menderita karena digantung terbalik.
Putusnya keturunan sang Jaratkaru, mengakibatkan ayahnya terpisah dari dunia leluhur. Meskipun ayahnya sendiri adalah seorang Wiku yang menggelar brata bernama malap wija kasawur yakni mengumpulkan biji-bijian yang tersebar, lalu dihaturkan sebagai persembahan [Zoetmulder, 2005: 41]. Brata yang demikian ternyata belum cukup untuk melebur segala dosa sang Wiku. Satu lagi yang kurang: keturunan.
Barangkali, cerita ini pula yang menyebabkan tidak ditemukan lagi praktik Wiku Hijo atau Wiku Taruna seperti yang disebutkan sebelumnya. Apalagi ada penjelasan dari ayah Jaratkaru, bahwa:
[…] yadin pagata ni wangsanya ikang kapangguh, phalanya nana, witan ikang suka kagawe de mami makadi niyama warabrata […]
Jika putus keturunannya itu, segala pahala [tapanya] tidak didapat, awalnya kesenanganlah yang saya perbuat seperti Niyama Warabrata [band. Zoetmulder, 2005: 44].
Seseorang dituntut agar memiliki keturunan sehingga pahala dari tapanya berhasil dinikmati. Jika tidak, konon orang itu tidak berhak menikmati hasilnya. Mungkin ini pula sebabnya, jika ada orang yang tidak memiliki keturunan dianjurkan untuk mengangkat anak [meras]. Atau dengan jalan lain, seperti ritual putra utpadana. Aturan mengenai keturunan ini, juga dimuat dalam Prasasti Bali Kuno yakni Prasasti Sukawana B. Di dalam prasasti, disebutkan bahwa jika ada keluarga yang meninggal dan tidak memiliki keturunan, maka segala harta bendanya dihaturkan ke Hyang Api. Tapi apakah aturan ini juga berlaku untuk para Wiku pada zaman itu, masih sama sekali belum jelas.
Pada akhirnya, Jaratkaru kawin dengan Naga bernama Nagini Jaratkaru. Sebenarnya, saya penasaran dengan kata Brahmana yang disematkan di depan nama Jaratkaru. Kutipan lengkapnya seperti ini: hana ta sira brahmana, sang Jaratkaru ngaran ira [ada seorang Brahmana, namanya Sang Jaratkaru].
Apa pengertian kata Brahmana dalam konteks itu? Apakah Brahmana dalam artian telah mengalami Dwijati? Jika iya, itu artinya Jaratkaru kawin setelah dia di-Dwijati. Lalu apakah seseorang yang menggelar tapa brata sedari kecil seperti Jaratkaru boleh kawin setelah di-Dwijati? Apakah setelah kawin boleh menjadi Brahmana lagi seperti yang dilakukan Jaratkaru?
Ada banyak sekali pertanyaan yang tersisa menyangkut ke-Wiku-an. Pertanyaan-pertanyaan tadi seperti arus deras dari dalam yang tidak bisa dibendung. Arus yang sama juga menghanyutkan banyak orang dan menenggelamkannya. Banyak orang menyibukan diri menjawab pertanyaan orang banyak. Sedangkan kita tidak bisa menjawab pertanyaan dasar, untuk apa Wiku diadakan? [b]
Sumber:
Lontar Aji Terus Tunjung. Koleksi Pribadi IGA Darma Putra.
Palguna, IBM Dharma. 2000. Cara Mpu Monaguna Memuja Siwa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Tim Penyusun. 2005. Kajian Naskah Lontar Siwagama I. Denpasar: Disbud Prov. Bali.
Worsley, P. Dkk. 2014. Kakawin Sumanas?ntaka. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Zoetmulder, P.J. 2005. Adi Parwa. Surabaya: Paramita.