Debu beterbangan di Banjar Bal, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Karangasem ketika angin kencang bertiup. Udara panas dan gerah akhir pekan lalu.
Wayan Teken, 17 tahun, mengambil air dari kolam besar di depan rumahnya dengan ember. Tanpa ragu dia langsung meminum air tersebut. Di dasar kolam, tempat Teken mengambil air untuk diminum, air itu terlihat keruh bercampur dengan tanah, bekas daun kering, dan sampah lain.
“Sudah biasa bagi kami di sini,” kata Teken soal kebiasaannya meminum air tersebut. “Tak perlu dimasak,” tambahnya.
Bagi warga Kubu, air memang jadi barang langka tiap musim kering. Selama sekitar delapan bulan tiap tahun, desa ini akan mengalami kekeringan. Air susah didapat. “Tidak ada sumber air di desa kami. Jadi kami hanya mengandalkan air hujan,” kata I Wayan Wirya, 30 tahun, warga desa lainnya.
Mei sampai Desember, ketika hujan tidak lagi turun, warga akan mengalami kekeringan. Saat itulah air bersih akan jadi sesuatu yang langka. Maka, air yang tidak dimasak pun langsung diminum. Toh, mereka baik-baik saja. Tidak sakit perut gara-gara minum air keruh tersebut. “Mungkin sudah kebal,” kata Teken lalu tertawa.
Tipa tahun, warga desa tersebut mengalami hal yang sama. Mereka susah mendapatkan air bersih pada bulan-bulan ini.
Maka mereka kemudian menggunakan sember, kolam buatan berukuran sekitar 3x2x1 meter kubik. Air tersebut cukup untuk menampung sekitar 5000 liter air. Mereka beli seharga Rp 70 ribu untuk air sejumlah itu. Untuk rumah warga yang lebih jauh dari lokasi pembelian air, harga satu tangki air bisa sampai Rp 120 ribu.
Air itu digunakan untuk apa saja. Mandi, masak, cuci pakaian, sampai minum ternak seperti babi, sapi, dan kambing. Menurut Wayan Wirya harga Rp 70 ribu per 5000 liter bagi mereka sudah sangat mahal. “Jadi kami harus berhemat menggunakan air,” tambahnya.
Tak hanya untuk dia bersama istri dan dua anaknya, Wirya juga harus membagi air itu dengan keluarganya yang lain. Mereka tinggal satu tempat dengan satu keluarga yang lebih besar lagi jumlahnya, Wayan Darma tinggal di rumah lain dengan satu istri dan sembilan anaknya.
Karena itu mereka harus memperhatikan penggunaan air agar cukup untuk semua. Mandi, misalnya, hanya satu kali per hari. “Itu pun hanya satu gayung untuk berempat,” kata Luh Reni, istri Wayan Darma.
Siang itu, tujuh anak Darma dan Reni yang sebagian besar masih SD terlihat dekit. Wajah mereka penuh daki. Rambut kumal. Mereka bermain di tanah berdebu namun tidak cukup air untuk membersihkan badan.
Susahnya mendapat air berkelindan dengan masalah kemiskinan. Mahalnya air itu bagi Wirya ataupun Darma karena pendapatan mereka sehari-hari termasuk kecil. Kekeringan membuat tanah mereka tidak produktif. Hanya ada pohon jambu mete dan pohon aren di lahan yang mereka kontrak sebesar Rp 2 juta per hektar per tahun. Itu pun tamanannya tidak bagus. Pohon mete jarang berbuah. Maka mereka tinggal bergantung hidup dari hasil pembuatan gula aren.
Wirya, misalnya, memperoleh penghasilan rata-rata Rp 12 ribu per hari. Padahal, katanya, kebutuhan hidup sehari-hari minimal Rp 30 ribu. Sisanya, dia harus utang. “Ibaratnya gali lubang tutup lubang,” tambah Wirya. Utangnya pun menumpuk. Dia mengaku saat ini masih punya utang sampai Rp 20 juta ke rentenir.
Secara kasat mata kondisi mereka memang menunjukkan kemiskinan itu. Mereka tinggal di rumah yang lebih mirip gubuk: berdinding bambu, atap rumpia, berlantai tanah, hanya satu kamar utama merangkap dapur dan tempat tidur. Ukuran rumah itu sekitar 4×3 meter persegi.
Ketika sudah tidak bisa membeli air sama sekali, pilihannya kemudian mencari air ke desa lain. Mereka harus berjalan sampai 4 km untuk mencari air bersih.
