Meski dalam skala kecil, petani di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, sekitar 60 km utara Denpasar juga merasakan dampak perubahan iklim. Jatiluwih merupakan salah satu pusat produksi padi di Bali. Kawasan ini berupa areal sawah berbentuk terasering seluas 303 hektar.
Wayan Sukabuana, salah satu petani di Jatiluwih, mengaku tiga tahun terakhir kondisi di sana makin berubah. “Sumber air banyak yang berkurang debit alirannya,” kata petani yang juga mantan bendesa adat Jatiluwih ini. Wayan menyebut dua contoh, Subak Candi Kuning dan Subak Tukad Yeh Pusih yang berada di kawasan ini.
Akibat berkurangnya aliran dari sumber air itu, lanjut Sukabuana, kadang-kadang aliran air sampai berhenti ke sawah. Akibatnya, sawah yang sebelumnya selalu basah karena air yang tersedia sepanjang tahun, saat ini pun kering. Sukabuana mengaku dari 40 are sawah miliknya, sekitar 39 are gagal panen akibat kekurangan air.
“Kalau di Denpasar sampai banjir. Di tempat kami malah tidak hujan sama sekali,” katanya.
Sukabuana kemudian menunjukkan sebagian sawah tak jauh dari rumahnya. “Dulu tidak ada warga sini yang menanam jagung. Tapi sekarang lihat sendiri,” tambahnya sambil menunjuk beberapa bagian sawah yang ditanami jagung. Sebagian areal justru kosong, tanpa tanaman apa pun selain rumput dan ilalang.
Menurut Wayan Sumiata, petani lain di Jatiluwih, kekeringan seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Kekurangan air itu, kata Sumiata, berdampak hingga kurangnya air yang biasa digunakan warga sehari-hari untuk minum, mandi, atau memelihara ternak. Warga yang biasanya mendapat air itu dari sumber air lewat pipa kini harus mengambil air dari tukad (sungai) dan telabah (telaga).
Meski mengalami kekeringan di sawah-sawahnya, mereka tidak tahu penyebab kondisi tersebut. Sukabuana dan Sumiata diam cukup lama sebelum menggelengkan kepala ketika ditanya apa penyebab kekeringan di sawahnya. Mereka tidak tahu..
Alih Fungsi
Jatiluwih berada di sekitar kawasan Gunung Batukaru. Hutan masih hijau di kawasan ini. Sebab meski tidak ada aturan adat yang melarang penebangan hutan, tidak banyak warga yang menebang hutan. “Mungkin pengaruh proyek-proyek besar di sekitar Batukaru,” kata Sumiata, mantan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) itu merujuk pada pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Uap di Bedugul, tak jauh dari situ.
Sukabuana menambahkan kalau berkurangnya debit air di Jatiluwih juga karena adanya alih fungsi lahan. Sebagian warga tidak menanam padi lagi tapi beralih ke tanaman coklat dan pisang. Namun saat ini tanaman pengganti itu pun bermasalah. Pisang busuk. Coklat tidak berbuah. Bagi petani di Jatiluwih, perubahan iklim ini membuat semua tanaman memang tidak bisa tumbuh dengan baik.
Namun Pekaseh (Kepala Subak) Jatiluwih, I Wayan Puja membantah desanya mendapat dampak perubahan iklim. Menurut Puja, pada bulan-bulan ini, petani setempat memang sedang berhenti menanam padi. Karena itu sebagian lahan pun dibiarkan mengering tanpa padi atau tanaman lain. “Kami justru memberikan kesempatan pada tanah untuk istirahat selama tiga bulan. Setelah itu kami akan menanam lagi,” tambah mantan pegawai Telkom ini.
“Kami juga tidak menemukan penurunan debit air sama sekali,” katanya. Dari sekitar empat mata air, kata Puja, semuanya masih mengalir seperti biasa. Debit airnya sekitar 318 liter per detik. “Baru dua hari lalu saya mengukurnya,” lanjut Puja.
Kalau toh ada masalah, kata Puja, adalah akibat adanya padi varietas baru yang ditanam oleh petani setempat. Puja menambahkan, sejak empat tahun lalu, petani di Jatiluwih mulai menanam padi varietas lain yaitu jenis 64 serang. Sebelumnya, secara turun temurun, warga hanya menanam padi lokal jenis cendana.
Adanya varietas baru ini mengakibatkan perubahan pola tanam. Ketika bertanam padi lokal, petani sepenuhnya menggunakan bibit dan pupuk lokal. Pupuk organik itu dibuat dengan cara membakar jerami kering sisa panen. Namun saat ini sejak menanam pun mereka sudah pakai bahan kimia. Pupuk dan pestisida pun demikian.
“Ternyata tanah kami malah rusak,” kata I Nyoman Mariasa, petani lain di Jatiluwih.
Mariasa menambahkan, bahan-bahan kimia itu hanya digunakan saat mereka bertanam padi varietas baru. Untuk padi lokal, mereka masih pakai bahan organik. “Karena padi lokal kan dipakai juga untuk upacara, jadi tidak boleh tercemar bahan kimia. Kalau jenis baru kan untuk dijual semua,” katanya.
Toh, meskipun sudah pakai bahan kimia, tanaman padi petani setempat malah rentan terkena penyakit seperti busuk daun dan hama wereng. “Varietas baru juga lebih makan tanah dibanding jenis lokal. Sekarang tanah kami jadi lebih keras dan kering setelah menanam jenis baru,” kata Mariasa.
Anggota Subak Gunung Sari ini lalu mencabut dua jenis padi: padi varietas 64 serang dan padi varietas lokal. Meski lebih kecil, petanda masih muda, padi lokal itu memiliki serabut akar lebih banyak. Sedangkan padi varietas 64 serang justru tanpa serabut sama sekali. “Padi lokal lebih kuat dibanding padi (varietas) baru,” tambahnya.
Akibat serangan itu hasil panen juga menurun. Tiap satu hektar hanya menghasilkan 4 ton dari yang seharusnya 6-7 ton per hektar.
Tak hanya dari penggunaan pupuk dan pestisida, pencemaran itu pun datang dari mulai adanya sampah plastik dan penggunaan sabun di saluran irigasi sawah setempat. Sebagian warga kini mandi pakai sabun di saluran irigasi. “Dulu kan tidak ada yang pakai sabun. Kalau dulu air sawah bisa langsung diminum, sekarang tidak ada yang berani (minum) lagi,” kata Puja. [b]
Dear all..
kasian desa ku tercinta
Ada yang punya solusi ??
Mari membangun dan Jatiluwih
Desa Terpencil jangan Dilupakan !!
….masalah pertanian di Tabanan adalah masalah yg sangat serious, perlu komitmen Pemerintah…apabila pertanian ditangani sungguh2 di Tabanan akan ada multiplayer effect yg luar biasa…pendekatannya harus CORPORATE FARMING…percayalah Tabanan adalah tempat terindah di Bali…kalau saja ada PERENCANAAN yang bagus DUNIA akan terbelalak…khususnys terkait dg GLOBAL WARMING…