Dengan kondisi itu, mereka pun jadi rentan kena penyakit. Menurut Darma, suadaranya pernah ada yang dua kali opname di Rumah Sakit Sanglah akibat infeksi saluran nafas.
Kepala Desa Kubu, I Nengah Arka, mengaku sudah melakukan upaya mengatasi kekeringan di desa tersebut. Arka menyebutkan adanya program jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka pendek yang sudah dilakukan adalah dengan menyediakan air gratis pada warga dengan menggunakan Anggaran Dana Desa (ADD). Dana sebesar Rp 11 juta tersebut dipakai untuk membeli air yang dibagikan pada warga.
Sore itu misalnya Arka membeli satu tangki air untuk kemudian dimasukkan ke sumur buatan miliknya. Warga kemudian mengambil air, dengan gratis, dari sumur tersebut.
Adapun jangka panjangnya adalah dengan mengupayakan ada suplai air dari Telaga Waja ke desa-desa yang mengalami kekeringan. “Tapi program ini masih jadi cita-cita saat ini,” kata Arka. [b]
seharusnya pemerintah lebih perhatian untuk hal-hal yang menyangkut kehidupan seperti ini..
Kontras sekali keadaan ini dengan cukup makmurnya orang2 yang tinggal di daerah wisata. Ini sebetulnya bukan tanggung jawab pemerintah (daerah) saja, tetapi juga mereka yang lebih berpunya untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Masak kemiskinan mendasar seperti ini pada tega membiarkan.
Apakah perlu Pemerintah setempat meningkatkan pajak untuk menutup proyek2 yang mendesak seperti mengentaskan kemiskinan seperti ini?
setiap bangsa didunia menyebut negerinya ber-macam2,
ada yang menyebut vaterland (tanah bapakku), ada yang menyebut native country (tempatku dilahirkan) ada pula yang menyebut zuguo (negeri leluhurku).
kita bangsa indonesia menyebut negeri kita sebagai Tanah-Air. Karena apa disebut tanah air ? sebab banyak tanah dan banyak air.
lha koq dinegeri ini rakyatnya bisa kekurangan tanah dan kekurangan air ? ini kan namanya ajaib atau salah kaprah.
daerah bukit yang dahulunya kering tandus, mendadak banyak kolam renang, air bersih berlimpah, setelah berubah menjadi kawasan nusa dua.
penyediaan sarana dasar untuk rakyat, harus dibuat oleh pemerintah daerah dengan bantuan keuangan dari pemerintah pusat.
sarana dasar adalah air minum bersih, kanalisasi, jalan, sekolah, listrik, rumah sakit, irigasi, dll.
soal mesjid, gereja, pura dan kelenteng itu adalah urusan pribadi para penganut agama masing2, bukan urusan pemerintah.
kata dan pengertian, infra-struktur atau sarana-dasar, pertama kali ku dengar tahun 1968, sewaktu aku kuliah disemester keempat. yang menjelaskan kepadaku adalah seorang teman orang flores dari kabupaten badjawa.
ketika itu kita bertiga mahasiswa ( orang bali, flores dan padang ) sedang asyik berdiskusi. si-padang yang muslim, membanggakan kemajuan pembangunan kota jakarta dengan gedung2 pencakar langitnya. mendengar hal itu si-flores yang katolik, langsung sewot, dia bilang, negara kita ini tidak memiliki “infra-struktur”, jangan kau membanggakan beberapa gedung bertingkat. si-bali yang buddha, tidak tahu apa artinya infra-struktur, hanya bisa tersenyum melihat keduanya bersitegang. si-padang juga mungkin tidak paham apa artinya infra-struktur.
naah si-flores inilah yang menguliahi kita tentang artinya infra-struktur. si-flores inilah yang membuka mata dan otak kita berdua, tentang ketimpangan dan kejanggalan yang ada dinegeri kita. sudah 40 tahun berlalu, tetapi ada juga rakyat kita yang harus minum air dari selokan. apakah kerjanya para penguasa, selama 60 tahun diberi kesempatan untuk menyejahterakan bangsanya sendiri ? hampir semua proyek pemerintah dikorupsi. penguasa dan keluarganya tidak malu2 ber-foya2. pedagang dan pengusaha enggan melunasi tugas pajaknya. bea cukai, kantor pajak, jaksa dan hakim semuanya minta disuap.
quo vadis tanah airku.